Pages

Minggu, 19 Januari 2014

Pak Rho

“Sebenarnya kami tidak butuh bantuan-bantuan semacam ini. Yang kami perlu, cukuplah kami bisa kembali diterima oleh masyarakat.”
LEBIH KURANG BEGITU reaksi seorang tua, 73 tahun, bernama Pak Rho, atas rencana bantuan pemeriksaan kesehatan yang ditawarkan dua lembaga negara di republik ini. Untuk orang seumurannya badan Pak Rho masih tampak tegap-segar meski rambutnya sudah beruban, mukanya kisut dan bintil-bintil hitam tumbuh di separoh pipinya. Pak Rho adalah salah satu dari lima orang bekas tahanan politik 1965 yang kemarin sore saya jumpai di sebuah kantor hukum di Yogya.
Tampang Pak Rho dingin dan serius tatkala mendengarkan uraian rencana bantuan kesehatan fisik/psikis itu. Kendati terlihat kurang antusias, Pak Rho tetap menyimak penjelasan seorang delegasi lembaga negara. Namun di balik wajah keriputnya, saya merasa semacam terdapat sesuatu sedang ia sembunyikan. Sesuatu yang bikin hatinya gundah gulana sehingga dia terlihat tegang.
Terlepas ada kemungkinan ekspresi tegang itu memang sudah bawaan lahir, tapi saya menengarai ketegangan yang muncul dari muka Pak Rho lantaran ketidaksetujuannya dengan konsep bantuan pemeriksaan kesehatan ini. Bisa dinilai dari pendapat-pendapat yang ia utarakan dan saya dapat memafhumi. Pasalnya, syarat-syarat yang musti dipenuhi dalam program ini amat banyak dan terkesan rumit. Semisal diperlukan Surat Pembebasan Dari Tahanan. Dokumen ini diterbitkan antara tahun 1970-1980-an. Tidak semua eks tapol masih memiliki. Belum lagi dibutuhkan pula pernyataan bermaterai dari dua orang saksi yang mengetahui bahwa Pak Rho beserta kolega pernah ditahan. Mungkin dalam hati Pak Rho bergumam, ini syarat merepotkan betul! Kenapa malah korban yang diminta aktif mengurus tetekbengek itu? Seharusnya negara yang giat memperbaiki namanya, juga nama rekan-rekan sejawatnya sesama korban 65.
Untuk kali ini saya sepakat dengan pemikiran Pak Rho. Kalau negara bertekad bulat dan serius untuk memberi pertolongan maka korban tidak perlu dibuat kewalahan mengurus ini-itu. Toh senyatanya bantuan-bantuan sejenis ini tidak terlalu diharapkan. Yang sangat dinanti-nanti hingga kini ialah, negara mau akui kesalahan masa lalu, menyingkap tabir kebenaran dan meminta maaf. Menukil Yap Thiam Hien, kasus Tapol G-30-S adalah pelanggaran HAM yang paling keji yang pernah dilakukan Indonesia terhadap bangsanya sendiri. Mungkin sepanjang sejarah Indonesia.