Pages

Sabtu, 02 April 2011

Layang-layang Mimpi


BARANGKALI KALAU sore tadi tidak berangkat ke kampus, aku akan terus berkutat pada kerumitan pemilihan sudut pandang, lebih-lebih penentuan titik masuk untuk membawa ke babak demi babak tulisan keduaku ini. Tulisan untuk disertakan dalam kompetisi menulis kecil-kecilan seperti yang pernah aku ceritakan tempo lalu.

Makanya lantaran sebab rumit itu, aku jadi terlambat memposting naskah ini di catatan Facebook sesuai kesepakatan awal bersama kawan sekomplotan. Padahal aku sendiri yang gembar-gembor soal deadline supaya dikumpul tepat waktu. Maafkanlah kawan!

Beruntung selama perjalanan menuju kampus aku seolah mendapati sesuatu yang menerangi pikiran buntuku. Di lapangan badminton samping kantor kelurahan, di gang-gang sempit kampung hingga di trotoar jalanan, anak-anak tampak terlibat dalam konspirasi penerbangan dan penyerangan.

Bak pesawat tempur, ada pilot yang pegang setir, ada radar yang membantu mengawasi gerak-gerik musuh, persiapkan tak-tik jitu buat adu strategi. Amunisi lengkap canon, rudal dan bom, perlindungan 86. Bedanya, kali ini di pesawat tempur akan mengikutsertakan seorang pramugari cantik untuk bernegosiasi dengan alam. Pesawat ini butuh cuaca terang, angin yang berhembus tidak terlampau kencang juga tidak jarang-jarang.

Ini penting agar pesawat dapat terbang dan peperangan dimenangkan. Apalagi bukan mesin penggeraknya, melainkan semilir angin yang akan membawanya melayang. Ya, pesawat tempur itu bernama layang-layang.

Anak kecil itu berlarian girang di pinggir jalan. Tangannya hendak menengadah, matanya memicing terkena sinar matahari sore, namun tatapannya tetap tajam mengintai target buruan. Langkahnya kian kencang, tak sabaran menikmati hasil tangkapan yang meliuk-liuk licin diterbangkan angin. Kuda-kuda dipasang, satu-dua-tiga, lompat ”Hap! Tertangkap kau layang-layang!” Wajahnya berseri-seri.

Baru aku sadar, jika sekarang sedang musim layangan. Makanya hampir di sudut tempat yang aku lewati, sejumlah anak-anak tampak menyangking kertas minyak diplentangkan bambu tipis di punggungnya, serta kaleng buntalan senar di pergelangan tangan yang dibawa kesana kemari.

Melihat mereka, aku punya pretensi untuk menjadi pilot layang-layang lagi. Terakhir ngunduh barangkali telah lebih dari sepuluh tahun lampau. Selalu senang tiap berhasil menaikkan. Belum lagi bila jadi jawara, bakal dikejar-kejar itu layangan putus sampai ke kolong-kolong semut. Kalau sudah di tangan, pamer deh ke teman-teman. Bangga nian bukan kepalang. Most wanted betul layang-layang!

Di Afganistan sana, layang-layang bahkan sudah amat berkelas keberadaannya. Hampir semua distrik di Kabul rutin menyelenggarakan turnamen layang-layang. Ini merupakan tradisi turun temurun di Afganistan tiap musim dingin. –Dari literatur, orang Afganistan tidak mengenal aturan, tapi menghargai tradisi. Jadi tidak ada aturan dalam peperangan layang-layang.

Bagi anak laki-laki Kabul, adu layang-layang bak menjadi seorang prajurit yang akan pergi bertempur. Lusinan peserta mendaftar, masing-masing pengin beradu kuat macam jagoan. Lapangan bersalju, atap-atap bangunan tak pernah sepi penonton. Orang tua pada menyemangati anak-anaknya. Biasanya pengadu layangan ditemani seorang asisten.

Pengadu dinyatakan menang jika, layang-layangnya menjadi layangan semata wayang yang bertahan di atas awan. Ia sukses menyisihkan kompetitor, ia rangking satu. Kemudian setelah rivalitas selesai, giliran pengejar layang-layang beraksi. Keadaan ini menimbulkan rivalitas baru dan kerap berakhir brutal. Kalau layang-layang sudah di tangan, jangan harap bisa merebutnya.

Yang bikin heran, buat apa coba orang mati-matian kejar-kejaran dan rebutan layang-layang? –termasuk ’aku kecil’. Padahal kalau mau, cukup minta duit 500 perak sama orang tua, layangan baru sudah digenggaman. Tidak usah repot memburu gabulan. Tapi aku punya eksplanasi buat merinci perihal tersebut.

Menerbangkan layang-layang berarti kau sudah berani untuk bermimpi tinggi. Ya, karena seyogyanya manusia adalah pemimpi. Kau susah payah menerbangkan supaya, merasakan senang lantaran tercapainya cita-cita. Oleh sebab itu kau minta bantuan teman untuk mengurai benang, merentangkan layang-layang, membikin ancang-ancang, seluruhnya agar ia bisa terbang. Memang belum pasti terbang sih, boleh jadi dalam seketika malah menghujam kembali ke darat. Sobek, patah! Tapi akankah kita menyerah?

Padahal hakekatnya setinggi apapun mimpi kamu, tidak melulu diperoleh dengan mulus. Perlu stimulus, kerelaan tulus menjalani segala susah-pahitnya sebelum mencapai ketinggian-kesuksesan. Butuh keberanian melanggar garis demarkasi ’pesimisme’, yang berarti pantang patah arang buat mencoba dan mengulang.

Saat layang-layang sudah perkasa dilangit, kau akan beradu kuat melawan seteru kamu. Berbagai senjata kau keluarkan, tali goci mengendalikan keseimbangan, ditambah siasat-siasat jitu hasil kompromi pramugari cantik dengan alam. Gesek-gesekkan, menarik-mengulur senar gelasan, berkelit-menyerang-bertahan, pertarungan amat seru, penonton berderu-deru.

Dan sekali lagi kau akan belajar tetap kokoh dalam setiap kompetisi. Lebih baik kalah tapi sudah berjuang, daripada mundur sebagai pengecut. Karena kau punya mimpi yang sudah berpayah-payah kau bangun, kasihan mimpimu kalau dikhianati. Selain itu kita juga belajar buat bersikap rendah hati, tidak pongah saat kau menjawarai pertandingan serta lapang dada bila menerima kekalahan. Ketika layang-layang kamu putus, kau hendak memburunya. Lagi-lagi kita mengerti tentang optimisme mengejar ambisi. Aku sendiri menduga bahwa, faedah bermain layang-layang yaitu belajar untuk yakin, menghormati sesama dan berlaku tawaduk.

Jadi, naga-naganya bukan semata soal kehormatan atau urusan berapa fulus. Tapi juga soal kegembiraan hati. Layang-layang ibarat sebuah mimpi, tidak semudah itu bisa dibeli. Ia butuh perjuangan untuk meninggikan, ia perlu keringat buat mengejar, ada pengorbanan dalam suatu usaha, hingga mimpi benar-benar diraih melalui jerih payah kesungguhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar