Penulisan ini aku mulai, sebagai permulaan awal tahun. Sebenarnya aku gagap apa yang mesti dicatat. Sebagian kalimat aku salin di Kantor LPM Keadilan, dua hari silam 5 Januari 2011. Suasana sangat hening kala itu. Hanya ada bunyi desis CPU komputer dan suara televisi dari pos satpam depan. Aku sempatkan bikin catatan sambil menunggu seorang teman yang tak kunjung datang.
Sekarang sudah hari ke delapan di Januari. Masih ada 352 hari lagi untuk mengakhiri tahun ini.
Heraclitus pernah bilang, ”segala sesuatu dalam keadaan bergerak dan tidak ada sesuatu yang diam.”Termasuk waktu. Masa dinamis, sejarah belum merekam waktu mandeg. Masa tidak bisa dihentikan, terus berotasi kendati untuk diusaikan. Tak ada salahnya pula, lantaran waktu akan dimulaikan lagi. Masa lalu telah dikenang pada masa kini, dan masa sekarang akan jadi refleksi untuk masa depan. Masa kini pada akhirnya melebur pula ke masa lalu. Tiap selesai pusaran, seketika itu juga ia berputar kembali.
Aku buka dengan seorang lelaki renta yang tampak jalan tergopah-gopoh di malam 31 Desember 2010. Kakinya sudah tiga, sebatang tongkat menuntunnya melangkah. Kerincingan koin terdengar dari penopangnya. Kaca mata hitam kian menggelapkan tatapannya yang memang telah buta. Berpeci hitam kusam, pakaian batik coklat dan celana seperempat hitam compang-camping, katakan saja ia sedang linglung.
Sayang aku minus pengetahuan, ia orang berada atau melarat. Nilai saja sesukamu, tapi lebih pas kalau aku cap ia melarat. Sungguh mengibakan. Anak muda bersuka cita, riuh gemuruh meniupkan terompet, gegap gempita meledakkan petasan, menyulut kembang api. Megah berkelap-kelap di langit gelap.
Orang-orang bergandengan bahagia, berpapasan dengan sejawatnya yang penuh tawa, bersuaan, dan sahut-sahutan. Sepasang kekasih memadu asmara, berbarengan bersendau gurau, remaja ugal-ugalan mengendarai kendaraan dan segalanya meriah.
Sementara Pak Tua Melarat itu tetap saja dengan keadaannya. Buta sendiri, tenggelam dihingar bingar kelatahan. Melangkah tiada arah bahkan mungkin ia tak pernah membolak-balik kalendar sampai tidak sadar bila 12 bulan telah dilalui. Kemudian apa rencana Pak Tua 12 bulan ke depan?
Seorang kolega menuturkan, memaknai pergantian tahun sebagai resolusi. Bikin almanak resolusi jangka panjang dapat juga terbatas. Rencana tidak selalu tercapai, bisa jadi gagal. Tapi setidaknya dengan resolusi tujuan terbangun.
Mengenai Pak Tua, tak ada yang spesial baginya di tengah malam peralihan tahun. Dapat melihat barang sedetik sudah disyukuri. Apes, Tuhan belum menghendaki ia turut serta membebek kesibukan orang lain. Tetap jua ia jalan meraba-raba, dibimbing sebatang tongkat serta insting.
Berubahnya tahun tidak meregresi keprihatinan Pak Tua dan kaum melarat lain. ”Dapat dibuktikan dengan akal budi tidak ada hal-hal yang berubah. Perubahan hanya ilusi, karena apa pun keadaannya, demikianlah yang sesungguhnya, dan apa pun yang tidak demikian, sesungguhnya memang tidak demikian,” begitu Parmenides.Sulit untuk sepenuhnya mengerti kemauan Pak Tua. Apalagi memahami waktu serta perubahannya. Penanggalan resolusi Pak Tua Buta selain dapat melihat tentu perhatian. Tidak hanya senang-senang, kepedulian dan solidaritas pada orang sejenisnya amat didambakan.
Aku tidak kenal nama apalagi watak orang tua itu. Sungguhpun hanya asumsi, akan aku coba ejawantahkan mendekati otentik. Sekurang-kurangnya bisa membelalakan mata pada realita
Ya, aku karang sajalah. Bukankah dunia kata-kata mengijinkan kebebasan kreatifitas, walau aku percaya data bikin lebih akurat. Tidak ada kelirunya bukan jika aku anggap Si Tua punya resolusi sendiri, toh ini cuma cerita fiksi. Lagipula tiap orang berhak punya resolusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar