Pages

Senin, 03 Oktober 2011

Oktober Melankoli

OKTOBER DATANG membawa kegetiran. Ia aku jumpai di tengah jalan yang sudah sepi pada dini hari, sekira pukul dua belas lewat lima belas. Saat berpapasan mukanya tertunduk lesu dan tatapan matanya terus melihat ke bawah tidak mau mendongak ke depan. Jalannya lunglai semacam orang putus asa gara-gara putus cinta. Aku menyapanya tapi hanya hening yang aku dapat. Oktober acuh seakan tidak pernah ada suara yang terdengar memanggilnya. Aku rasa ia memang sedang patah hati.

Beberapa hari sebelum malam ini, Oktober bercerita bahwa ia hendak mengungkapkan cinta pada seorang gadis istimewa. Namun agak takut, karena Oktober tahu, ia tidak sendiri dalam upaya merebut hati si gadis istimewa tersebut. Dan yang lebih miris lagi pesaingnya adalah pria yang rutin berinteraksi dengan si gadis. Yang barangkali di mata si gadis, pria itu memiliki nilai seratus. Sedangkan Oktober... jangankan nilai seratus, bahkan nilai nol saja tidak bisa ia dapat. Jelas ini bukan kesan yang baik.

Kamis, 22 September 2011

Dari Balik Jendela


WAKTU MENUNJUKAN tepat pukul 08.00 pagi saat alarm ponsel di atas meja berdering untuk ke… entahlah. Karena setiap ia berdering, tindakan pertama dan aku lakukan berulang-ulang ialah mengambil ponsel, memicingkan mata sambil mengamati layarnya dan dengan cermat aku pencet tombol stop. Maka alarm pun berhenti merengeh sementara aku masih terbuai dalam alam imajiku.

Perlu kau ketahui kawan bahwasanya bangun tidur pukul 08.00 bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Bahkan ia menjadi hal paling menggemaskan dan sekarang sedang coba aku singkirkan. Sebab dengan bangun kesiangan, kau telah memotong beberapa jam hak hidupmu sendiri. Otomatis kau kehilangan sejumlah momen penting. Padahal beberapa jam yang kau pangkas itu bisa jadi adalah waktu-waktu berharga.

Kamis, 25 Agustus 2011

Karena Subuh

KARENA SUBUH adalah pergantian. Transisi dari gelap menuju terang. Memulai sekaligus berniat mengakhiri. Didahului pada subuh, diajarkan cara menanam kebaikan membuang kefasikan.

Karena subuh adalah nyaman. Dengan pikiran lowong. Plong-menyegarkan. Ia waktu yang tenang buat mencari wawasan, kemudian merekamnya sebagai bekal untuk hidup pada siang yang bimbang.

Siang adalah kerendahan hati. Belajar berlaku tawaduk walau tinggi sudah ilmu dipunya. Tetap merunduk meski sedang berada di tempat atas. Menghormati tanpa merendahkan. Berempati dengan ketulusan. Berjalan di atas jembatan kesabaran.

Jumat, 12 Agustus 2011

Apa Mau Dikata


BOLEH DIBILANG AKU tidak bertindak apa-apa bila tak patut disebut terlambat. Sebab dengan mengajukan banyak alasan pun, cukup sulit mengatakan ini sebuah keterlambatan. Karena aku tidak pernah berpindah tempat, apalagi berbuat, tidak ada waktu yang bergerak, jadi akan lebih cocok jika kata yang disematkan adalah pasif. Walau aku tidak akan pernah bangga dengan label tersebut.

Ikhtisar kepasifan muncul akibat situasi faktual yang serba problematis bagiku. Sedangkan bagi beberapa kolega, keadaan ditafsirkan: semakin lama berdiam diri, semakin besar peluang untuk kehilangan. Atau dalam bahasa tragisnya, diambil orang.

Selasa, 19 Juli 2011

Pagi Diakhir Juni


SELAMAT DATANG pagi diakhir Juni. Tahu tidak, kau tiba terlampau cepat, sampai-sampai belum sempat aku tertidur. Tidak juga aku bermalas-malasan di atas kasur, bergumul dengan bantal-guling kemudian bangun untuk menyambutmu seperti pagi biasanya. Menyibakkan tirai, melihat keluar di sela-sela teralis besi berdebu, aku menengok lewat jendela. Ternyata gelap telah jadi terang. Sudah pukul 5.30. Masih tetap terjaga.

