Sebetulnya aku canggung, bisa juga efek sampingnya bikin bingung, ketika diminta membahas urusan cinta ––sangat ditekankan pada cinta sepasang kekasih. Bagaimana tidak, diantara kawan sekomplotan dalam Grup Menulis Kabita, tampaknya aku adalah jawara untuk predikat jomblo paling lama. Bayangkan saja hampir lima tahun sendiri. Apa enggak kebangetan! Syukur deh kalau ada yang mendekati rekor itu.
Namun karena pada forum tempo lalu aku tidak datang dan cinta menjadi kesepakatan tema untuk kompetisi menulis kali ini, toh aku tetap tak bisa mengelak, maka mau tidak mau mesti aku kerjakan. Ikhlas kok.
Sebelum masuk ke baris demi baris tulisan yang lebih panjang lagi, perlu aku beri eksplanasi bahwa naskah ini bukan semata-mata bentuk resensi. Tidak bakal ada ulasan amat detail mengenai film, kecuali sebatas pokok pikiran saja dan bagian-bagian yang kohesif. Termasuk fusi antara, film dengan realitas cinta penulis serta ide tentang cinta.
Baik, kita kembali ke film 500 Day Of Summer tadi. Summer Finn baru saja tiba dari Shinnecock, Michigan. Ia perempuan berambut hitam lurus, bermata lentik. Kalau tersenyum tampak gigi putihnya tersusun rapi. Ia memiliki tanda lahir berbentuk hati di lehernya. Barangkali itu menjadi isyarat baik bagi Tom Hansen, pemuda lulusan arsitektur asal Margate, New Jersey yang justru bekerja di New Hampshre Greetings, perusahaan pembuat kartu ucapan.
Tom tumbuh dengan keyakinan kalau dia tak pernah merasa bahagia sebelum ia menemukan orang yang tepat. Maka, ia begitu riang mengetahui Summer akan satu kantor dengannya. Bagi Tom, ia sangat percaya bahwa Summer adalah orang yang telah lama dicari-carinya.
Moment ini menjadi kesempatan Tom mengejar Summer. Tiap Summer lewat, diam-diam Tom suka cari perhatian dan tidak membiarkannya berlalu tanpa gelagat ketakjuban. Keadaan ini berlangsung selama beberapa waktu, hingga pada satu acara karokean yang diadakan kantornya, Tom berhasil mendekati Summer.
Yang bikin sumbang, hubungan mereka tidak dijalin atas dasar apapun, tidak pula dengan label status. Tom tidak pernah mengungkapkan insting kasmarannya. Toh, ia juga sudah tahu bahwa bagi Summer pacaran bukanlah keinginan.
Biar begitu lagaklagu sejoli sangatlah intim, berdua-duaan, bermesra-mesraan, bahkan terus berkencan ––lebih-lebih lagi bercumbu, hingga shower sex. Relasi tersebut berjalan tanpa hasrat dan Tom merasa bahagia. Sedangkan menurut Summer, ”Cinta adalah fantasi.”
Alur film ini maju-mundur. Dengan pembagian agedan mengacu pada hari. Namun ia tidak berurutan, dimulai hari pertama, ketiga kemudian meloncat ke hari 154. Kadang kembali mundur ke hari 11, lalu seketika maju lagi ke hari 28 dan seterusnya hingga berhenti di hari ke 500.
Ringkas cerita pada hari ke 290, Tom mendapati Summer ingin mengakhiri hubungan mereka. Pil pahit bagi Tom. Ia terlambat, Summer keburu dilamar orang lain. Pupus sudah asmara, berakhir pula roman tanpa ’status’ antara Tom Hansen dan Summer Finn.
Hasil diskusiku dengan Gemma Fatahillah ––sohib kental selama lebih satu dekade, aku bisa mengajukan dua hipotesis terkait ikhtisar film ini, dimana kesudahannya Tom Hansen tidak menemui Summer Finn sebagai takdir seperti harapannya.
Pertama yakni, Summer tipikal gadis yang kondisi jiwanya fluktuatif. Menurut Fatahillah, ”Summer agak tidak jelas”. Lumrah saja keadaan ini diperkirakan ekses dari kehancuran rumah tangga orang tuanya. Narator film menuturkan, ”Summer hanya mencitai dua hal yakni, rambut panjangnya yang hitam dan betapa mudah baginya memotong rambut itu tanpa merasakan apapun.”
Tingkah laku labil Summer ditunjukan pada fragmen permulaan, saat ia berkata, ”Aku hanya merasa tak nyaman menjadi pacar seseorang. Sebenarnya aku tak nyaman menjadi apapun bagi siapapun. Aku hanya ingin sendiri.”
Pernyataan tersebut berlawanan dengan tindakan Summer yang malah menjadi istri seseorang, bukan dengan Tom Hansen. Tom sendiri punya penyimpulan, Summer hanya melakukan hal yang ingin ia lakukan. ”Ini tak masuk akal.”
Postulat kedua yaitu, ––seperti perbincangan pada hari ke 488, ”Aku bangun di suatu pagi dan aku tahu bahwa aku tak pernah yakin denganmu,” kata Summer. Dari dialog tersebut, kiranya hendak berspekulasi alasan Summer tidak yakin dengan Tom adalah, Tom terlalu percaya dengan hubungan tanpa statusnya yang selama ini dijalani, sampai melupakan kepastian hubungan itu. Adapun Tom sebenarnya jeri untuk menegaskan, ”Saat kau menempatkan label dalam hubungan, itu seperti mencium kematian,” kesalnya.
Tom takut menerima jawaban yang tidak ia inginkan, yang akan membubarkan hubungan indahnya. Meski akhirnya pada hari ke 259 ia beranikan diri meminta kepastian, tapi pada hari-hari selanjutnya hubungan keduanya semakin kritis.
Konklusi postulat kedua ialah, Summer tidak hanya ingin sebatas ketegasan, namun Summer menunggu pernyataan cinta Tom secara terang benderang. Dan sayangnya selama babak demi babak film ini, tak pernah sekalipun Tom menembak Summer. Entah benar-benar tidak bernyali atau Tom cukup tahu diri karena sudah terlanjur menerima kejelasan bahwa Summer tidak mau berpacaran. weiß nicht!
Sebetulnya telaah premis kedua terlalu cetek. Tapi justru dari situ pertautan antara sinema dan hikayat cinta penulis bersinggungan. Walau barangkali takarannya tipis.
Seperti dialami oleh Tom Hansen, beberapa pengalamannya mirip dengan yang pernah atau barangkali sedang aku alami sekarang. Terutama seperti yang dibahas dalam postulat kedua.
Jika diakhir film Tom menemukan pengganti Summer bernama Autumn, maka aku hingga kini masih berkutat pada kondisi bernama kebimbangan. Boleh jadi terlalu pilih-pilih, kelihatannya juga bukan main banyak referensi sehingga ujung-ujungnya belingsutan menentukan pilihan. Akan tetapi bukan satu-satunya alasan.
Sebenarnya ada dua pangkal kenapa aku terus statis dalam ’lingkaran kesangsian’. Kausa pertama tidak perlu dicantumkan, karena akan aku isolasi rapat-rapat dan tidak bakal dibuka sama sekali. Ini terkait urusan privasi. Adapun gara-gara kedua agaknya masih memungkinkan untuk aku bagi.
Sosok tersebut, Imajiner. Perempuan yang berhasil membikin aku tergila-gila hampir tujuh tahun lebih lamanya. Ia berjaya membuat tak berkutik, jangankan lari, untuk mencari alasan menghindar saja tidak aku dapatkan ––rupa-rupanya aku yang tak mau lari. Oleh sebab itu rasa-rasanya belum pas jika menyediakan banyak opsi wanita. Intuisiku kepadanya seakan masih dan menjadi definitif. Meski aku tidak terus eksklusif menutup diri.
Namun, sementara ini intuisi sendiri yang tak mau berdamai dengan mencari prefensi lain. Ia keburu kesengsem, sampai-sampai tak mau memberi peluang pada hati lain. Perumpamaannya intuisiku itu pencemburu kalau aku menyeleweng. Betul-betul sulit.
Syahdan sekitar dua tahun lalu, ia sempat bercerita tentang satu hal. Aku sudah lupa apa yang dibahas. Tapi yang patut disimak dan akan terus aku ingat dalam cakap-cakap lewat Yahoo Messenger (YM), ––sebagian topik pembicaraan menyerempet soal pribadi–– ialah enam kata berikut, ––persis seperti yang diucapkan Summer pada Tom Hansen di tempat tidur, ”Aku tak pernah mengatakan ini ke siapapun.”
