Pages

Jumat, 30 Juli 2010

Kesalahan Besar

Seiring waktu yang membawa diriku. Menjalani kisah ini dengannya. Dalam benakku selalu memikirkanmu. Meski diri ini masih bersamanya. Andai kau tahu aku tak pernah mengerti. Begitu mudah untuk menyentuh hatimu. Bodohnya aku berpaling pada dirinya. Maafkanlah aku, melukai dirimu. Dan aku telah membuat, satu kesalahan yang besar. Dimana saat itu aku meninggalkan dirimu. Sungguh aku sangat menyesal, telah memiliki dirinya. Saat aku sadar dia hanya luka bagi diriku. Berakhir sudah anganku bersamamu. Telah kau temukan penerang jalan hidupmu. Lelah hatiku untuk tetap bertahan. Aku kehilanganmu, juga kehilangannya.

*Lagu ini saya buat untuk Second Symphony. Saya lupa pastinya kapan tembang ini jadi. Kalau tidak salah ingat sekitar 2-3 tahun lalu, antara 2007-2008. Ini salah satu ciptaan favorit dari sedikit karya saya. Meski lirik sederhana dengan tema lagu yang klise, tapi ada filosofi dalam dibalik pembuataannya. Dua orang perempuan menginspirasi jalan cerita. Tak perlu saya sebut siapa mereka. Sayang, lagu ini tidak sempat direkam, hanya saya dan mungkin teman-teman di Second Symphony masih mengingat atau menyimpannya di kotak impresi.

Kamis, 29 Juli 2010

Avontur Badui: Penggalan Pertama Laporan Perjalanan

Butuh sekitar 20 menit dari Terminal Ciboleger, Serang, Banten untuk naik wilayah Badui luar menuju desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar kampung pertama yang mesti dilalui. Selain juga ada 3 desa tempat suku Badui luar bermukim. Kampung Balingbing, Babakan Marengo dan Kampung Gajeboh. Harus berjalan kaki untuk menuju kesana. Jalan setapak berbatu, menanjak, sisi kanan dan kiri masih hutan, sungai kecil pun mesti diseberangi. Sehabis hujan, tanah akan basah, licin. Harus berhati-hati dengan kondisi itu, bila tak ingin terpeleset.

18.15 ditemani Udil dan Kang Saldi yang sudah menunggu kedatangan kami di terminal Ciboleger, saya beserta 5 teman, Tommy Apriando, Adnan Fauzi Siregar, Fauzi Nasrul Maulana, M. Andi Anwar dan Martin Yudha Sanjaya alias Pongge, rombongan tamu dari LPM Keadilan mendatangi Kampung Kanekes. Medan sangat gelap, cuma bercahayakan lampu senter. Memang tak ada listrik, listrik menjadi salah satu pantangan di Badui. Rencana akan menginap di saung Udil selama berada di pedalaman. Udil, lelaki kurus asli Badui. Wajahnya oval, rambut pendek. Hidung pipih, mukanya bersih, nyaris tak ada noda. Hanya ditumbuhi jenggot cukup lebat. Usianya baru 20, tapi anaknya sudah dua, masih kecil-kecil, perempuan semua. Namanya Marsya, dan Cesie adik tirinya.

Perjalanan cukup menguras tenaga. Udil mempersilakan tamunya masuk, untuk melepas lelah di rumah panggung miliknya. Rumah panggung menjadi rumah adat Suku Badui. Akan selalu ada bunyi berdecit tiap kali kita melangkah dilantai bambu rumah itu. Dindingnya terbuat dari kulit bambu yang dianyam. Genteng berasal dari alang-alang kering, lima tahun sekali diganti. Beberapa batang kayu berfungsi menyangga rumah, diganjal dengan batu besar. Ada dua pintu masuk, terasnya membentuk persegi panjang. Tiap akan membangun rumah, tanah selalu diratakan dulu.