Pagi diakhir Juni. Dimulai kesiangan, pukul 12. Untuk beberapa menit ke depan, pun aku belum sepenuhnya memulai. Belum juga beranjak dari amben. Gara-garanya imajiku masih berseliweran, bergelayutan di antara kehidupan nyata dan lamunan. Sepuluh menit.

Sabtu, 09 Juli 2011

Media, Wahana Pencerdasan Bangsa


IDAH ROSIDAH SEDANG sibuk di depan laptopnya. Ia sedang online. Membuka-buka jejaring sosial dan beberapa situs berita. Menurutnya, sekarang orang sudah berpaling ke media online. “Lebih efektif,” ujarnya.

Mulai ngetrendnya dunia maya dalam satu satu dekade belakangan, menurut mojang berkacamata asal Bandung ini membikin praktis. “Karena media online sudah bisa masuk telepon genggam, jadi kita dapat mengupdate berita kapanpun dan dimanapun.” Sedangkan untuk media cetak, “Agak terbatas dan sulit juga untuk kita mencarinya ––informasi,” tambahnya.

Minggu, 26 Juni 2011

Membuka Kran Aspirasi Politik


SUDAH BEBERAPA bulan ini sudut-sudut kota Yogyakarta terlihat meriah. Ada poster besar warna-warni, bergambar orang berpeci mengenakan pakaian batik sedang ramahtamah sambil menyerahkan bantuan, tidak kurang jargon heroiknya. Sementara di sudut lain spanduk berisi sanjungan dari komunitas-komunitas tertentu tampil elegan bak memuji seorang pahlawan. Pilkada sudah dekat, kampanye mesti semakin giat.

Pada 2011 ini Yogyakarta punya dua hajatan besar demokrasi. Pertama 19 Juni Pilkada Kulonprogo dan 25 September giliran Pilkada Kota Yogyakarta. Sejumlah calon telah jauh-jauh hari merancang agenda pemenangan. Dari membentuk tim sukses, bikin anggaran dana yang besar, sampai ngalor-ngidul nglamar ke partai politik. Atau bagi yang punya ’pengaruh’ tinggal duduk manis menunggu pinangan maka kendaraan politik akan datang.

Sabtu, 28 Mei 2011

Manuskrip Kita dan Dunia


KURANG LEBIH sudah lima hari saya terus-menerus memutar lagu ini. Setiap selesai mandi sambil berpakaian, menemani sarapan pagi sebelum bepergian, sampai memfungsikannya sebagai penghantar tidur pada malam hari. Selain karena belingsatan menentukan lagu ––saking bejibunnya lagu yang digemari, ada pula maksud lain, yaitu supaya saya lebih mengenal, memahami dan bukan sekedar mengerti tapi juga mendalami tembang tersebut. Mudah-mudahan tercapai.

Terus terang lagu itu juga tidak semata-mata menjadi ’Soundtrack Of Your/My Life’ seperti ketentuan tema dalam Kompetisi Menulis Radio Swaragama FM. Penyebabnya ialah ide yang akan diejawantahkan melalui tulisan ini cenderung menyangkut soal-soal universal. Bisa jadi klise bahkan barangkali sudah banyak sekali pembahasnya.

Senin, 16 Mei 2011

Realisme Sinema Cinta

SUDAH KETIGA kalinya ––kalau tidak salah ingat, aku menonton lagi film 500 Day Of Summer secara utuh. Film ini dulu aku temukan di komputer LPM Keadilan pada awal 2010, dan saat itu pula untuk pertama kalinya aku setel. Berulang-ulang memutarnya tak sedikitpun ada kejenuhan. Boleh jadi hal tersebut lantaran aku merasakan bahwa ceritanya sedikit banyak bertalian dengan, aku. Khususnya menyangkut soal wanita, intuisi dan cinta, lebih-lebih cinta tanpa penyelesaian.

Sebetulnya aku canggung, bisa juga efek sampingnya bikin bingung, ketika diminta membahas urusan cinta ––sangat ditekankan pada cinta sepasang kekasih. Bagaimana tidak, diantara kawan sekomplotan dalam Grup Menulis Kabita, tampaknya aku adalah jawara untuk predikat jomblo paling lama. Bayangkan saja hampir lima tahun sendiri. Apa enggak kebangetan! Syukur deh kalau ada yang mendekati rekor itu.

