Pages

Minggu, 20 Maret 2011

Episode Kedua: Rasionalitas

PENGGALAN EPISODE pertama tentang realistis telah dilalui. Selanjutnya episode kedua akan aku bahas. Ceritanya berbeda, locus dan tempus delictinya juga tidak sama. Perbedaan visi, orientasi dan cita-cita, topik perbincangan kali ini. Berkaitan dengan pondasi mimpi yang sudah dibangun bertahun lamanya.

Seorang kawan mengabarkan, jika ia berniat keluar dari komunitasnya. Alasannya, keberadaan dia di koloni tersebut cuma menghambat kemajuan. Diungkit pula kesibukannya masa lalu. Sepengetahuannku tidak pernah ada protes barang satu kata saja terkait soal kesibukan, kapan dan dimanapun. Artinya memang bukan perkara muslik, apalagi telah disepakati sampai pada tataran solusi, yakni toleransi.

Makanya, aku heran saat ia bilang, “Kata siapa tidak dipersoalkan?” Tindak tanduk aneh, barangkali sedang terpancing emosinya. Tak maulah berprasangka. Yang jelas, kelompok ini nampaknya lagi kritis.

Lalu apa sebab kritis? Usut punya usut, hipotesisku mengungkap soal perbedaan visi dan orientasi. Koloni terpecah dua kubu, pihak serius serta pihak penggembira. Pihak serius punya ekspektasi tinggi, sedangkan penggembira cuma berharap gembira saja tanpa dipaksa serius serta tanpa mimpi muluk-muluk. Maksudnya, kita mesti relevan dengan kondisi.

Tentu masing-masing punya pilihan dan berhak menentukan sikap. Walau beragam alasannya, namun pilihan definitifnya hanya dua, berhenti atau dipaksa lanjut. Berhenti adalah opsi paling rasional. Ia beri kesempatan bagi yang serius, buat menekuni keseriusannya di tempat lain, sedangkan penggembira tidak disangka sebagai penghambat.

Ekses solusi ini cenderung positif, yaitu berhenti menghilangkan kecurigaan, pertentangan, perlawanan, emosi dan egosentris. Artinya hubungan baik belasan tahun awet terjaga. Bayangkan saja bila berlanjut, penggembira serasa dipaksa, terbebani, ujung-ujungnya bikin marah kalau tidak kuat tahan amarah, bergandengan tapi berlawanan arah, susah menentukan tujuan, salah-menyalahkan, rusaklah pertemanan.

Apalagi tanpa stimulus, makin kacau nanti. Maksudnya, toh penggembira mau dipaksa-paksa sampai bersedia, tetap saja percuma karena sudah main tidak dengan jiwa. Pada episode kedua, memang fasenya sedang di bawah, turun semakin ke dasar kian dalam semakin hilang. Mungkin begitu kalau mengalegorikan keadaan kelompok ini sekarang. Masa kalut, fase penentuan.

Paragraf terakhir sekaligus akan menutup dua episode, Realistis dan Rasionalitas. Akhirnya, mesti berpikir bijak untuk tujuan sederhana. Bukan mimpi muluk-muluk nun tinggi, susah menggapainya. Apalagi sampai bikin pecah kongsi, mending distop dari sekarang sebelum terlambat. Ketimbang merembet-rembet berbuah buruk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar