Buat Nik
Nik, tampaknya kau perlu seduh secangkir kopi susu sebelum baca tulisan ini.
Jika sudah, kau pilihlah tempat paling tenang. Pasang posisi sesantai mungkin dengan bersandar di kursi, berbaring di
kasur atau boleh juga menggelesot di atas lantai. Senyaman kamu. Dengarkan
musik yang merdu supaya menimbulkan suasana syahdu. Nikmatilah barisan
kata-kata yang nanti akan melantun sembari menyeruput hangatnya kopi susu.
Tulisan ini aku karang lantaran tempo hari kau mengeluh sedang dilanda
kebosanan. Bahkan si bosan
kelihatannya sudah memuncak. Iya tidak?
Pada mulanya aku tidak
mengerti apa sebab. Namun kau bercerita pangkal masalahnya adalah ‘kau tak
berjumpa dengan keharuan’. Keharuan. Mudah-mudahan aku tidak salah menangkap
apa yang dimaksud dengan keharuan itu. Aku pernah bertemu muka dengannya. Tapi
dasar pembawaan keharuan suka tak menentu, sejurus kemudian dia lenyap. Agak sukar untuk
mendapatinya kembali kendati bukan perkara yang mustahil. Malahan belum lama,
pada suatu waktu, aku beruntung bisa berjumpa lagi dengannya. Pada perjumpaan
terakhir ini dia berkata kepadaku: seorang
perempuan manis laksana gula serawak telah mengundangku kemari dan memintaku
untuk menemuimu. Lantas ia berseloroh: ”Kehadiranku
butuh pancingan bung!”
Jika benar persepsimu
tentang keharuan sama dengan persepsiku, aku hendak ajak kau untuk menemui atau
bersama-sama mendatangkan keharuan. Karena keharuan baru mau datang jika ada agitasi,
aku tak janji agitasi yang aku pakai ini makbul. Aku juga tidak beri garansi –bahkan sampai pada akhir
tulisan ini– agitasi bikinanku akan menyembuhkanmu dari kebosanan.
Tapi setidaknya aku dapat mengusahakan dan akan terus temani kau mencari
keharuan sampai tuntas.
*
Keluh kesahmu tentang keharuan membuat ingatanku terlempar ke masa silam tatkala
aku berjumpa dengan keharuan, di suatu tempat yang eksotis, hampir setahun yang
lalu, sembilan September dua ribu dua belas. Pada Minggu sore nan cerah. Sewaktu matahari tidak terik menyengat.
Selagi silir-semilir angin
berdesir membisiki ketentraman.
Sambil menenteng botol air mineral 330 ml merk ‘prim-a’ –bonus pembelian
karcis masuk– dan tas berisi kamera, aku beserta kamu berjalan menuju ke suatu
tempat yang eksotis. Tempatnya tinggi. Karena lokasinya di bukit, maka jalan
yang dilalui agak menanjak. Di kiri dan kanan ditumbuhi pepohonan yang besar.
Beberapa meter kemudian terdapat bale
bengong dan ayunan. Pelatarannya luas. Pohon-pohon berukuran sedang
berjajar rapi. Asri. Sekali lalu mencecap pemandangan nan elok, kita terus
berjalan hingga mendekati dua buah gapura yang di salah satu bagian atapnya
berbentuk limas.
Satu langkah-dua langkah-tiga langkah... kita menaiki anak tangga.
Langkah-langkah kecil yang barangkali ketika itu tak terpikirkan oleh kita
bahwa kelak langkah kecil itu membawa kita pada sintesis yang lebih sakral. Aku
lantas berpikir, saat pertama kali kita menjejakkan kaki dan melintasi gapura
itu, sesungguhnya kita sedang memasuki gerbang persenyawaan. Barangkali. Hanya
fantasi mengada-ada yang tidak dapat dipertanggunjawabkan. Hehe..
Setibanya di puncak –setelah melewati gerbang persenyawaan– padang rumput
tipis berwarna kuning kecoklat-coklatan terbentang luas di depan mata. Di
sekitar sabana itu, pelbagai bangunan candi dengan arsitektur nomor wahid
seolah mencipta imajinasi kemegahan dan peradaban di istana ini pada abad delapan.
Sekonyong-konyong aku mencium damai!
Aroma damai yang barusan aku rasakan itu bukan karena faktor tempat ini
belaka yang dulu bernama Abhayagiri Vihara (biara di bukit kedamaian), tapi
juga karena kehadiran kamu Nik. Kehadiranmu laksana permaisuri yang menenangkan
jiwa.