Sejenak ditinggalnya kami di ruang gelap, minim cahaya. Penerangan hanya menggunakan satu buah lampu tempel (teplok). Beberapa menit Udil kembali, bersama Kang Saldi, kakak kandung Udil membawa ceret berisi air putih serta gelas dan sepiring kecil aren. “Ini bentuknya seperti gula jawa ya?” tanya saya. Warna coklat, rasa manis. Di Jawa, aren lebih dikenal dengan nama gula Jawa. Segelas air putih, melepas dahaga yang sudah begitu meradang. “Itu air gunung, bagaimana rasanya?” Kang Saldi coba memancing kepekaan rasa kami. “Segar sekali,” gumamku.

Istri Udil menyusul dibelakang. Sayang, saya tidak sempat menanyakan namanya. Wajahnya samar tertutup siluet dari pancaran cahaya lampu teplok. Sepintas dia cantik. Baru esok harinya saya ketahui dia memang cantik. Satu persatu disalaminya pendatang dari Yogya ini, tampak rikuh. Rambutnya panjang, mata sedikit sipit, kulit putih. Umurnya kalau tidak salah tafsir sekitar 18. Ia tidak ikut bergabung dengan kami, “malu istri saya,” kata Udil. Karakter gadis Badui walau terlihat rupawan, ia minder kalau ketemu orang kota.

Percakapan malam itu berlangsung lama. Beberapa hal jadi topik pembahasan. Khususnya kami, orang asing baru datang di kampung orang. Tentu banyak hal tidak diketahui. Udil dan Kang Saldi telaten menjawab beragam pertanyaan dari kami. Beruntung, mereka orangnya ramah. Meski diawal masih canggung, lama-lama cair juga. Dikenalkan pula kami pada ayah dan ibu Udil. Ayahnya terlihat renta, mimik wajahnya menunjukan ia sudah letih. Usia mungkin sekitar 60. Hanya wajah ibu kelihatan lebih segar, meski rambut panjangnya sudah beruban. Suami istri ini tak bisa bahasa Indonesia, bahasa Sunda saja mereka kuasai. Sang ayah jadi salah satu sesepuh yang disegani di kampungnya.

Ayah Udil membuka bungkusan berisi tembakau dan lembaran kertas minyak. Tembakau dibungkus dengan kertas, dilinting, disulut api, lalu dihisap. Asap rokok mulai tercecer dalam ruangan. Empat orang merokok, Andi, Yudha, Adnan, dan Kang Saldi. Ibu Udil menyempatkan diri menawarkan barang dagangannya. Kain Lomar, warnanya cukup mencolok dikeremangan malam, perpaduan biru tua dan muda, bermotif batik. bersambung..
*2 Juli 2010

Sabtu, 24 Juli 2010

Dimas, Esa dan Kuda Debog

Dimas anak kelas satu SD Negeri Keji, memakai baju warna merah ketika saya temui, badannya lebih besar ketimbang Esa yang memakai baju warna orange. Esa sudah kelas tiga, sekolah di tempat yang sama. SD mereka pernah hampir ditutup pemerintah, karena kekurangan murid. Berdua sedang sibuk membuat Kuda debog untuk pagelaran esok Minggu pagi. Akan ada sepuluh tamu dari Belanda datang ke desa mereka.

Dimas dengan jari-jari kecilnya tampak lebih lincah menganyam pelepah pisang menjadi kuda mainan dari pada Esa. Butuh dua pelepah untuk menghasilkan Kuda Debog. Pertama, ia mengelupas daunnya hingga habis, seperempatnya dibengkokkan, bagian atas dicacah menjadi dua, kemudian melubanginya sebagai tempat untuk memasukkan kepalanya. Pelepah pisang kedua dijadikan sebagai kepala dan badan kuda. Daunnya tidak dibabat habis, tapi dibentuk bunjai, semacam bulunya. Pelepah pertama dan kedua disatukan dengan tali rafia.

Dua hari berkenalan dan bergaul dengan Dimas dan Esa, juga Anggun, David, Udin, Sabar, Purwanto dan Rudi. Delapan bocah asli kaki Gunung Ungaran, Desa Keji, Dusun Suruhan, Jawa Tengah. Nuansa alam dan seni budaya masih kental di sana. Mainan tradisional egrang, dakon, teklek, lompat tali, gasing, lesung, kuda debog (kuda lumping) peninggalan nenek moyang masih bisa dinikmati. Beruntungnya mereka tidak tergerus arus modernisasi.
*5 Juni 2010

Jumat, 16 Juli 2010

Kamis Minggu Ini

24 jam ini waktu sangat meletihkan. Awal, terjaga kesiangan. Maksud bangun lebih pagi, tapi tak juga bisa. Tiap menyibak mata, jam dinding selalu diangka 9. Sejenak mengembalikan kesadaran bersandar di atas dipan, setelah 7 jam tidur. Baru jam 2 pagi saya terpejam.

Sesudah itu, melangkah menuju kamar mandi. Membasahi tubuh. Air kran menyala mengisi bak, suaranya terdengar deras. Sabun dibasuhkan, hilang bau kecut di badan. Odol dan sikat membantu memutihkan gigi, nafas juga wangi. Selesai, dan berdandan. Solat subuh, walau sudah siang tetap dijalani, daripada tidak. Bunyi kres..kres, sumber ada di dapur. Sebungkus Indomie diremuk. Ibu sedang menyiapkan sarapan. Mie rebus menu pagi ini.

Bersiap. dan tepat pukul 10, saya berangkat ke Kantor. LBH Yogyakarta. jam 11 ada janji dengan beberapa siswa SMAN 1 Gamping, Sleman untuk menyerahkan kartu pelajar dan foto copy raport serta tanda tangan surat kuasa. Sehari sebelumnya 14 Juli sudah datang ke kantor, mengadukan kasus yang menimpa mereka. Wartawan penuh sesak kala itu. Berburu berita. Terdapat 5 remaja SMA dan beberapa perwakilan orang tua murid serta komunitas peduli pendidikan. Ada dua kasus, pertama, masalah tidak dinaikkannya siswa-siswa tersebut ke kelas 3. Alasan tidak naik karena kelimanya mengadakan demonstrasi, menuntut transparansi sekolah. Sesungguhnya ada 13 anak yang tinggal kelas, tapi hanya 5 orang yang bisa hadir. Kedua, kasus dugaan adanya pungutan liar uang seragam penerimaan murid baru di sekolah-sekolah negeri.

10.20 Saya tiba di kantor. Halaman sudah penuh kendaraan. Ternyata hari ini ada pers confrence lagi. Kali ini terkait kasus pemukulan oknum polisi terhadap tersangka. Kantor kebanjiran juru warta lagi. Saya terlambat, pertemuan sudah berlangsung. Sebentar saya mengikuti, menyaksikan sang ibu tersangka menangis. Disamping duduk kerabat anaknya. Sang anak jadi korban. Ia ditahan atas kesalahan yang tidak dilakukannya. Mukanya harus lebam pula, dipukul si bapak berseragam coklat. Sekitar 15 menit berlalu, persuaan dengan juru warta usai. Saya kembali ke aktifitas semula yang sempat tertunda. Mengerjakan desain banner untuk stand LPM Keadilan. Hari sabtu akan ada festival pers mahasiswa di Beteng Vredeburg. Diselenggarakan oleh LPM Himmah, dalam rangka Milad. Hanya pekerjaan ini urung saya lakukan. Corel di laptop tak bisa dibuka.

Tak lama, lalu seluruh staf diminta kumpul pimpinan. Briefing kasus yang masuk. Koordinator dan kerja dibagi. Saya dapat tugas, mengampu kasus murid tidak lulus. Tapi bukan sebagai penanggungjawab. Sedangkan yang lain, menyelesaikan kasus kekerasan polisi dan pungutan liar.
Sudah pukul 11, mereka tak juga tampak. Rapat masih berlanjut, namun hanya divisi ekosob. Pungutan liar dan perkara murid SMA jadi topik bahasan.

kisah satu hari ini masih panjang, tapi jam dinding sudah berdentang. Jarum pendek menunjuk angka 3 dan jarum panjang di angka 9. 14.45. Mata semakin berat saja. Saya berhenti sejenak bercerita, menulis hal tak penting ini. Sambung esok lagi.
*15 Juli 2010

