Pages

Kamis, 29 Juli 2010

Avontur Badui: Penggalan Pertama Laporan Perjalanan

Butuh sekitar 20 menit dari Terminal Ciboleger, Serang, Banten untuk naik wilayah Badui luar menuju desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar kampung pertama yang mesti dilalui. Selain juga ada 3 desa tempat suku Badui luar bermukim. Kampung Balingbing, Babakan Marengo dan Kampung Gajeboh. Harus berjalan kaki untuk menuju kesana. Jalan setapak berbatu, menanjak, sisi kanan dan kiri masih hutan, sungai kecil pun mesti diseberangi. Sehabis hujan, tanah akan basah, licin. Harus berhati-hati dengan kondisi itu, bila tak ingin terpeleset.

18.15 ditemani Udil dan Kang Saldi yang sudah menunggu kedatangan kami di terminal Ciboleger, saya beserta 5 teman, Tommy Apriando, Adnan Fauzi Siregar, Fauzi Nasrul Maulana, M. Andi Anwar dan Martin Yudha Sanjaya alias Pongge, rombongan tamu dari LPM Keadilan mendatangi Kampung Kanekes. Medan sangat gelap, cuma bercahayakan lampu senter. Memang tak ada listrik, listrik menjadi salah satu pantangan di Badui. Rencana akan menginap di saung Udil selama berada di pedalaman. Udil, lelaki kurus asli Badui. Wajahnya oval, rambut pendek. Hidung pipih, mukanya bersih, nyaris tak ada noda. Hanya ditumbuhi jenggot cukup lebat. Usianya baru 20, tapi anaknya sudah dua, masih kecil-kecil, perempuan semua. Namanya Marsya, dan Cesie adik tirinya.

Perjalanan cukup menguras tenaga. Udil mempersilakan tamunya masuk, untuk melepas lelah di rumah panggung miliknya. Rumah panggung menjadi rumah adat Suku Badui. Akan selalu ada bunyi berdecit tiap kali kita melangkah dilantai bambu rumah itu. Dindingnya terbuat dari kulit bambu yang dianyam. Genteng berasal dari alang-alang kering, lima tahun sekali diganti. Beberapa batang kayu berfungsi menyangga rumah, diganjal dengan batu besar. Ada dua pintu masuk, terasnya membentuk persegi panjang. Tiap akan membangun rumah, tanah selalu diratakan dulu.

Sejenak ditinggalnya kami di ruang gelap, minim cahaya. Penerangan hanya menggunakan satu buah lampu tempel (teplok). Beberapa menit Udil kembali, bersama Kang Saldi, kakak kandung Udil membawa ceret berisi air putih serta gelas dan sepiring kecil aren. “Ini bentuknya seperti gula jawa ya?” tanya saya. Warna coklat, rasa manis. Di Jawa, aren lebih dikenal dengan nama gula Jawa. Segelas air putih, melepas dahaga yang sudah begitu meradang. “Itu air gunung, bagaimana rasanya?” Kang Saldi coba memancing kepekaan rasa kami. “Segar sekali,” gumamku.

Istri Udil menyusul dibelakang. Sayang, saya tidak sempat menanyakan namanya. Wajahnya samar tertutup siluet dari pancaran cahaya lampu teplok. Sepintas dia cantik. Baru esok harinya saya ketahui dia memang cantik. Satu persatu disalaminya pendatang dari Yogya ini, tampak rikuh. Rambutnya panjang, mata sedikit sipit, kulit putih. Umurnya kalau tidak salah tafsir sekitar 18. Ia tidak ikut bergabung dengan kami, “malu istri saya,” kata Udil. Karakter gadis Badui walau terlihat rupawan, ia minder kalau ketemu orang kota.

Percakapan malam itu berlangsung lama. Beberapa hal jadi topik pembahasan. Khususnya kami, orang asing baru datang di kampung orang. Tentu banyak hal tidak diketahui. Udil dan Kang Saldi telaten menjawab beragam pertanyaan dari kami. Beruntung, mereka orangnya ramah. Meski diawal masih canggung, lama-lama cair juga. Dikenalkan pula kami pada ayah dan ibu Udil. Ayahnya terlihat renta, mimik wajahnya menunjukan ia sudah letih. Usia mungkin sekitar 60. Hanya wajah ibu kelihatan lebih segar, meski rambut panjangnya sudah beruban. Suami istri ini tak bisa bahasa Indonesia, bahasa Sunda saja mereka kuasai. Sang ayah jadi salah satu sesepuh yang disegani di kampungnya.

Ayah Udil membuka bungkusan berisi tembakau dan lembaran kertas minyak. Tembakau dibungkus dengan kertas, dilinting, disulut api, lalu dihisap. Asap rokok mulai tercecer dalam ruangan. Empat orang merokok, Andi, Yudha, Adnan, dan Kang Saldi. Ibu Udil menyempatkan diri menawarkan barang dagangannya. Kain Lomar, warnanya cukup mencolok dikeremangan malam, perpaduan biru tua dan muda, bermotif batik. bersambung..
*2 Juli 2010

1 komentar:

  1. Experience-nya luar biasa Gie, kapan bisa traveling lagi seperti ini :)

    BalasHapus