Pages

Sabtu, 30 April 2011

Sebuah Tanda Tanya Bernama Agama


(?) Tanda Tanya
Sutradara: Hanung Bramantyo
Skenario: Titien Wattimena
Pemain: Reza Rahardian, Revalina S. Temat, Agus Kuncoro, Endhita, Rio Dewanto, Henky Solaiman
Produksi: Mahaka Pictures dan Dapur Film

SEKITAR DUA-TIGA minggu lalu, saya bikin janji dengan kawan lama semasih SMA –Affan Baskara Patria dan Dati Handayani, akan nonton film Tanda Tanya (?) di Bioskop 21. Memang sudah terencana jauh-jauh hari untuk tidak melewatkan film garapan Hanung Bramantyo ini. Konon temanya kontroversial, rada sensisitf karena menyangkut urusan keyakinan. Perihal itu pula yang menjadi salah satu alasan saya tidak ingin menyia-nyiakannya.

Sebetulnya film ini sedikit (walau takarannya sangat kecil sekali) mengecewakan. Tapi nanti saja saya ceritakan dimana letak kekecewaan tersebut. Yang jelas Hanung Bramantyo, lewat Film ? ingin mengangkat realitas kontemporer bangsa Indonesia. Mulai tetekbengek soal aqidah, pluralitas, sosial, ekonomi hingga cinta.

Plot dibuka dengan latar tempat di sebuah Gereja. Para jamaah yang sedang bercakap-cakap dan bersalaman dengan pastur, tiba-tiba saja geger. Ada orang menyelinap diantara kerumunan, kemudian seketika menusuk salah seorang imam gereja. Ia tergeletak, darah melumuri pakaian putihnya. Penusuk berhasil kabur membonceng motor.

Bagian ini memberi gambaran awal menyangkut keseluruhan cerita film bahwa kejadian itu akan menimbulkan konflik berkepanjangan. Merupakan introduksi yang akan menghubungkan kita pada pertikaian pelik pada fase-fase selanjutnya.

Hanung membagi cerita dalam tiga babak dengan dukungan banyak aktris-aktor, yaitu kehidupan keluarga Rika (Endhita), Menuk (Revalina S Temat) dan Ping Hen (Tio Dewanto). Masing-masing adegan punya gagasannya sendiri-sendiri walau masih saling berelasi. Rika dan Menuk sudah saling kenal, Rika sering mampir ke restoran Cina ‘halal-haram’ milik Tan Kat Sun (Hengky Sulaeman), tempat Menuk bekerja sebagai pelayan. Dari pertalian itulah pergolakan fisik dan batin dibuka. Disuguhkan dalam pandangan agama yang berbeda, Islam, Kristen dan Konghucu. Melalui dua aktualisasi berlainan: lembut dan keras.


Nilai polemis bagi Film ? yakni, ia cukup berani menembus tapal batas soal-soal fundamental, dengan mengetengahkan ketegangan antar tokoh begitu ‘vulgar’. Dialog-dialog provokatif yang menyulut konfrontasi kerap kita temui. Lebih-lebih jika Soleh (Reza Rahadian) dan Ping Hen alias Hendra (Tio Dewanto) berpapasan. Bukan lagi sekedar cek-cok mulut, tapi sudah sampai berkelahi.

Soleh adalah suami Menuk. Ia digambarkan sebagai sosok taat beragama tapi peradang, gampang marah. Faktor harga diri karena tidak bekerja, –justru Menuk yang mencari nafkah untuk keluarganya– membikin Soleh kesal. Menuk jadi luapan amarah Soleh, apalagi ia bekerja di restoran Tan Kat Sun, ayah Ping Hen, semakin membuat Soleh sinis.

Kedua orang ini, Ping Hen dan Soleh gemar ejek-ejekan. Olokannya pun cenderung Rasis. Ping Hen seorang keturunan Cina sering dicemooh oleh Soleh, ”Cino asu!” Sebaliknya, tiap bertemu dengan Soleh –dalam film ini diperlihatkan Ping Hen juga terlibat adu mulut dengan serombongan orang Islam, Ping Hen mengatainya, “Islam teroris!”

Pertikaian Ping Hen dan Soleh cenderung disebabkan sentimen masa lalu. Ping Hen pernah mencintai Menuk, hanya cinta Ping Hen mengalami kegagalan. Barangkali lantaran perbedaan keyakinan, maka Menuk lebih memilih Soleh sebagai suaminya. Dalam Film ? Menuk direpresentasikan menjadi perempuan protagonis. Berjilbab, rajin solat, lemah lembut dan senantiasa ngemong suaminya.

Rika berambut pendek, berwajah manis dan bertubuh ramping. Ia mesti mengasuh anak semata wayangnya sendirian. Rika sudah bercerai, lantaran suaminya memintanya supaya mau dipoligami. Oleh sebab itu Rika memutuskan pindah agama. Dari Islam menjadi Katolik.

Keputusannya menjadi Nasrani bukan tanpa masalah. Sehabis memeluk Katolik, ia bersitegang dengan Abi, anaknya yang masih Islam. Abi ngambeg tidak mau sarapan dan minum susu bikinan ibunya, belum lagi penentangan kedua orang tua terhadap sikap Rika.

Di tengah konflik tersebut Surya (Agus Kuncoro) hadir sebagai sosok pencair ketegangan. Ia sejawat Rika, seorang aktor amatiran yang pengin profesional tapi selalu gagal lantaran kerap dapat peran figuran. Surya sering beranjangsana ke perpustakaan milik Rika. Bisa dibilang kehidupan Surya kacau. Ia frustasi. Sudah berbulan-bulan ia menunggak uang kontrakan. Hal ini membikin induksemangnya mencak-mencak.

Sebenarnya Surya tidak sepaham dengan keputusan Rika pindah agama. Ini terlihat dalam dialog Surya dengan Rika, “Kamu mengkhianati dua hal sekaligus: Perkawinan dan Allah!” Namun Surya menghormati keputusan Rika.

Ada adegan menarik, ketika Rika mengikuti sekolah baptis. Pastur (Dedi Sutomo) meminta kepada jamaah gereja yang menghadiri kelasnya menuliskan pengertian Tuhan di secarik kertas. Rika yang masih hijau soal Katolik –apalagi mengenai Tuhan barunya, kebingungan. Lalu baru diketahui pada sesi pembahasan ‘Kesaksian: Tuhan di Mataku’ hari berikutnya, saat pastur membacakan jawaban tiap jamaah, Rika justru mencatatkan Asmaul Husna, Ar-Rahman: Maha Pengasih, Ar-Rohim: Maha Penyayang.

Menurut Hanung Bramantyo, dalam website filmtandatanya.com, alasan penyebutan Nama Allah SWT di dalam Gereja oleh Pastur, karena nama Tuhan bermakna indah dan universal. Asmaul Husna merupakan nama Allah, meliputi segala yang indah di bumi dan langit. Tidak ada nama indah selain diriNya seperti dimiliki agama lain.

Semakin berkurang durasi film kian menegang pula friksi-friksi antar tokoh. Kita akan dibawa ke dalam fase dimana, tiap-tiap tokoh memutuskan sesuatu hal.

Pada suatu perayaan Paskah, Rika menawari Surya untuk terlibat dalam drama penyaliban Yesus. Honornya tinggi. Singkat kata, Surya lolos casting dan dapat peran jagoan seperti yang selama ini diidam-idamkan. Ia diplot menjadi tokoh utama, Yesus.

Surya bimbang. Ia masih menimbang-nimbang, batinnya bergulat hebat, ini menyangkut aqidah. Tapi ia juga mesti realistis dengan kondisinya sekarang, desakan ekonomi menuntutnya untuk tetap hidup. “10 tahun saya menjadi aktor, cuma figuran doang!” teriak Surya. Alhasil Surya menganggap hidupnya ‘sekedar numpang lewat’.

Sebelum mengambil keputusan, ia konsultasikan perihal tersebut dengan Ustadz (David Khalik) yang sering mengajar ngaji anak-anak. Untuk lebih memantapkan hati, ia juga bertafakur. Mudah-mudahan tetap istiqomah.

Setelah melalui perenungan mendalam, Surya memutuskan menerima tawaran tersebut. Ia mau memerankan Yesus dalam drama Paskah. Awalnya tidak ada masalah, tapi ternyata tiba-tiba Don (Glen Fredly) menentangnya. Lagi-lagi soal fundamental, Don mempermasalahkan tokoh Yesus yang justru diberikan pada orang Islam.

Sedangkan Soleh, memutuskan bergabung dengan Barisan Serbaguna Nahdatul Ulama (Banser NU). Ini merupakan profesi mulia dan diidam-idamkan Soleh, ‘bekerja di jalan Allah’. Sementara Ping Hen, yang sepanjang film merengut saja airmukanya serta tidak punya tujuan hidup yang jelas, akhirnya memilih untuk merombak total restoran ayahnya. Ia mengubah sistem yang sudah disusun Tan Kat Sun. Semula menjual makanan halal dan haram, dengan bumbu dan alat masak terpisah, kemudian menjadikannya restoran babi.

Keputusan tersebut memicu amarah Soleh. Apalagi Ping Hen juga memotong libur lebaran dari lima hari menjadi satu hari. Sehingga Menuk, istrinya, tidak punya waktu banyak untuk berkumpul dengan keluarga.

Seperti disampaikan di awal tulisan, bahwasannya Film ? sedikit mengecewakan. Kontradiktif dengan judulnya, film ini tidak menyisakan tanda tanya sama sekali dan terkesan klise karena memunculkan peristiwa heroik yang dilakukan Soleh. Tokoh Soleh, seperti dikatakan sutradaranya sendiri, terinspirasi oleh kisah nyata anggota Banser yang tewas pada 2000 dan namanya diabadikan sebagai nama kampung.

Soleh, Menuk, Ping Hen, Rika dan Surya pada akhirnya memperoleh jalannya sendiri-sendiri. Film ? akan lebih baik jika tidak memberikan klimaks, tapi menyuguhkan penutup yang tidak ada penyelesaiannya. Biarlah persoalan pokok tidak terjawab, biarkan penonton meraba-raba.

Pada intinya Film ? menegaskan pentingnya toleransi. Membina hubungan baik sesama manusia adalah hal mutlak, dan perbedaan bukan menjadi penghalang terciptanya kedamaian. Agama juga bukan propaganda paling ampuh dalam menyulut konflik. Ia semestinya menjadi penebar kemuliaan. Hanung memfokuskan jalan cerita berdasarkan tiga agama, yakni Islam, Kristen dan Konghucu. Artinya pluralitas benar-benar begitu ditekankan.

Kalau mau terus terang sejatinya Film ? itu, Gus Dur banget.

1 komentar:

  1. Toleransi berdasarkan Islam ada dala Al kafirun " Untukmu agamamu dan untukku agamaku".
    Bukan dengan mencampur adukkan semua agama dengan alasan pluralisme, yang mudahnya adalah Muslim berjalan sesuai syariatnya dan non muslim berjalan sesuai dengan agamanya. Islam tidak pernah menyerang sebelum dia diserang akidahnya.

    Film Hanung memang selalu mencampur adukkan akidah sesuka hatinya.

    BalasHapus