Sabana di tempat yang eksotis itu bagai panggung pagelaran yang mempertontonkan
kita sebagai penampil tunggal. Kita, penampil yang jiwa-jiwanya telah
bersenyawa, dalam keheningan dan ketenangan, lantas menari. Berlarian
kesana-kemari. Bernyanyi sesuka hati. Berloncat-loncatan di bawah teduhnya
pohon. Tergelak bersukaria. Sementara langit jadi penonton. Dia duduk di atas bebatuan
candi sambil memotret. Menjepret. Mengabadikan setiap plot yang kita peragakan.
Semoga dengan penuh keridoan.
Tatkala sedang hanyut bersama kamu, aku dan langit sempat menyaksikan roman
mukamu amat sumringah ketika itu. Membikin suasana hati siapapun yang melihatmu
terasa segar. Rupa-rupanya kau sedang bergiranghati. Begitupun aku. Sekalipun saat itu, hatiku belum merapat
di hatimu. Tapi sungguh aku amat bergembira bisa berada di tempat yang eksotis
bersama kamu. Menghadirkan pertunjukan yahud di hadapan alam dengan kamu –seorang
perempuan yang nanti menjadi sosok hebat yang aku punyai– adalah sesuatu yang sangat
mengesankan.
Sebagaimana sudah aku bilang di muka, aku berjumpa dengan keharuan di sini.
*
Pertunjukan diakhiri dengan tampilnya matahari dari balik gapura yang jadi
gerbang persenyawaan tadi. Detik yang kita tunggu-tunggu. Momen ketika matahari
terlihat begitu dekat bagai telur ceplok. Momen saat matahari tak lebih besar
dari telapak tangan manusia. Momen ketika guratan semburat lembayung senja yang
jadi latar belakang tampak bak lukisan menawan seorang maestro kelas dunia.
Aku dan barangkali kamu Nik, dibuat terpukau dengan
akrobat yang disajikan oleh matahari. Adalah suatu kebanggaan bisa menonton maha
karya agung ciptaan Tuhan yang tiada duanya ini. Bersama kamu Nik.
Sekali lagi aku berjumpa dengan keharuan di sini.
*
Kita berkemas. Meninggalkan sabana pagelaran lalu menghampiri musola. Bila
kau ingat, seraya menanti waktu solat tiba kita menunggu sambil melungguh bersebelahan
di kursi. Tak lama. Tak banyak pula yang kita obrolkan. Kita cuma merasakan terjangan
angin malam dari atas bukit, memerhatikan hamparan langit yang mulai menggelap dan
memandang bintang-bintang artifisial. Pernah pada suatu waktu kau ungkapkan
kepadaku, kalau kau suka dengan momen ini. Dan aku lagi-lagi menemukan
keharuan.
*
Nik, peristiwa di tempat yang eksotis sekira setahun lalu, yang lantas
mengikat kita dalam persenyawaan bernama komitmen itu adalah salah satu
peristiwa di mana aku berhasil berjumpa dengan keharuan. Aku terharu.
Momen itu sengaja aku manfaatkan sebagai alat agitasi untuk menemukan atau
mendatangkan keharuan serupa buat kamu. Malahan supaya keharuan yang kau
harapkan bersedia menampakkan diri, aku ‘sogok’ dia dengan boneka papertoys.
Boneka ini adalah gambaran diri sewaktu kita berfoto di tempat yang eksotis itu.
Mudah-mudahan dengan boneka papertoys, keharuan mau muncul.
Pendek kata aku tak tahu apakah agitasi yang aku lakukan lewat tulisan yang
kalimat-kalimatnya sulit dipahami, plotnya berantakan dan temanya absurd serta
boneka papertoys ini cukup manjur membuat keharuan muncul di hadapanmu
Nik. Bila agitasi ini gagal aku tak bisa berkata apa-apa selain, aku akan
selalu temani kau mencari keharuan. Sampai dapat. Kapanpun. Sampai tuntas.
Yogyakarta, 4 Juli 2013
Awesome work.Just wanted to drop a comment and say I am new to your blog and really like what I am reading.Thanks for the share
BalasHapusvery informative post for me as I am always looking for new content that can help me and my knowledge grow better.
BalasHapusIt is good to see posts that give truly quality information. Your tips are extremely valuable. Thanks a lot for writing this post.Thanks a lot for sharing. Keep blogging.
BalasHapusVery great post. I simply stumbled upon your blog and wanted to say that I have really enjoyed browsing your weblog posts. After all I’ll be subscribing on your feed and I am hoping you write again very soon!
BalasHapus