Rabu, 07 Juli 2010

35 Menit

Separuh intensi saya mulai membuahkan hasil. Melewatkan Sabtu malam di warung mie Jawa, sebelah kampus tua, di kota yang hampir mati karena manusia mulai terlelap. Ada dua meja panjang, warna taplak putih dilapisi plastik, terlihat lusuh tapi bersih. Sementara si penjual, seorang bapak setengah baya sibuk memasak pesanan digerobaknya yang penuh cantelan daging ayam dan beberapa sayuran. Dengan tungku, dan arang sebagai bahan bakar, kipas angin dibiarkan berputar agar api tetap merah. Kalau tidak salah ingat, saat itu tak ada pembeli selain saya dan sang perempuan. Duduk berdua berhadapan, masih kaku. Sebelumnya memang jarang berpautan sedekat itu.

Dua piring nasi goreng, satu gelas es teh dan segelas teh hangat, serta sebungkus kerupuk, melanjutkan pembicaraan yang sudah dimulai. Diiringi alunan cerita kehidupan masa lalu, sekarang dan depan. Berlayar menaiki perahu kertas, menguntit radar Neptunus. Buaian prosa Filosofi Kopi hingga tawaran bibliografi novel homo. Dari perspektif saya, waktu berlalu begitu utuh, menyisihkan bosan, menyenangkan, kerasan, berkesan, tak berharap ada ujung.

35 menit berselang. Persuaan usai. Perempuan harus kembali ke sangkar. Sekitar 35 menit saja. Sesudah itu, tiada yang tahu jawabannya, akan mengorbit kemana. 35 menit menyisakan tanda tanya dan utopia. Namun 35 menit, tetap meninggalkan makna. Saya lebih peduli pada wacana. Meski saya dianggap seorang utopis, tapi setidaknya saya punya mimpi. Tugas selanjutnya adalah mengejawantahkan mimpi itu.
*27 Februari 2010

Kamis, 01 Juli 2010

Obituari Untuk Artha

Mendadak terhenyak, mendengar kabar kecelakaan tentang dirimu. Mencari tahu, semoga tetap dalam kondisi baik. Namun tak kunjung saya dapat kabar itu. Selang 60 menit, satu pesan singkat tanpa nama masuk ke ponsel saya. "Artha meninggal ya Yog," tertulis pendek.

Dia, Artha Kurnianto, 22 tahun, Orang Klaten. Wajahnnya kotak, rambut cepak, meski dulu sempat direbonding. Rahang kukuh, tubuh gemuk, dada tegap, membusung. Logat medok kentara ditiap tutur katanya. Pertama mengenal, ketika kami satu kelas, disemester pertama kuliah. Awalnya tak begitu dekat, tapi masa menyuruh untuk berteman karib. Bukan keterpaksaan.

Polah, celetuk dan ejekanmu urung dilupakan. Saya sempat jadi mangsa. "Kowe ra jipok skripsi semester wingi jare meh magang. Weelaa, jebul kowe rasido magang tho. Lha ngopo ra jipok wingi wae nek ngono," candanya ketus, sambil tertawa tanpa maksud menghina. Segelintir, ya itu hanya segilintir saja impresi tentang kamu. Ada banyak dan biarlah terekam di memori saya.

Setelah itu, cukup lama kita tak berjumpa. Terakhir bersua, kamu sudah sarjana. Mengeluh, melamar kemana-mana tak jua dapat kerja. Hingga saya dapat berita, kamu telah tiada. Kecelakaan meregang nyawa. Kamu mati muda, usiamu pendek. Sependek pesan singkat yang mengabarkan kematianmu.

Sekarang, sudah kamu dapatkan pencaharianmu, kekal, bekerja untuk dan di surga. Hampir 4.5 tahun mengenalmu, sosok yang menyenangkan. Selamat tinggal kawan, doa saya, dan kami semua menyertai. Semoga lapang jalanmu ke alam baka.