Tulisan ini berangkat dari keprihatinan penulis ketika mendapat tugas akademis untuk meliput jalannya sidang di PN Yogyakarta. Disitu ditampilkan, bagaimana seorang terdakwa yang tampak begitu lusuh penampilannya, tanpa didampingi penasehat hukum, dengan begitu pasrahnya dijatuhi vonis penjara tanpa ada perlawanan sedikit pun dari yang bersangkutan. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah mereka orang-orang kelas bawah yang awam terhadap hukum tidak berhak melakukan perlawanan? Begitu sempitkah akses keadilan bagi kaum marjinal? Sejauh mana peran negara melihat fenomena tersebut?
Sedikit menilisik jauh ke belakang, jika kita melihat sejarah lahirnya bantuan hukum, menurut Dr. Mauro Cappelletti, program bantuan hukum telah ada sejak jaman romawi dimana pada saat itu pemberian bantuan hukum didasarkan pada reward semata, yaitu untuk mendapat pengaruh atau penghargaan dari masyarakat. Memasuki abad pertengahan, muncul sense baru dalam mengimplementasikan bantuan hukum, yaitu lebih mengedepankan humanitarian approach. Dengan orang memberikan bantuan hukum kepada masyarakat miskin, maka akan tumbuh nilai-nilai kemuliaan (nobility) dan kesatriaan (chivalry). Pada perkembangannya mulai dari Revolusi Prancis dan Amerika hingga sekarang motivasi pemberian bantuan hukum tidak sekedar dilandasi rasa kemanusiaan saja, tapi sudah masuk ke ranah hak-hak politik atau hak-hak konstitusi warga negara.
Berbicara hak-hak politik warga negara, sebagai bagian dari konstitusi tentunya masyarakat marjinal juga memiliki hak yang sama dengan warga negara yang lain serta mempunyai kedudukan yang sama pula di hadapan hukum (equality before the law). Untuk itu, akses memperoleh keadilan pun juga harus diperhatikan sebaik mungkin agar hak konsititusional mereka tetap terjaga. Begitu banyak kasus di Indonesia yang melibatkan kaum miskin didalamnya, dan kebanyakan dari mereka berjuang sendirian dipengadilan, tidak didampingi seorang pengacara. Masih segar diingatan kita bagaimana seorang Mbah Minah, hanya karena dia mencuri 3 buah kakao harus berurusan dengan pengadilan. Ia berjuang seorang diri mencari keadilan tanpa didampingi pengacara. Tanpa dibekali pengetahuan hukum serta memandang kedudukan sosial dimasyarakat sebagai strata bawah, tidak jarang orang-orang seperti Mbah Minah atau yang lainnya mendapat perlakuan yang diskriminatif dan sering jadi bulan-bulanan para penegak hukum.
Pola kehidupan pasar dengan memperhitungkan laba atau rugi menjadikan acces to justice bagi kaum marjinal terasa begitu sempit. Berbagai bentuk komersialisasi seolah menjadi sangat absolut tanpa bisa ditawar, gejala tersebut juga merembet ke ranah hukum dan profesi hukum. Biaya perkara yang tinggi serta maraknya mafia peradilan diberbagai instansi membuat masyarakat berpikir apatis terlebih dahulu untuk mendapat pendampingan atau memperjuangkan keadilan.
Komersialisasi juga merambah pada profesi hukum. Tampilan eksklusif dengan setelan jas, jam tangan emas melingkar ditangan, mobil mewah, dan kantor-kantor megah seakan telah menjadi image yang melekat pada advokat. Dengan membangun citra secara lahiriah sesungguhnya merupakan bentuk kompetisi antar advokat yang berimplikasi pada kenaikan nilai ekonomis jasa pelayanan hukum. Dengan telah terkomersialisasikannya profesi ini, maka advokat hanya akan memilih kasus-kasus yang mempunyai prospek untuk menambah isi dompetnya yang kemudian mengabaikan kasus yang melibatkan orang miskin, yang sudah tentu tidak bisa membayar jasa advokat. Akibatnya masyarakat miskin semakin sulit mencari pendampingan hukum.
Hal ini sungguh ironis dengan sejarah lahirnya advokat. Perlu diketahui, secara historis penamaan profesi advokat bermakna sebagai profesi mulia (officium nobilium). Bermula dari preator, yaitu bangsawan pada zaman romawi kuno yang melakukan orasi untuk membela orang miskin dan awam hukum yang sedang tertimpa masalah hukum. Status sebagai seorang bangsawan tidak menyurutkan rasa kemanusiaannya. Berbekal panggilan nurani dan tanggungjawab sekaligus menjaga kemuliaan kebangsawanannya, preator kemudian membela masyarakat yang memiliki strata sosial jauh dibawahnya tanpa rasa canggung sedikit pun.
Dari catatan LBH Jakarta, tahun 2006 terdapat 1.123 kasus yang diterima dengan orang terbantu diperkirakan sebanyak 10.015 jiwa. Sedangkan menurut data dari LBH Banda Aceh pada tahun 2007 total terdapat 192 kasus dengan jumlah korban 3.727 orang dan tahun 2008 (periode Januari-Maret) terdapat 54 kasus dengan jumlah korban 480 KK dan 109 orang. Itu baru data dari dua tempat, belum tempat-tempat lain yang tentu mempunyai takaran kasus yang bisa menambah deretan jumlah korban. Dari data tersebut menunjukan begitu besarnya kebutuhan masyarakat miskin untuk memperoleh keadilan. Namun tidak dibarengi dengan instrumen hukum yang bisa memfasilitasinya secara penuh.
