Separuh intensi saya mulai membuahkan hasil. Melewatkan Sabtu malam di warung mie Jawa, sebelah kampus tua, di kota yang hampir mati karena manusia mulai terlelap. Ada dua meja panjang, warna taplak putih dilapisi plastik, terlihat lusuh tapi bersih. Sementara si penjual, seorang bapak setengah baya sibuk memasak pesanan digerobaknya yang penuh cantelan daging ayam dan beberapa sayuran. Dengan tungku, dan arang sebagai bahan bakar, kipas angin dibiarkan berputar agar api tetap merah. Kalau tidak salah ingat, saat itu tak ada pembeli selain saya dan sang perempuan. Duduk berdua berhadapan, masih kaku. Sebelumnya memang jarang berpautan sedekat itu.
Dua piring nasi goreng, satu gelas es teh dan segelas teh hangat, serta sebungkus kerupuk, melanjutkan pembicaraan yang sudah dimulai. Diiringi alunan cerita kehidupan masa lalu, sekarang dan depan. Berlayar menaiki perahu kertas, menguntit radar Neptunus. Buaian prosa Filosofi Kopi hingga tawaran bibliografi novel homo. Dari perspektif saya, waktu berlalu begitu utuh, menyisihkan bosan, menyenangkan, kerasan, berkesan, tak berharap ada ujung.
35 menit berselang. Persuaan usai. Perempuan harus kembali ke sangkar. Sekitar 35 menit saja. Sesudah itu, tiada yang tahu jawabannya, akan mengorbit kemana. 35 menit menyisakan tanda tanya dan utopia. Namun 35 menit, tetap meninggalkan makna. Saya lebih peduli pada wacana. Meski saya dianggap seorang utopis, tapi setidaknya saya punya mimpi. Tugas selanjutnya adalah mengejawantahkan mimpi itu.
*27 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar