Pages

Senin, 27 September 2010

Gadis Hidung Mancung


Gadis itu berjilbab ungu. Tidak sepenuhnya tertutup, rambutnya tampak masih sedikit menyembul keluar. Ia berkemeja putih garis-garis dan celana jeans ketat. Aku sedikit kurang padu dengan penampilannya. Tapi tak apalah, ini soal selera. Mungkin dia sedang berhasrat dengan sandang macam itu. Aku tidak akan bahas masalah selera, toh nanti bisa berubah.

Saat ini kau jadi pemenang, juara satu gadis muda jelita di kampungku. Aku kira orang lain akan sekata dengan pendapat ini. Secara lahiriah sepatutnya mereka, atau paling tidak sejumlah orang punya kesan sama denganku dalam menilaimu.

Sabtu, 25 September 2010

Bencana di Siang Hari

Angin bertiup sangat kencang tadi siang. Kencang sekali, tak umum. Ranting pohon berkibas meliuk-liuk, daun berguguran, buahnya berjatuhan meski belum matang. Berlangsung cukup lama, barangkali sekitar 45 menit. Usai itu cuaca terlampau terang. Matahari tak pelit membagi sinarnya. Tapi sporadis air hujan turun sedikit demi sedikit, perlahan-lahan seperti butiran debu, padahal surya belum menghentikan pancarannya.

Dan sekarang langit mendung, hitam pekat. Hujan sudah tak malu-malu lagi membasahi jagat, masih pula diiringi sisa-sisa angin. Seorang kerabat mengabarkan tetangganya meninggal tertimpa pohon yang dirobohkan puting beliung. Selang beberapa saat, aku peroleh desas-desus sebuah pohon besar di suatu tempat tumbang menimpa tiang listrik, membuat aliran padam. Papan baliho ambruk. Terdengar sirine meraung dari jalan raya. Tak tahu aku berasal dari mobil apa, ambulance, polisi, atau pemadam kebakaran. Aku pikir telah terjadi bencana di kotaku.

Sementara awan gelap tetap menyelimuti. Sampai saat ini aku masih merasakan suasana mencekam, meski malapetaka telah reda. Semoga tak terjadi apa-apa di bumi manusia.
15.16

Sabtu, 18 September 2010

Tabik Untuk Nama

Nama, aku ingin bilang, kalau potongan huruf yang akan mengeja namamu telah aku susun dan menjadi satuan kata utuh, tertulislah namamu. Aku titipkan pada seorang teman kemarin, melalui pesan pendek berisi tabik dariku. Seluruhnya tercatat singkat seperti ini, ”sampaikan salam untuk Nama, bila ia datang nanti.” Maaf bila lancang tanpa konsesi. Awalnya sungguh kulakukan sekedar gurau belaka.

Namun kian lama, aku terpikirkan juga, teringat persuaan cepat dulu kala. Canggung tanganku mewakili mulutku berbahasa, tapi mesti aku beri tahu juga. Aku berpretensi kau menjawab, meski dengan syarat tentunya, tabik sampai padamu. Entah sudah kau dengar sendiri atau tidak dari temanku itu.

”Bila sudah, aku menunggu balasmu Nama. Jika tidak, biarlah aku menanti dan kau tak perlu tahu, atau kau mau tak peduli, tak apalah, itu hakmu.” Sebatas premis saja, beribu lelaki menganggumimu. Bahkan barangkali bagi mereka, dapat memiliki adalah suatu kemuliaan, begitu pun aku. Memang namamu terlalu indah untuk disendirikan. Bahwasannya telah kau tetapkan pilihan, semoga manusia baik yang akan mendampingimu. ”Beruntunglah lelaki itu kelak, andai dapat menyanding namamu, Nama.”

Jumat, 10 September 2010

Bocah Pemungut Koran

Ini sudah Idul Fitri ketiga aku datang ke kota J. Tak perlu aku bilang namanya. Tiap hari raya tiba, biasanya aku turun gunung mencari nafkah disana. Sendirian dengan mengendarai bus. Simbah aku tinggalkan sejenak di kediamannya. Aku jadi pemungut koran. Peruntunganku bergantung pada jumlah jamaah solat Ied yang membawa surat kabar sebagai alas sajadahnya. Makin banyak, kemungkinan mengeruk rupiah kian besar. Meski aku juga harus berebut dengan pengumpul koran lain.

Namaku Slamet Legiman. Sepintas terdengar seperti nama orang Jawa kuno. Cerita simbahku, aku lahir tidak menangis. Orang sekelilingku belingsatan kala itu, telah mati pula diriku yang masih orok bau darah ini. Baru beberapa menit kemudian isakanku untuk pertama pecah. Karena lolos dari maut, ibu menyematkan nama Slamet. Legiman pemberian simbah, diambil hari pasaran Jawa waktu kemunculanku, Kamis Legi, sepuluh tahun lalu, pada 1998 tepatnya.

Kamis, 09 September 2010

Rambut Adolf Hitler dan Soe Hok Gie

Sejumlah teman memberi penilaian terkait potongan baru rambut saya. Kawan pertama,lelaki, beberapa menit setelah selesai cukur mengatakan, "malah koyo Adolf Hitler Yog." Teman kedua, perempuan, setengah teriak "kayak Soe Hok Gie Yog!" Ketiga, masih perempuan, disampaikan, "Yog, cobo dingadekke (spike), ketok cowok banget mesti kowe." Dan keempat, lagi-lagi wanita, "Aku lebih suka rambutmu yang kemarin Yog!" dengan nada kecewa. Tak berbeda dari biasa, tiap kali berpangkas selalu begini jadinya. Hanya memang masih nampak menawan dengan model macam ini.hehehee..

Mengaji

Adzan berkumandang di Masjid di suatu kampung tengah kota Yogyakarta. Telah masuk waktu Isya di malam ke 13 Puasa. Kondisi lingkungan Masjid cukup unik. Mayoritas warga beragama Islam, namun ada tetangga sekitar Masjid kaum non Muslim. Toleransi jelas harus dibina dan dijaga. Tadarusan jadi rutinitas bertahun-tahun tiap habis tarawih. Beberapa anak perempuan dan lelaki berkala hadir, juga orang-orang dewasa perantauan, hanya sedikit pribumi. Apalagi anak muda, tipis antusiasme melafazkan Quran untuk memakmurkan Masjd di bulan Ramadhan. Mungkin minder atau belum masyhur ditelinga mereka jika satu huruf Al-Quran yang dibacanya berbalas sepuluh kebaikan. Alif Lam Mim tidak satu huruf, tapi terpisah. Alif, satu huruf dan Lam satu huruf serta Mim satu huruf.

Pengeras suara berputar, dari satu orang ke orang lain. Bila telah habis ruku, pembaca berganti. Mendayu-dayu ayat Allah dilagukan, terasa sejuk. Ada keinginan menirunya, hanya suara terdengar sumbang. Sadar kemampuan rendah, cukuplah saya dengan nada datar saja. Sebagian bocah tampak tak lancar mengeja huruf arab keriting berderet. Terkadang lucu juga, mendengar suara anak kecil dengan polosnya melafazkan Quran, sering tidak fokus pada bacaan dan banyak polah. Tapi pikir saya patut dihargai, setidaknya mereka tak malu dan mau belajar walau harus gopah-gopoh berucap. Seperti dikatakan H.R Bukhari Muslim, orang yang masih terbata-bata membaca Al-Quran tetap diberi kenikmatan berupa pahala dua kali lipat. Seraya mengaji, makan dan minuman ta’jil dibagi.

Wanita Perantauan

Seorang perempuan dari tempat jauh, terpisah pulau, mengirim pesan pendek tadi sekitar pukul tujuh malam lebih sedikit. Sepulang tarawih baru saya baca. Singkat ia menyatakan rasa rindu sangat mendalam pada saya, lelaki yang sudah dikenalnya sejak masih bocah. Telah lama tak berjumpa, sekarang ia ada di daerah rantau. Sesaat suasana berubah pilu, mendengar kabarnya dalam pengelanaan. Di ceritakan ia sedang dalam kondisi tak sehat, diare serta mulut terus mengeluarkan makanan yang belum sepenuhnya tercerna dalam perut, muntah-muntah hingga dehidrasi tingkat tinggi. Satu hari sempat menginap dirumah sakit, baru sore tadi keluar. Memang tak sanggup lama-lama, karena tak banyak uang di saku untuk biaya berobat. Takut timbul khawatir, sakit itu ia sembunyikan. Orang rumah tak dapat berita.

Sementara ini harus sendirian dulu ia di tempat tinggal, tanpa teman melawan sakit yang belum sembuh benar. Kawan satu atapnya sedang keluar, walau nanti kembali, ia tetap mengeluh kesepian. Mungkin watak perempuan, perasaannya mudah labil. Hanya sungguh miris mendengar kondisinya. Lemari apalagi televisi tak ada. Kamar kostnya berluas sekitar 5x4 meter, diisi dua orang. Satu ranjang skala sedang dipakai tidur berdua. Untuk menyimpan cadangan makanan digunakan tupperware berdimensi lumayan besar. Terdapat karpet biru, dua koper dan beberapa kardus untuk wadah pakaian. Sebagian barang-barang diamankan dalam kardus.