Pages

Sabtu, 25 Desember 2010

Kritikus


Hei Kata!! Sudah dua minggu ini aku tinggalkan pergulatan denganmu. Sedih rasanya kehilangan sosok inventif dalam diri. Bertarung akal saja aku mati, apalagi menyajikanmu ke dalam bahasa. Ya, aku seolah tak punya kekuatan melawan kelumpuhan ini, menentang kemandulan untuk menulis.

Sekarang aku akan coba memulai. Wujud antagonisme pada kemandulan. Permulaan tanpa kerangka, pendahuluan tanpa tujuan. Aku bikin bebas, leluasa tiada ikatan. Biarlah dinilai berantakan oleh siapa saja. Kritikus punya hak buat berkomentar, toh itu memang kerjanya.

Mengibakan juga si kritikus kalau setiap hari gawainya cuma bicara pedas. Sudah barang tentu dia mesti mengamati suatu perihal serinci mungkin, kemudian menyampaikan penilaian. Kadang maksud baiknya dikesankan menghakimi, bertaruh dengan perpautan sesama relasi, sampai-sampai kenyang didendami. Bahkan orang lain tidak ada sangkut pautnya ikut nimbrung. Sialnya, masih pula dia ditanya konsistensi ucapan yang sempat disampaikan pada orang lain dengan diri kritikus. Nihilkah permisifitas untuk pengkritik?

Seorang Filsuf bisa kapan pun berkata bijak, tapi ia tidak definitif. Ucapan arifnya menenangkan pendengarnya. Hanya tak ada yang tahu bagaimana pedalaman Si Filsuf. Bisa jadi ia gelisah, meski ia telah berhasil menenteramkan jiwa orang. Sama halnya pengkritik, tidak adil meletakkan kritikus sebagai manusia utuh. Menjatuhkan opsi absolut, konsistensi dalam dirinya sebagai kritikus. Jika tak mampu lalu melabelinya hipokrit.

Kritikus tak berarti tanpa cela, faedah kebenaran pun tak melulu miliknya. Ia mampu merobohkan individu, belum tentu ia sendiri sanggup untuk berdiri bila dijatuhkan. Kritikus bisa menunjukkan, mengkontruksi nalar hingga dibuatnya payah. Lebih baik kritikus pembangun stimulus, dia lebih mulia tanpa tendensi meski semuanya tetap subyektif.

Apa pun macamnya, setidaknya lewat kritikus orang bisa jadi orang. Minus kritikus orang tak tahu letak kekurangannya. Lantaran buta posisi lemahnya, orang tak pernah bisa memperbaiki kesalahan. Mencoba ke arah integral dengan perkataan, itu bentuk harmonisasi Sang Kritikus. Egoistis bukan tanpa usaha. Bukan pembelaan diri tentunya, ini pembicaraan pada tataran kritik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar