Pages

Sabtu, 29 Januari 2011

Pamitan


Pada mulanya aku punya gagasan akan bahas mengenai Nona S. yang tidak sengaja berjumpa di suatu tempat kemarin siang. Sementara ini pembahasan tersebut ditunda dulu, karena pada malam hari setelah bertemu Nona S. ada peristiwa penting dan sayang bila terlewatkan. Persuaan dengan Nona S. bakal aku ceritakan belakangan.

Jarum jam menunjukan pukul sebelas malam. Sepeda motor itu melaju kencang menembus jalanan dipayungi temaram lampu kota. Aku dan seorang sohib, Adhit Dhroe Dibyandaru, berboncengan menuju ajang pertemuan di rumah Anto Nurjananto. Band BOHE akan berkumpul, tukar pikiran sekaligus, nanti saja aku beri tahu di paragraf selanjutnya.

Kami biasa sebut pertemuan itu 'Forum'. Sekarang 'Forum' sedikit berlainan. Kalau seringnya bicara keluh kesah sampai bikin risalah, prinsipnya saling berbagi untuk kemajuan bareng-bareng, kali ini tidak melulu diisi demikian. Seperti aku bilang pada paragraf pertama tadi, terdapat satu bagian serius hendak diselipkan. Bagian itu berstempel pamitan!

Tukang pijat tuts piano BOHE, Asset Arthadik, mesti cabut. Ia dapat kerjaan di Jakarta. Jelas intensitas kegiatannya bakal banyak dihabiskan di ibu kota sebagai pegawai negeri. Tak pasti sampai kapan. Sebelum hengkang besok hari, Asset sempatkan diri pamitan malam itu.

”BOHE bukan cuma musik, tapi sudah seperti keluarga sendiri. Saya sekaligus mau pamitan.” Kurang lebih begitu, kalau aku tidak salah ingat penggalan kalimat yang dituturkannya. Panjang sesungguhnya. Sederhana saja, tapi krusial. Semoga bukan pertanda kemerosotan. Bukan dambaan, namun jangan halangi kesempatan. Semua sudah pegang komitmen toleransi.

Ah, benar-benar mengharukan! Satu per satu kolega menyisih dari Yogyakarta. Bulan ini saja sudah dua orang angkat kaki. Tahun lalu berapa sendiri, lupa dihitung.

Sejenak flash back. Mula-mula pada Agustus 2010. Aku mengiringi perempuan itu di bandara, kenalan karib semasa kuliah. Setelah sekitar empat tahun menuntut ilmu di perantauan, ia mudik ke tanah kelahiran, Kalimantan. Namanya Eka Mustika Sari Sudarto. Berpawakan kecil, disapa Upil. Dia panggil aku Jajul. ”Hah, itu nama bapakku Upil!”

Cara dandannya tomboy bagai laki-laki tulen, model rambutnya saja amat pendek. Semoga tidak kepikiran pelihara jambul. Kalau lagi nyebul gelembung permen karet disangka Lupus nanti kamu! Hehehe...

Belum lama, saban tengah malam kami kerap dengerin radio Swaragama, mengudara di gelombang 101.7 FM, acara Insomnia dan kirim-kiriman salam. Sampai dikira pacaran sama si penyiar. Tolol!

Eka Mustika berangkat ke Kalimantan naik pesawat. Ternyata banyak pengantarnya di bandara. Tangis menghujan saat dia mulai bergerak, mengitari, menjabat tangan rekan-rekannya. Pipi kanan dan kiri berantukan, bepelukan mengucap tabik perpisahan, untuk bertemu kembali kemudian. Take off. Lepas landas, bablas!

Lalu pada akhir Desember tahun yang sama, seorang kawan satu kantor namanya Anas Mahyudin, balik pula ke kampung halamannya di Serang, Banten. Konon ia diminta bantu-bantu kelola yayasan pendidikan milik keluarganya. Gaya bicara Mahyudin menekankan subtansi, begitu kata teman-teman. Mahyudin muslim taat, anti sama apapun berbau zionis. Ia kerap mengajak ibadah Luhur di Masjid tiap jam rehat kantor.

Mahyudin pergi tanpa sempat kami ikut mengantarnya ke stasiun. Tapi ia senggangkan waktu bertemu dengan kawan-kawannya. Lagi-lagi cara pamitannya sama, berjabatan tangan dan tabik perpisahan. Sudah adab kelaziman memang. Sekarang siapa akan menggantikan perannya?

Masuk 2011, Januari melanjutkan bulan-bulan perpisahan. Rosyihan Hendrawan, pria ini bertinggi sekitar 190 cm. Badannya kerempeng tapi sehat. Berkacamata, kalau tidak keliru gemar baca buku motivasi.

Hendrawan mohon diri pada sejumlah sejawatnya di daerah rantau akan pulang ke Lombok, sebelum meneruskan kursus Bahasa Inggris di Pare serta pasca sarjana ilmu perpustakaan di Jakarta. Sambil berpalun-palun air mata merinai, bertautan, dan yang terlibat semuanya sayu. Mengharu biru. Calon ilmuwan handal berjiwa sosial tebal telah bertolak. Dan selamat tinggal Yogyakarta, kota penuh kenangan.

Apapun dan bagaimana pun masing-masing orang punya rencana dan hak memutuskan pilihan, kemana kelak ia berpijak. Selama tidak bertentangan, tak bisa bila dihalangi apalagi dilarang. Akan lucu!

Bermacam-macam pula cara orang buat pamitan. Sederhana sampai mewah-mewahan sewa gedung megah, bahkan hengkang tanpa kabar. Dampaknya rata-rata sama, menyisakan kehilangan dan kesedihan. Yang membedakan cuma takarannya. Mendalam atau datar. Berlarut-larut atau cepat surut.

Toh, jangan umpamakan kepergian abadi. Orang bilang sementara, maka aku bilang cuma berpindah tempat dan waktu. Lantaran komunikasi bisa tetap terjalin biar tanpa tatap muka. Sesekali pun dapat juga bertemu.

Yang pasti manusia punya tujuan buat masa depan. Mengejar cita-cita, membahagiakan orang tua, berpenghasilan, cari pasangan hidup, berkeluarga, beranak cucu dan sampai seterusnya.

Uh, emosiku meluap-luap. Maaf, terkesan mendramatisir. Aku cuma ingin tumpahkan semua biar tidak mengendap dan membusuk. Hanya sulit untuk seluruhnya dijabarkan. Mendeskripsikan satu demi satu ihwal pamitan seseorang. Akan panjang, dan makan waktu. Butuh inspirasi segala. Ideku sedang buntu belakangan ini. Entah sebab apa. Ah, bikin geram! Mengeluh saja kerjaku!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar