Rabu, 07 April 2010
Kehidupan Tanpa Hukum
Pernahkah Anda membayangkan jika kehidupan ini berjalan tanpa hukum. Sejak dalam pikirannya, bagi sebagian orang itu sesuatu yang mustahil. Kacau balau, chaos, semrawut, berantakan, dan kata-kata lain yang bisa mewakili hal paling buruk yang mungkin akan terjadi jika hukum hilang. Pendapat itu tidak salah, tapi pernahkah anda membayangkan jika ternyata dengan hukum kehidupan tidak juga berubah menjadi lebih baik, hukum dibuat manusia dan oleh manusia itu sendiri hukum dilawan.
Sejak munculnya hukum modern pada abad ke 18, setelah melalui transformasi sosial, politik, ekonomi dan kultural, tatanan kehidupan berubah drastis. Hukum hampir membabat habis komunitas yang telah terlebih dulu hadir. Kehadiran hukum modern mampu meminggirkan komunitas-komunitas asli sebelumnya, namun sesungguhnya komunitas itu tidak serta merta tersingkir, melainkan tetap ada dan bekerja secara diam-diam (latent).
Dalam tubuh komunitas tersebut juga terkandung kaidah-kaidah sosial sebagai aturan yang menjadi pedoman berkehidupan hingga sampai pada tempat tujuan, yaitu jagad ketertiban. Hanya saja berbeda dengan konsep hukum modern yang lahir lebih muda dan artifisial, kaidah-kaidah sosial lahir secara alamiah dengan sudah mengenal kondisi sosial dalam komunitas tersebut. Dari sisi normatif hukum memang memiliki legitimasi yang lebih kuat, tetapi betapa banyak segmen sosial itu tidak dibentuk oleh hukum tapi oleh komunitas itu sendiri. Sehebat apapun hukum, kekuatan komunitas asli dapat melengkapi aturan yang dibuat oleh hukum atau bahkan merubah secara menyeluruh sesuai keinginan.
Kehadiran hukum modern seolah ingin menghegemoni kehidupan asli dengan peraturan-peraturan yang dibuatnya. Hukum akan selalu berurusan dengan ketertiban, hukum menempatkan diri sebagai penjaga, pengatur dan produsen ketertiban. Maka dari itu, hukum membuat peraturan, ajakan, dan larangan yang pada akhirnya menjadikan hukum sebagai institusi normatif semata. Dengan keadaan tersebut hukum tidak dapat membanggakan dirinya sebagai individualis, yang mampu mengerjakan segalanya sendiri, tetapi hukum akan berinteraksi dan butuh bersosialisasi dengan kaidah-kaidah sosial atau hukum adat dalam suatu masyarakat.
Di Bali misalnya dapat kita jumpai interaksi antara hukum modern dengan hukum adat setempat. Kondisi masyarakat yang masih mempertahankan kultur balinese-nya membuat hukum adat disitu tidak terkontaminasi dengan kehadiran hukum modern, tetapi membuat hukum modern harus berafiliasi dengan struktur sosial yang berlaku disana. Kita ambil contoh institusi pecalang (polisi adat) yang dalam tugasnya sering mendampingi kepolisian Negara (Polri) dan bahkan mengisi kekurangan yang tidak dimiliki Polri, misalnya dengan menjadi penjaga ekosistem laut. Ini menunjukan suatu interaksi yang dinamis antara keduanya. Komunitas yang kuat, dengan budaya lokalnya, mampu berkompromi dengan Negara. Sedangkan komunitas yang tidak kokoh dan tidak berintegritas akan menjadi tawanan Negara dan hukum Negara. Sebut saja Jawa, di Jawa sesungguhnya juga memiliki konsep keamanan adat seperti halnya pecalang di Bali. Dalam masyarakat tradisional jawa dulu dikenal adanya jagabaya. Jagabaya tidak berbeda jauh dengan tugas pecalang di Bali,yaitu sebagai institusi keamanan. Hanya saja lemahnya integritas masyarakat Jawa terhadap kultur aslinya membuat jagabaya hilang ditelan bumi.
Hukum modern yang bersifat artifisial dan cenderung kaku dengan aturan-aturan normatif didalamnya tidak bisa kemudian masuk begitu saja ke dalam komunitas lokal yang telah memiliki bargaining power yang kuat. Kontruksi sosial yang telah berdiri kokoh, tidak bisa lalu didikte oleh kehadiran hukum modern. Jika boleh mengibaratkan, hukum bisa dianalogikan sebagai mesin. Mesin hanya bisa menciptakan bentuk-bentuk yang standar tanpa kemudian ada gebrakan variasi untuk membuat sesuatu diluar standar yang telah ditetapkan. Seperti telah dikatakan diatas, pada akhirnya hukum akan menjadi produk yang kaku dan tidak variatif.
Pola kerja hukum yang semacam itu, menurut Elickson, membuat hukum bukan menjadi penentu ketentuan-ketentuan peraturan hukum itu sendiri, melainkan rakyat sebagai adresat hukum. Hukum hanya sebagai titik tolak, dan rakyatlah yang akan menentukan harga peraturan tersebut sesuai keuntungan mereka. Cerita dari Stewart Macaulay ini mungkin bisa menjadi gambaran, betapa hukum menjadi tak berdaya eksistensinya ketika berhadapan dengan komunitas pebisnis. Kontrak bagi kalangan pebisnis ialah alat pertukaran, sedangkan bagi hukum, kontrak selalu harus saklek pada undang-undang sebagai pedomannya dan itu berlaku mutlak. Sedangkan bagi kalangan pebisnis kontrak tidak berlaku mutlak, tetapi tergantung apakah kontrak itu bermanfaat bagi komunitas itu atau tidak, jika tidak maka tidak akan dijalankan.
Dari cerita itu lagi-lagi hukum menjadi tidak kehilangan power-nya jika berhadapan dengan suatu hukum asli yang telah menjadi kebiasaan selama bertahun-tahun. Hukum hanya permainan kata-kata yang dituangkan kedalam bentuk undang-undang, kemudian harus dipatuhi. Hukum juga tidak mencari keadilan sejati, tetapi keadilan prosedural karena berpihak pada aturan tertulis. Bisa kita saksikan dalam suatu persidangan, dimana persidangan hanya menjadi arena pertarungan para gladiator hukum. Pengacara melawan penunutut umum, kemudian hakim sebagai penentu, yang terjadi kemudian bukan pertarungan keadilan tapi pertarungan undang-undang. Mengkuti apa yang dikatakan oleh Hans Kelsen, tokoh mazhab positivis, hukum itu tidak lain adalah bangunan perundang-undangan logis-rasional. Jika itu yang terjadi, berarti selama ini yang dicari bukan keadilan tapi kemenangan, karena patokannya terpaku pada aturan perundang-undangan. Ini menunjukan cara berhukum yang terjebak ke dalam kotak legalisme-formal, yaitu memberikan pembacaan dari apa yang tertulis. Terjebak disini adalah, dengan membiarkan diri kita secara total diikat oleh undang-undang dan prosedur.
Hukum hadir bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk masyarakat. Maka dari itu dalam menjalankan hukum tidak bisa secara matematis atau hanya menerapkan undang-undangnya saja. Tapi perlu adanya gebrakan untuk keluar dari aturan baku, yang ternyata menyuguhkan berbagai penolakan. Hukum adalah bagian dari usaha untuk menata ketertiban dalam masyarakat, tetapi ia tidak sama persis dengan ketertiban. Ketertiban mencakup hukum, tetapi hukum bukan satu-satunya cara untuk menciptakan ketertiban.
Kita tidak bisa menjamin hukum dengan ratusan bahkan ribuan redaksional kalimatnya akan mampu menciptakan ketertiban. Contoh mengenai pebisnis yang punya caranya sendiri dalam melakukan pekerjaannya, bisa menjadi bukti jika hukum menjadi mati ketika berhadapan dengan kaidah sosial yang telah ada terlebih dulu. Hukum adat di Bali, dengan insititusi pecalang-nya mampu mengisi kekurangan yang tidak dimiliki oleh hukum modern.
Menjawab pertanyaan diawal tulisan ini, kehidupan tanpa hukum sangat dimungkinkan. Mengingat jauh sebelum hukum modern itu hadir kehidupan tetap berjalan baik, malah cenderung dinamis tidak statis. Kehadiran hukum modern mempunyai ekspektasi mampu menata ketertiban dalam masyarakat, tapi tidak bisa serta merta merubah hirarki ketertiban yang telah hadir terlebih dahulu dalam suatu komunitas tertentu. Kehidupan bisa tetap berjalan dengan ketertiban karena ketertiban bisa melihat realitas dalam masyarakat dan tidak perlu pembuktian yuridis untuk itu. Kenyataan dan proses nyata, diterima dan dijalankan masyarakat sudah cukup menjadi bukti betapa ketertiban bisa lebih dekat dengan lingkungan sosialnya. Sedangkan hukum merupakan produk negara, terpusat dan jauh dari kehidupan masyarakat. Dan hukum tidak mengenal kondisi sekeliling masyrakatnya.
Langganan:
Postingan (Atom)