Sabtu, 30 April 2011

Sebuah Tanda Tanya Bernama Agama


(?) Tanda Tanya
Sutradara: Hanung Bramantyo
Skenario: Titien Wattimena
Pemain: Reza Rahardian, Revalina S. Temat, Agus Kuncoro, Endhita, Rio Dewanto, Henky Solaiman
Produksi: Mahaka Pictures dan Dapur Film

SEKITAR DUA-TIGA minggu lalu, saya bikin janji dengan kawan lama semasih SMA –Affan Baskara Patria dan Dati Handayani, akan nonton film Tanda Tanya (?) di Bioskop 21. Memang sudah terencana jauh-jauh hari untuk tidak melewatkan film garapan Hanung Bramantyo ini. Konon temanya kontroversial, rada sensisitf karena menyangkut urusan keyakinan. Perihal itu pula yang menjadi salah satu alasan saya tidak ingin menyia-nyiakannya.

Sebetulnya film ini sedikit (walau takarannya sangat kecil sekali) mengecewakan. Tapi nanti saja saya ceritakan dimana letak kekecewaan tersebut. Yang jelas Hanung Bramantyo, lewat Film ? ingin mengangkat realitas kontemporer bangsa Indonesia. Mulai tetekbengek soal aqidah, pluralitas, sosial, ekonomi hingga cinta.

Sabtu, 02 April 2011

Layang-layang Mimpi


BARANGKALI KALAU sore tadi tidak berangkat ke kampus, aku akan terus berkutat pada kerumitan pemilihan sudut pandang, lebih-lebih penentuan titik masuk untuk membawa ke babak demi babak tulisan keduaku ini. Tulisan untuk disertakan dalam kompetisi menulis kecil-kecilan seperti yang pernah aku ceritakan tempo lalu.

Makanya lantaran sebab rumit itu, aku jadi terlambat memposting naskah ini di catatan Facebook sesuai kesepakatan awal bersama kawan sekomplotan. Padahal aku sendiri yang gembar-gembor soal deadline supaya dikumpul tepat waktu. Maafkanlah kawan!

Sabtu, 26 Maret 2011

Menulis Itu Perlu


TERUS TERANG aku sebenarnya sama sekali tidak punya gambaran, menyangkut apa yang mesti aku tulis kali ini. Aku bingung, ide pun enggan berkunjung. Namun, sudah terlanjur disepakati bersama beberapa kolega, bahwasanya kami akan melakukan sebuah kompetisi menulis kecil-kecilan, tanpa piala, tanpa hadiah duit pembinaan. Tidak bergengsi, tapi dengan mimpi tinggi, kelak barangkali gagasan ini akan menjadi tonggak dimulainya budaya menulis. Kami coba mendahului, semoga dapat melecut motivasi.

Godean, Senin, 21 Maret 2011. Tempat itu tidak punya halaman luas untuk berlari-larian. Biar sempit pekarangannya, ia berdiri megah. Ditopang empat pilar, dihiasi ukir-ukiran Jawa plituran nan indah menawan lengkap dengan dua payung antik. Kursi tamunya pengkuh terbuat dari kayu jati, diterangi cahaya temaram lampu gantung, suasananya tenang. Pendopo tersebut nyaman digunakan ngobrol ngalor-ngidul semalaman.

Minggu, 20 Maret 2011

Episode Kedua: Rasionalitas

PENGGALAN EPISODE pertama tentang realistis telah dilalui. Selanjutnya episode kedua akan aku bahas. Ceritanya berbeda, locus dan tempus delictinya juga tidak sama. Perbedaan visi, orientasi dan cita-cita, topik perbincangan kali ini. Berkaitan dengan pondasi mimpi yang sudah dibangun bertahun lamanya.

Seorang kawan mengabarkan, jika ia berniat keluar dari komunitasnya. Alasannya, keberadaan dia di koloni tersebut cuma menghambat kemajuan. Diungkit pula kesibukannya masa lalu. Sepengetahuannku tidak pernah ada protes barang satu kata saja terkait soal kesibukan, kapan dan dimanapun. Artinya memang bukan perkara muslik, apalagi telah disepakati sampai pada tataran solusi, yakni toleransi.

Sabtu, 19 Maret 2011

Episode Pertama: Realistis

BELAKANGAN PENGGALAN sembilan huruf tercecer-cecer tak karuan ini sering terlafaskan oleh mulut sendiri, berdenging-denging di telinga dari mulut orang lain ataupun tersaji dalam ujud tulisan, seperti yang akan aku kerjakan sekarang.

