“Sebenarnya kami
tidak butuh bantuan-bantuan semacam ini. Yang kami perlu, cukuplah kami bisa
kembali diterima oleh masyarakat.”
LEBIH KURANG BEGITU
reaksi seorang tua, 73 tahun, bernama Pak Rho, atas rencana bantuan pemeriksaan
kesehatan yang ditawarkan dua lembaga negara di republik ini. Untuk orang
seumurannya badan Pak Rho masih tampak tegap-segar meski rambutnya sudah
beruban, mukanya kisut dan bintil-bintil hitam tumbuh di separoh pipinya. Pak Rho
adalah salah satu dari lima orang bekas tahanan politik 1965 yang kemarin sore
saya jumpai di sebuah kantor hukum di Yogya.
Tampang Pak Rho
dingin dan serius tatkala mendengarkan uraian rencana bantuan kesehatan fisik/psikis
itu. Kendati terlihat kurang antusias, Pak Rho tetap menyimak penjelasan seorang
delegasi lembaga negara. Namun di balik wajah keriputnya, saya merasa semacam terdapat
sesuatu sedang ia sembunyikan. Sesuatu yang bikin hatinya gundah gulana
sehingga dia terlihat tegang.
Terlepas ada
kemungkinan ekspresi tegang itu memang sudah bawaan lahir, tapi saya menengarai
ketegangan yang muncul dari muka Pak Rho lantaran ketidaksetujuannya dengan
konsep bantuan pemeriksaan kesehatan ini. Bisa dinilai dari pendapat-pendapat
yang ia utarakan dan saya dapat memafhumi. Pasalnya, syarat-syarat yang musti
dipenuhi dalam program ini amat banyak dan terkesan rumit. Semisal diperlukan
Surat Pembebasan Dari Tahanan. Dokumen ini diterbitkan antara tahun 1970-1980-an.
Tidak semua eks tapol masih memiliki. Belum lagi dibutuhkan pula pernyataan
bermaterai dari dua orang saksi yang mengetahui bahwa Pak Rho beserta kolega
pernah ditahan. Mungkin dalam hati Pak Rho bergumam, ini syarat merepotkan betul! Kenapa malah korban yang diminta aktif
mengurus tetekbengek itu? Seharusnya negara yang giat memperbaiki namanya, juga
nama rekan-rekan sejawatnya sesama korban 65.
Untuk kali ini saya
sepakat dengan pemikiran Pak Rho. Kalau negara bertekad bulat dan serius untuk
memberi pertolongan maka korban tidak perlu dibuat kewalahan mengurus ini-itu.
Toh senyatanya bantuan-bantuan sejenis ini tidak terlalu diharapkan. Yang
sangat dinanti-nanti hingga kini ialah, negara mau akui kesalahan masa lalu, menyingkap
tabir kebenaran dan meminta maaf. Menukil Yap Thiam Hien, kasus Tapol
G-30-S adalah pelanggaran HAM yang paling keji yang pernah dilakukan Indonesia
terhadap bangsanya sendiri. Mungkin sepanjang sejarah Indonesia.