Pages

Rabu, 01 Desember 2010

Tangisan Binto


Syahdan, pada siang cerah setelah solat jumat. Anak kecil itu mengenakan kaos garis-garis hitam putih, bercelana kolor merah jingga. Binto, begitu dia biasa disapa, umurnya sekitar lima tahun. Wajahnya bulat, rambutnya tipis dan berkulit hitam. Sambil jongkok menyandar tembok sisi samping rolling dor, membelakangi sebuah pot ditanami kaktus milik Pak Haji, Binto menangis sejadinya.

Terisak-isak Binto bercerita, kalau baru saja ia tersinggung dengan ucapan salah seorang teman, yang jua merupakan buliknya. Si Bulik berkata tidak mau bercengkerama dengan Binto. "Bulik Asih nakal, Bulik tidak mau main lagi sama aku," ucap Binto polos, suaranya putus-putus, derai air mata bercucuran.

Empat teman mendekati Binto. Dua orang kawan laki-laki, Dalmin dan Tomo serta dua perempuan, Tia dan Mela. Dalmin anak paling tua diantara teman-temannya. Kepalanya lonjong, matanya sedikit sipit tapi ia tidak punya keturunan Cina. Dalmin sudah kelas lima SD, ia memiliki wibawa sendiri untuk menenangkan tangis Tomo, "Sudah stop, masa cowok nangis!" Tegas. Dan bujukan Dalmin gagal.

Saat bersamaan Tomo datang. Kalau tidak salah ia baru duduk di bangku kelas satu SD. Tomo bukan tipe anak yang banyak bicara, meski ia juga masih saudara dekat dengan Binto, tepatnya adik dari Asih, namun Tomo tetap diam tak bergeming, tatapannya kosong menyaksikan kerabatnya meraung-raung.

Binto mulai berdiri, perlahan ia berjalan menuju pagar besi bercat hijau. Masih tersipu ia mau menyatu lagi dengan temannya. Selagi mengusap-usap matanya, dan ingus yang mengalir dari hidungnya, tiba-tiba dua anak perempuan hadir merapati Binto, mereka Tia dan Mela. Tia bermuka bulat, rambutnya lurus, pipinya tembem, matanya sipit, sama seperti Dalmin ia tidak mempunyai darah Cina, lantaran Tia berjangat hitam.

Dirangkul Binto oleh Tia seraya menenteramkan, mengambil hati Binto agar berkenan bergabung ke permainan bersama rekan-rekannya, "Ayo Binto ikut lagi kesana," pinta Tia dengan suara lembut. Tak seperti adat, keseharian Tia dinilai sebagai anak perempuan bandel. Hanya kali ini ia berhasil menunjukan sikap berbeda. Berlainan dengan Tia, Mela bersikukuh untuk membiarkan Binto terus tersengut-sengut.

Demikian, sampai Binto mendapat keceriaannya lagi. Sekarang Binto sudah ikut berlari-lari. Tawa riangnya telah kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar