Pages

Sabtu, 25 Desember 2010

Kritikus


Hei Kata!! Sudah dua minggu ini aku tinggalkan pergulatan denganmu. Sedih rasanya kehilangan sosok inventif dalam diri. Bertarung akal saja aku mati, apalagi menyajikanmu ke dalam bahasa. Ya, aku seolah tak punya kekuatan melawan kelumpuhan ini, menentang kemandulan untuk menulis.

Sekarang aku akan coba memulai. Wujud antagonisme pada kemandulan. Permulaan tanpa kerangka, pendahuluan tanpa tujuan. Aku bikin bebas, leluasa tiada ikatan. Biarlah dinilai berantakan oleh siapa saja. Kritikus punya hak buat berkomentar, toh itu memang kerjanya.

Minggu, 05 Desember 2010

Si Kecil dan Serdadu Kebasahan


Di kelebatan hujan, dari arah utara Jalan Mataram muncul sebuah truk tertuliskan Yonif 407/PK. Segerombolan serdadu berseragam hijau lumut terlihat kebasahan di atas bak truk tanpa terpal itu. Lampu lalu lintas di perempatan Hotel Melia Purosani menyala merah, saat mereka saling berdempetan satu sama lain dan tertawa terbahak-bahak. Suaranya teramat kencang sampai menarik perhatian orang yang melintas maupun sedang berteduh di pinggir jalan. Tapi hanya satu orang saja yang tidak menoleh.

Si kecil bertelanjang dada dengan riangnya bermain air di ujung gang sempit tepi jalan besar. Hujan masih sangat deras, rambut cepak anak itu berair, bagian depannya menempel dikening, mengalir membasahi muka, sampai bersimbah di badannya. Cukup mengenakan celana pendek berwarna biru tanpa busana untuk tetap membuatnya terus larut dalam becek. Seakan tak bergeming dengan suasana sekitar, yang mungkin saja terus memperhatikan polahnya.

Rabu, 01 Desember 2010

Tangisan Binto


Syahdan, pada siang cerah setelah solat jumat. Anak kecil itu mengenakan kaos garis-garis hitam putih, bercelana kolor merah jingga. Binto, begitu dia biasa disapa, umurnya sekitar lima tahun. Wajahnya bulat, rambutnya tipis dan berkulit hitam. Sambil jongkok menyandar tembok sisi samping rolling dor, membelakangi sebuah pot ditanami kaktus milik Pak Haji, Binto menangis sejadinya.

Terisak-isak Binto bercerita, kalau baru saja ia tersinggung dengan ucapan salah seorang teman, yang jua merupakan buliknya. Si Bulik berkata tidak mau bercengkerama dengan Binto. "Bulik Asih nakal, Bulik tidak mau main lagi sama aku," ucap Binto polos, suaranya putus-putus, derai air mata bercucuran.