Sebelum aku garap, perlu aku sampaikan, bahwasannya sembilan huruf ini bahkan sudah belasan kali tercetak. Tercetak lalu diserahkan kepada orang-orang yang sedang linglung-murung, jiwanya terapung-apung, nasibnya terkatung-katung karena tekanan demi tekanan tak kunjung rampung. Nanti setelah berputar-putar, sembilan huruf akan membentuk satu kata utuh, yaitu realistis.

Sabtu, 05 Maret 2011

Potret Imajiner


POTONGAN FOTO berukuran sekitar 6x8 cm itu masih tersimpan rapi dalam sebuah album berdimensi 3R. Biar fotonya terdesak, maksudnya terselip diantara gambar-gambar yang lebih besar, gadis dalam potret itu tetap tersenyum legit.

Barangkali lantaran ia tidak sendirian. Ada gambar lain dirinya dengan ekspresi, latar dan pakaian berlainan. Aku sengaja mengarsip dua potongan wajah tersebut, dua potret asa masa lalu yang menjadi satu-satunya penawar karena endemi kasmaran kerap menjalari pikiran.

Senin, 21 Februari 2011

Ulasan Padang Bulan


Apa alasan pas buat menyematkan label kecewa di atas sampul buku ini? Yaitu, pada tulisan pengantar, di balik cover buku, lalu di bagian pendahuluan, dari lembaran-lembaran itu saya sudah membayangkan cerita Padang Bulan bakal membahas sosok Enong panjang lebar, termasuk animonya terhadap Bahasa Inggris serta segala keprihatinan hidupnya.

Sayang, pembahasan mengenai Enong cuma diperoleh pada bagian-bagian depan, mungkin hanya sekitar lima sampai tujuh mozaik. Selebihnya, Enong sebatas serbuk-serbuk pelengkap kisah cinta Ikal dengan A Ling. Makanya, kalau mau dibilang kesal, ya wajar.

Selasa, 15 Februari 2011

Tentang Jurnalis Keadilan


SEPEDA ONTHEL merk Humber itu berhenti di depan warung majalah berlabel ‘Lamhaba’. Terengah-engah pemilik onthel melangkah memasuki toko. Sang penjaga nampak sedang sibuk meladeni seorang pembeli. Saya si pemilik tersebut, megap-megap minta tolong diambilkan satu eksemplar Koran Republika. Penjual melayani hangat.

Tadi siang menurut kolega saya, sedang dibuka lowongan reporter dan iklannya tercantum di Koran Republika, yang punya gawai buka lapangan kerja. Lembar per lembar saya buka, belum ketemu. Hingga saya jumpai terpampang besar di sudut kanan bawah halaman empat, –Edisi Senin 10 Januari 2011– tertulis huruf kapital “KESEMPATAN BERKARIER”.

Sabtu, 29 Januari 2011

Pamitan


Pada mulanya aku punya gagasan akan bahas mengenai Nona S. yang tidak sengaja berjumpa di suatu tempat kemarin siang. Sementara ini pembahasan tersebut ditunda dulu, karena pada malam hari setelah bertemu Nona S. ada peristiwa penting dan sayang bila terlewatkan. Persuaan dengan Nona S. bakal aku ceritakan belakangan.

Jarum jam menunjukan pukul sebelas malam. Sepeda motor itu melaju kencang menembus jalanan dipayungi temaram lampu kota. Aku dan seorang sohib, Adhit Dhroe Dibyandaru, berboncengan menuju ajang pertemuan di rumah Anto Nurjananto. Band BOHE akan berkumpul, tukar pikiran sekaligus, nanti saja aku beri tahu di paragraf selanjutnya.

Sabtu, 08 Januari 2011

Almanak Pak Tua


Penulisan ini aku mulai, sebagai permulaan awal tahun. Sebenarnya aku gagap apa yang mesti dicatat. Sebagian kalimat aku salin di Kantor LPM Keadilan, dua hari silam 5 Januari 2011. Suasana sangat hening kala itu. Hanya ada bunyi desis CPU komputer dan suara televisi dari pos satpam depan. Aku sempatkan bikin catatan sambil menunggu seorang teman yang tak kunjung datang.

Sekarang sudah hari ke delapan di Januari. Masih ada 352 hari lagi untuk mengakhiri tahun ini.
Heraclitus pernah bilang, ”segala sesuatu dalam keadaan bergerak dan tidak ada sesuatu yang diam.”