Kalimat tersebut kian meyakinkan perasaan, aku dibikin hilang akal, mabuk cinta-mabuk kepayang. Seakan-akan menjadi yang terspecial. Betul-betul serasa melayang, terbang bersama dewi-dewi khayangan.
Sama halnya dengan Tom Hansen kepada Summer, pendapatku ia ialah perempuan yang cocok. Untuk sampai pada kata cocok aku mengabaikan pola komunikasi yang baik. Jarang-jarang sekali bertatap muka, minim pula berbicara, paling dekat cuma lewat Facebook, Twitter, YM atau sekedar SMS-an itupun dengan intensitas yang kadang-kadang.
Sesekali tekhnologi sungguh menjadi andalan. Jika Tom mencuri perhatian pakai tape recorder ––memutar lagu The Smith, Please, please, please, let me get what I want, maka aku kerap pula mencari perhatian lewat metode IPTEK. Kirim-kirim pesan pendek, bikin status menyelentik di Twitter-Facebook-YM atau mengarang tulisan begini kemudian mempostingnya di blog atau note Facebook. Maksudnya agar ia tahu, walau nanti aku tersipu-sipu.
Dalam hitungan pertemuan yang tergolong rendah, ––apalagi cuma berbekal sentilan-sentilan bermodal kecanggihan tekhnologi, barangkali aku terlalu bebal jika punya ikhtisar ’perempuan yang cocok’. Lebih lancang lagi menyatakan bahwa, ”Jelas-jelas ia takdirku, jodohku, belahan jiwa dan akulah yang pantas jadi lakinya.”
Malahan dalam naskah terdahulu berjudul Potret Imajiner, postingan 4 Maret 2011 di yogiejoel.blogspot.com, aku pernah juga mencatatkan: ”Atas dasar kesamaan, estetika dan kesederhanaan, dengan penuh keyakinan si bodoh lancang mendeklarasikan, seharusnya itu jodoh.”
Elaborasinya begini: si bodoh adalah aku. Sedangkan kata ketiga, kesamaan, ialah bentuk eksplisit bahwa ekualitas itu memang ada. Dalam sejumlah hal aku berhasil menautkannya. Cuma jeleknya, yang aku temukan itu pun sulit untuk merincinya satu per satu, meski pandanganku temuan itu otentik dan masuk akal ––dari kacamata orang kasmaran. Begitupun dengan Tom Hansen, ia berpegangan bahwa Summer menyukai hal yang sama dengannya. Maka sudah selayaknya cinta itu tumbuh.
Sementara estetika dan kesederhanaan, cenderung mengacu pada nama kita masing-masing. Sama-sama terbentuk dari tiga suku kata. Yang satu indah, satunya lagi biasa. Bisa jadi ini termasuk landasan yang cukup eksentrik dan tidak populer.
Dengan berbagai dalih aku selalu mencoba mempertahankan egoisme ’kelancangan’ tersebut, jodoh, takdir, belahan jiwa dan macam-macamnya itu. Meski hanya lewat teriakan batin, melalui dunia imajiku dengan bahasa tanpa kata-kata. Tapi terus terang, aku sadar sikap ini tidak baik. Terlampau egois karena memasung intuisiku sendiri.
Menyayangkan juga ’realita’ dengan ’intuisi’ susah diajak konsolidasi. Realita ketakutan, sementara intuisi dikorbankan. Akibatnya perlahan-lahan ia menjadi sosok imajiner gara-gara tak kunjung berwujud.
Masih dalam Potret Imajiner, aku mengetik: ”Asal tahu saja, tempo lalu aku berkali-kali mendekati, tapi tiada pernah tindak lanjutnya. Itulah alasan, kenapa aku jadi malu buat maju. Ketakutan akan mendongkolkan, kegelisahan disangka menggantungkan, main-main perasaan. Aku khawatir bikin gondok-kecele.”
Wanita imajiner itu ibarat aufklarung. Dulu ia pernah hadir sebagai sosok faktual, ––bahkan aku menjulukinya Peri. Sekalinya datang ke hatiku yang senyap, tak kunjung ia mau pergi. Aku pun tak mampu mengusirnya, karena hakikatnya aku telah jatuh hati.
Di tengah meningkatnya jenjang cinta, kebodohan menyelinap. Aku justru memilih seseorang, bukan dia. Kekesalan berlipat-lipat ketika secara empiris aku mengetahui benar ia jauh lebih baik dari seseorang itu. Maka dari itu, tak sampai hati aku membuatnya terus-terusan kecewa.
Dan sekarang aku berada pada posisi yang amat problematis. Betapa sulitnya untuk menyatakan cinta lebih gamblang dengan menggendong aneka kerisauan. Atau Tom Hansen mengejawantahkannya dalam bentuk, kekesalan terhadap kartu ucapan. ”Orang membeli kartu bukan karena mereka ingin mengatakan perasaan mereka. Orang membeli kartu karena mereka tak bisa mengungkapkan perasaannya atau merasa takut.”
Maka aku gemas lantaran masih saja dengan tulisan, dan beraninya hanya lewat tulisan. Bedanya dengan Tom, tulisan ini bukan kartu ucapan yang ditulis orang lain untuk dikirim kepada seseorang mewakili perasaannya. Aku menulis dari hati, untuk aku kirim ke hatinya langsung.
Agaknya aku bisa sedikit berpijak pada ucapan Paulo Coelho dalam The Alchemist: ”Mintalah hati kita untuk jangan pernah berhenti berbicara padanya. Mintalah agar saat kita menyimpang jauh dari impian-impian kita, hati kita memperingatkan.”
Prolog film 500 Day Of Summer menampilkan perbandingan dua kehidupan masa lalu yang berbeda dari Tom Hansen dan Summer Finn. Semua dimulai dari bocah dan mereka tidak pernah tahu, bahwa kelak mereka akan saling bertemu dan Tom Hansen mengejar cinta Summer Finn.
Setiap manusia mana pun pernah mengalami masa kepolosan, ingusan dan tak tahu apa yang akan terjadi di masa depan ––dan memang tidak akan pernah ngerti. Mulanya bahkan aku serasa asing dengan sosok imajinerku, kemudian masa kini datang dan menggariskan aku untuk mengenalnya. Lalu yang terjadi di masa depan, tak paham aku! Karena semua telah tercatat. Tuhan jauh-jauh hari sudah ikut campur menyediakan cinta bertebar-tebaran, lalu kita menangkapnya.
Gampangnya cinta itu soal empat hal, bertemu, mengejar, mendapatkan dan menjaganya. Untuk urusan bertemu aku percaya takdir yang mengatur. Sedang perkara mengejar manusia seyogyanya berupaya, dan terkait hasil kembali lagi pada Tuhan.
Kemudian menjaga cinta adalah menyelesaikannya hingga akhir persuaan dengan kerelaan dan kasih bersama orang yang tepat. Biar telah berakhir cinta itu akan tetap kekal. Dengan pengandaian berbeda cinta itu ibarat derma, ia selalu memberi dan tiada berhenti.
Tuhan telah membaginya satu demi satu cinta, mengadakan perjodohan bagi manusia dengan caranya masing-masing. Tinggal bagaimana kita menyelesaikan perjuangan untuk meraupnya kemudian menjaga sebaik-baiknya.
Sebagai epilog, Tom Hansen memilih sikap, ”Tom Hansen akhirnya belajar bahwa tak ada yang namanya keajaiban. Tak ada yang namanya takdir. Dia tahu, dia yakin sekarang.”
Aku sendiri sedang berada pada fase bertemu dan mengejar. Atau sedikit menyalip, aku sedang menjaga cinta yang belum juga ada penyelesaiannya ini, gara-gara terjebak pada kegalauan dan kepanikan. Kiranya aku akan merawat cinta supaya ia tetap tumbuh subur meski aku belum jua digdaya secara maujud. Konkret lantaran dari segi intuisi aku boleh berbangga jadi pemenang, tujuh tahun bukan sekelebat untuk bertahan pada wanita yang sama.
Terkadang aku menunggu keajaiban. Alih-alih aku pikir itu terlalu lama. Ia bukan patokan, karena kebulatan hati dan ikhtiar yang kuat adalah keutamaan. Kejaiban cuma faktor tak terduga, datangya pun sembarang waktu tak menentu.
Permohonanku pada Tuhan sederhana saja, meyakinkan bahwa betul dia pilihan-Nya, meneguhkan itikad tersebut bila betul dan lapangkanlah untuk menjalaninya.
he he...good...goood, bagaimana jika lewatku saja hatimu kusampaikan?
BalasHapus