Bagaimana peran negara dalam memberikan bantuan hukum
Dalam konteks kenegaraan, negara wajib memberikan bantuan hukum bagi mereka yang berada di level bawah. Hak atas bantuan hukum dijamin dalam Konstitusi Indonesia melalui UUD 1945, yaitu: a. Pasal 27 Ayat (1) menjamin setiap warga negara adalah sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan; b. Pasal 28 D (1) menjamin bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; c. Pasal 28 I (1) menjamin hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Hak bantuan hukum diatur pelaksanaannya dalam pasal 37 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi, “Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperloleh bantuan hukum”. Kemudian UU. No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 56 (1), “Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka”. Serta pasal 56(2) “Setiap penasehat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-Cuma”. Tapi pertanyaannya kemudian adalah apakah berbagai macam peraturan tersebut telah berjalan secara efektif, jika dalam realitanya masih sering dijumpai dipersidangan terdakwa duduk sendiri didepan meja hijau.
Didalam UUD 1945 sesungguhnya permasalahan bantuan hukum tidak secara tegas dinyatakan sebagai tanggungjajawab negara. Namun, adanya asas equality berfore the law dan demi rasa keadilan bagi seluruh masyarakat, maka menjadi pijakan bagi negara agar negara memperhatikan masalah bantuan hukum bagi masyarakatnya. Peyelenggaraan bantuan hukum yang setengah hati dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang berarti bertentangan dengan hak konstitusional warga negaranya.
Mengutip pendapat Frans Hendra Winata, seorang advokat pernah menyelamatkan Saliddin bin Muhammad, TKI di Malaysia dari tiang gantungan, alasan mengapa masih dijumpai terdakwa yang tidak didampingi advokat padahal negara sudah menyediakan, pertama ialah kurangnya pengetahuan dari yang bersangkutan dan kedua mungkin hakimnya tidak menawarkan untuk dibantu seorang advokat. Apalagi kalau dia miskin, harusnya hakim punya pengetahuan tentang itu dan menawarkan bahwa ada budget untuk anda dibayar secara gratis dan disediakan oleh negara. Artinya disini bahwa negara melalui perantara lembaga peradilan haruslah bersikap aktif mensosialiasikan secara komprehensif kepada terdakwa bahwa ada fasilitas baginya untuk memperoleh keadilan.
Prosentase pemberian bantuan hukum di Indonesia masih amatlah kecil. Hakekatnya negara memang tidak mempunyai tanggungjawab yang mutlak. Menurut Abdul Rachman Saleh, teori yang relevan dikembangkan di Indonesia ialah dimana terdapat suatu kesadaran untuk pembenahan sistem peradilan dan pencaharian alternatif penyelesaian sengketa yang dirasakan lebih adil bagi masyarakat.
Ketika negara dirasa tidak dapat mewadahi kebutuhan masyarakat akan keadilan, maka diperlukan inovasi lain agar hasrat untuk memperoleh rasa adil dapat terakomodir secara menyeluruh. Ada empat point yang dipaparkan oleh Abdul Rachman Saleh, (1) pencegahan terjadinya sengketa hukum untuk mendorong social harmony. Artinya program acces to justice tidak harus dikaitkan dengan pengadilan, tapi dapat diselesaikan diluar pengadilan. Seperti melalui ombudsman, public complaint system; (2) pengembangan hak-hak prosedural masyarakat yang diperlukan dalam public interest litigation; (3) pembaruan sistem peradilan (pengadilan, kejakasaan dan kepolisian) untuk memastikan bahwa rasa keadilan benar-benar terpenuhi; (4) pendampingan hukum (beyond legal representation dimuka pengadilan) bagi kelompok masyarakat marjinal oleh pro bono lawyers, pekerja bantuan hukum dan paralegal.
Penyelesaian diluar pengadilan dapat menjadi alternatif bagi masyarakat ketika menghadapi permasalahan hukum, disaat semakin besarnya degradasi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. Reformasi sistem peradilan perlu dilakanakan secara berkesinambungan. Pembrantasan mafia peradilan juga menjadi agenda utama untuk menciptakan peradilan yang sehat serta memiliki integritas. Dengan begitu dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan setelah rasa keadilan benar-benar terpenuhi.
Sudah saatnya keadilan dapat diakses oleh siapa saja, termasuk mereka masyarakat yang termarjinalkan. Motivasi pemberian bantuan hukum pada abad pertengahan yaitu demi humanitarian approach perlu ditanamkan lagi dijiwa tiap penegak hukum khususnya profesi adovokat. Advokat yang dari sejarahnya saja merupakan sebuah profesi yang mulia harus menghilangkan trademark eksklusif dimata masyarakat sehingga masyarakat tidak merasa angker ketika butuh jasa mereka. Pendampingan hukum secara cuma-cuma yang diberikan oleh advokat, tentu akan membangun citranya sendiri sebagai seorang advokat yang mau berpihak pada orang kecil, dengan begitu masyarakat akan lebih apresiatif terhadapnya.
Negara bersama para penegak hukum harus benar-benar menjamin acces to justice bagi warganya tetap pada jalurnya. Memberikan pendampingan hukum tanpa memandang kedudukannya dimasyarakat merupakan bentuk penanaman rasa keadilan. Ketimpangan yang selama ini terjadi perlu dibuang jauh-jauh. Yang kaya tetap dapat mengakses keadilan, dan yang miskin pun juga teridak merasa tersingkirkan. Keadilan tidak hanya berpihak pada yang berduit, tapi keadilan juga harus berpihak pada mereka yang tidak mampu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar