Pages

Minggu, 07 Februari 2010

Kontroversi Pidana Rajam


Keberadaan pidana rajam ini terus menghadirkan kontroversi, apakah rajam adalah pelanggaran HAM atau bukan. Secara yuridis filosofis pidana rajam mengalami berbagai perbedaan pendapat, di satu pihak ada yang mengatakan bahwa pidana rajam tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar, berbagai legislasi nasional maupun konvensi internasional yang berkaitan dengan HAM, dan di pihak lain ada yang mengatakan bahwa pidana rajam bertentangan. Dasarnya adalah adanya legislasi maupun konvensi internasional berarti merupakan bentuk dari pengahargaan terhadap HAM. Pidana rajam itu dianggap sebagai bentuk pelanggaran atau penyiksaan secara fisik dan mental bagi mereka yang menentang pidana rajam dan berkiblat pada legislasi tentang HAM, sedangkan mereka yang tidak menentang sudah barang tentu memiliki dasar yang kuat juga yaitu dari segi hukum Islam yang melegalkan pidana rajam.

Kontroversi adakah unsur pelanggaran HAM dalam pidana rajam akan sangat menarik untuk kita kulik lebih dalam lagi. Dilihat dari paradigma Islam yang merupakan induk dari pidana rajam itu sendiri dan pertentangan masalah pelanggaran HAM. Karena jika rajam memang benar bentuk dari diabaikannya HAM, apakah berarti Islam mengajarkan untuk dilanggarnya HAM? Padahal hukum rajam itu adalah ketetapan dari Allah. Apakah Allah menurunkan hukum hanya untuk menyiksa atau menyakiti hambaNya tanpa tujuan yang benar?

Kontroversi eksistensi pidana rajam apakah melanggar HAM memang sesuatu yang sangat pelik. Karena satu sisi menyandarkan pada embel–embel HAM, sedangkan sisi lain menyatakan rajam adalah ketentuan Islam yang merupakan ketetapan dari Allah. Banyak pihak yang menentang keras penerapan hukuman rajam tersebut. Karena menilai penerapan hukuman rajam merupakan langkah mundur dari penegakan HAM.

Hukuman rajam merupakan hukuman yang masuk kategori tindakan yang kejam, tidak manusiawi, dan perbuatan yang merendahkan martabat manusia yang selama ini dilarang dan diatur dalam berbagai legislasi nasional maupun konvensi internasional yang berkaitan dengan HAM.

Pertama, tidak sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28 G ayat (2) yang secara tegas menyatakan ''Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia''. Kedua, Undang-undang No 39/1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia, yakni Pasal 33 ayat (1) yang menyatakan ''Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.'' Ketiga, hal itu tidak sesuai dengan Undang-undang No 5/1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan yakni di Pasal 16.

Masalah ini perlu dikaji secara mendalam dari sudut pandang filosofis, legalitas, dan sosilologis. Pertama, dari sisi filosofis, hukum itu ditujukan untuk apa dan siapa? Hukum itu ditujukan kepada manusia, untuk menciptakan ketenteraman, ketertiban, dan kedamaian dalam masyarakat. Artinya, hukum itu bukan untuk hukum itu sendiri, tapi untuk tujuan yang mulia, kemanusiaan, keadilan sosial dan kemaslahatan individual publik

Dalam Islam Pelaksanaan hukuman rajam pun telah memenuhi unsur filosfis, legalitas, dan sosiologis. Suatu tindakan bisa dianggap melanggar HAM apabila hukuman itu dilaksanakan terhadap orang yang tidak bersalah. Hakikat dan fungsi pidana rajam sesungguhnya adalah sebagai satu upaya untuk mengangkat kembali derajat pelaku sebagai manusia agar berada pada posisinya sebagai manusia (Illatul Uquqah).

Eksekusi pidana rajam sendiri tidak dimaksudkan untuk membuat si pelaku tersakiti. Filosofis tujuan pidana rajam ialah agar secara psikologis timbul perasaan malu pada diri pelaku dan merasa jera hingga tidak melakukan perbuatan yang sama. Efek yang ditimbulkan pun juga sangat kuat bagi mereka yang menyaksikan eksekusi pidana cambuk akan ada rasa takut untuk melakukan perbuatan yang dengan si pelaku karena nanti akan diperlakukan seperti dengan pelaku.

Secara sosiologis tentu dalam Sistem pemidanaan Islam terkait dengan pidana rajam sudah mempertimbangkannya dari berbagai aspek, Islam bukan agama yang kaku dengan tidak melihat keadaan masyarakatnya. Artinya, masyarakat memang telah siap dan sepakat dengan suatu peraturan/qanun. Dan penerapan hukuman cambuk pun tentu mempertimbangkan aspek-aspek lainnya, aspek psikologis, aspek ekonomis, politis dan lainnya.

Pada aspek legalitas/yuridis, suatu hukuman punya dasar pijakan berupa peraturan perundang-undangan yang telah disahkan oleh yang berwenang.. Dalam perspektif Islam, hukum diterapkan untuk mencapai sasaran kesucian diri dan lingkungan, keadilan, dan kemaslahatan.

Pidana rajam tidak dimaksudkan untuk menyiksa atau menyakiti pelaku, tetapi lebih pada memberi pembelajaran pada pelaku agar dia menyadari perbuatannya dan tidak mengulanginya lagi.

Bagi orang lain dapat menimbulkan tekanan psikologis yang kuat dengan adanya eksekusi rajam membuat orang tidak mau melakukan perbuatan yang sama dengan si pelaku.
Tidak ada unsur pelanggaran HAM dalam hukuman rajam. Islam tentu sudah matang dalam menentukan hukum. Karena bersumber dari Allah langsung tentu kita tidak boleh meragukan kekuasaan Allah. Sudah ada aturan – aturan yang harus dipatuhi untuk pelaksanaan hukuman rajam. Seperti jika pelaku dalam keadaan sakit maka dilarang untuk dieksekusi. Pelaku merasa tertekan dan malu dieksekusi dihadapan banyak sehingga timbul rasa jera, bertobat untuk tidak mengulanginya lagi.