Pages

Minggu, 31 Oktober 2010

Gadis Muda Pembenci Bali

Perempuan itu berparas molek. Meski ia sendiri tak mengakui dirinya cantik. Entah, sebab apa, tak seperti kebanyakan wanita yang selalu ingin dipuji. Rambutnya? tak mengerti aku, ia berjilbab. Terlihat anggun kala serasi mengenakan kerudung dan baju ungu. Bulu matanya lentik bak embun, berpancar tatapan kasih. Alis tak terlampau tebal, mukanya tanpa sececah pun noda, lembut putih sedikit kuning langsat. Bibir merah muda, bila tersenyum pipinya mengembung, memberi kesan tersendiri. Tubuhnya? ia bilang gemuk. Tapi digambarnya, tak nampak sedikit pun lemak berlebih.

Aku mengenal dekat lewat tulisan, bukan suara apalagi persuaan. Menerka watak hanya dari barisan kata-kata, tersusun kalimat, membentuk paragraf. Bisa aku nilai sekarang meski masih dengan segala kedangkalanku, ia punya sikap. Animonya pada Islam menganggumkan, konon lantaran keluarganya agamis, tapi aku kira berpadu pula dengan pengalaman lalu meracik prinsip itu jadi falsafah hidupnya, dan semoga tetap konsisten.

Satu hal membuat aku penasaran, bahkan pada Bali saja ia benci setengah mati. Ya, dia si gadis muda pembenci Bali. Penggeram hingar bingar Pulau Dewata. Sejengkal pun kakinya tak akan menginjak tanah Bali. "Ahh, lagi-lagi aku akan bicara soal klise. Kau tak seumum perempuan kebanyakan, semoga aku tak salah membacamu. Dan biarkan senyaman ini. Nantilah bila dikehendaki, ada masanya kita bertemu."

Senin, 25 Oktober 2010

Tukijo, Antagonisme Petani Yang Dizalimi

“Setiap 17 agustus Indonesia memperingati, katanya kemerdekaan Republik Indonesia. Tapi sementara masyarakat masih dalam penindasan,” kata Tukijo, petani pesisir Kulonprogo. Ia dikriminalisasi, lahan pencahariannya terancam digusur proyek pasir besi. Ketenangan hidupnya terusik.


Kaos hitam bergambar kepalan tangan bertuliskan “tolak tambang besi, selamatkan Kulonprogo” dan celana pendek cokelat dikenakan Tukijo ketika menemui saya di rumahnya, tiga hari lalu. Suguhan bermacam cemilan dan kopi Lampung menambah hangatnya perbincangan kami. Tukijo, petani cabe pesisir Kulonprogo, lahir pada 10 Juni 1966. Wajahnya oval, hidung pipih, berkumis tebal. Badannya tidak terlampau besar, tapi terlihat kekar.

Kediaman Tukijo terletak di Desa Karangsewu Dusun Gupit, Kulonprogo. Tiga tokoh pewayangan, Kresna, Puntodewo dan Werkudoro yang terbungkus plastik bening menghias dinding bata rumahnya. “Saya itu senang wayang, tapi tidak paham dengan urut-urutannya,” ujar Tukijo polos. Di bagian lain terdapat foto-foto perkawinan anak pertamanya, Eko Fitriyanto, menikah pada 2009. Meski rumahnya berbatu merah, ia tetap bersyukur, “walaupun masih seperti ini belum dilepo, ini jerih payah saya dari bertani,” ucapnya bangga

Jumat, 15 Oktober 2010

Janji Si Kuncung


Perkenalkan, aku Wimar. Lengkapnya Wimar Burhanudin. Tapi orang-orang memanggil aku kuncung. Aku sama sekali tak marah disapa dengan sebutan itu. Mungkin ini sebab model rambutku waktu kecil dulu, seiprit rambut tersisakan di bagian depan kepalaku, sementara sisi tengah kebelakang tampak tipis. Entah, aku begitu suka dengan potongan macam itu. Ada peruntungan mungkin, hanya tak pernah terpikirkan. Rambut kuncung bertahan sampai aku masuk sekolah menengah pertama.

Kampung tempat tinggalku ada di tengah kota G. Dari lahir aku menetap disana. Walau termasuk kota, kawasan sekitar cukup rindang. Beberapa rumah warga ditumbuhi pepohon walau pendek-pendek dan dihiasi dengan tanaman rambat. Suasananya juga sangat religius. Pemuda kampung gemar mengadakan kajian rutin, biasanya tiap dua kali seminggu di surau. Bagi anak kecil, disediakan sarana TPA dan tiap malam jumat ada pengajian untuk orang dewasa, laki-laki maupun perempuan. Bapak kerap jadi penceramah pengganti bila ustad tamu berhalangan hadir.

Minggu, 03 Oktober 2010

Mimpi


“Hei mimpi, apa kabar? Lama kita tak bersua. Maaf aku melalaikanmu. Peristiwa lalu telah mengembalikan ingatan serta kesadaran, bila aku masih dan akan terus memilikimu. Konon kau terwujud dari pergulatan ide dan naluri. Aku sering meletakkannya pada hierarki falsafah. Mimpi lebih dari apapun, ia pembebas, juru selamat dalam keboyakan diri.

Pernah suatu kali aku bertualang untuk sebuah ambisi. Ya, upaya awal sangat mulus. Hingga tanpa duga sangka, secuil batu berhasil menjatuhkan diriku. Aku terjerembab, luka lecet mengembang di kaki. Darah mengucur, perih. Tak ada bekal kubawa, apalagi obat-obatan. Saat itu untuk kali pertama mimpi datang, menyerahkan penawar paling mujarab berlabel “pemicu” dan berkat obat itu, kaki dapat aku ayunkan lagi. Ini pangkal mula aku berkarib dengan mimpi.

Sabtu, 02 Oktober 2010

Sesaat

‎"Aku waktu kapan itu mimpi tentang kamu yog," begitu ujar salah seorang teman perempuan. Ia cerita, kami duduk berdua dalam suatu ruangan tanpa cahaya, gelap tak terlampau pekat. Saya mengenakan baju coklat cerah, sedangkan dia, dia lupa berpakaian warna apa. Kami saling mengahadap dengan sedikit jarak, kedua tangan berpegangan serta mata bertatapan. Ahh, romantis nian. Sayang hanya sesaat, dan ia terbangun.