Perempuan renta, tinggal di desa Banjarsari, Kulonprogo. Rambutnya beruban, kulitnya berkeriput, terbungkus jarik dan kaos warna putih lusuh, sepertinya sisa peninggalan jaman perang. Ia istri pak dukuh. Usianya tak lagi muda, sekitar 55-an tahun. Seingat saya ia punya dua orang anak, sudah berkeluarga semua. Memiliki empat orang cucu. Saya takjub ketika ia berbicara tak seperti kebanyakan orang desa seusianya.
Bukan saya tapi dia mengawali obrolan.
Tadi siang, kami berdialog tentang demokrasi Negeri ini. Bagaimana atensi dia pada Amien Rais, orang yang dianggapnya punya jasa besar membangun Indonesia, keberanian dia menggulingkan rezim otokrasi Soeharto. Meski bagi saya Amien tidak lebih sebagai orang plin-plan. Tapi ia bangga menceritakan sosok idolanya.
Juga berbicara tentang keprihatinannya pada figur pemimpin yang tak lagi dapat dipercaya, ketika janji kampanye harus ditagih dulu, dan bukan karena dia sadar pernah berjanji. Ditagih pun tidak menjamin akan dilaksanakan. Ia sempat memuji Bupati Kulonprogo, karena perhatian dengan penduduk desanya, meski mengabaikan penduduk pesisir.
Pembicaraan berakhir dengan kutipan manis dari mulutnya, berbagai kebusukan di Negeri ini tak mengurangi hormatnya pada tanah kelahiran "Right or wrong, this is My Country," ucapnya bangga. Walau tua dan orang desa tampaknya ia lebih nasionalis.
*13 Mei 2010
Senin, 28 Juni 2010
Cerita Perempuan
Menemukan kutipan, pada sebuah lektur. "Seperti sebuah buku, masa lalu adalah halaman terdepan dari masa kini dan rencana untuk masa depan." Ada benarnya. Saya telah membuka halaman terdepan itu, mencoba berkontemplasi, mencari dan menghapus coretan salah dimasa lalu. Masa lalu tak pernah benar-benar berlalu, ia bisa hadir kapan saja memainkan perannya sebagai guru atau menggoreskan kesalahan lagi dimasa kini.
Malaikat, afinitas itu sering saya umbar, ketika saya terjaga dalam lamunan.
Hiperbolik memang, tapi itu jujur dan setelah ini kita akan melalui jalan kata dramatis. Bagi seorang pecundang, ia perempuan telampau sempurna. Pecundang karena kesalahan besar, tak terampuni dan sekarang coba memperbaiki.
Otak ini bekerja lebih keras dari biasanya, begitu tertera di novel 5 cm. Berpikir arah tepat yang harus ditempuh. Empat penjuru mata angin berkecamuk, menyombongkan jalan paling benar. Melawan takut melilit kaki, melangkah maju, hingga saya berhasil menemukan haluan yang mesti saya tuju.
Kisah lalu berulang lagi. Berawal ketika langit mempertemukan dua manusia, saya dan sang perempuan. Telah lama dipisahkan waktu, meski tak pernah ada ikrar menyatukan sebelumnya. Berproses tanpa diatur, tiada yang mengatur, saya percaya hanya Tuhan. Pintu terburai, ruang hati memuai. Selama ini jauh dari pikiran ruang itu berpenghuni, tiba-tiba khayalan saya, ia akan kekal disana.
Perlahan mulai membangun tekstur perasaan yang dulu pernah memancang. Lewat sebuah buku dan alat pengirim pesan, sebagai pondasi awal. Menciptakan berbagai resolusi, memimpikan tentang intensi dimasa depan.
*27 Februari 2010
Malaikat, afinitas itu sering saya umbar, ketika saya terjaga dalam lamunan.
Hiperbolik memang, tapi itu jujur dan setelah ini kita akan melalui jalan kata dramatis. Bagi seorang pecundang, ia perempuan telampau sempurna. Pecundang karena kesalahan besar, tak terampuni dan sekarang coba memperbaiki.
Otak ini bekerja lebih keras dari biasanya, begitu tertera di novel 5 cm. Berpikir arah tepat yang harus ditempuh. Empat penjuru mata angin berkecamuk, menyombongkan jalan paling benar. Melawan takut melilit kaki, melangkah maju, hingga saya berhasil menemukan haluan yang mesti saya tuju.
Kisah lalu berulang lagi. Berawal ketika langit mempertemukan dua manusia, saya dan sang perempuan. Telah lama dipisahkan waktu, meski tak pernah ada ikrar menyatukan sebelumnya. Berproses tanpa diatur, tiada yang mengatur, saya percaya hanya Tuhan. Pintu terburai, ruang hati memuai. Selama ini jauh dari pikiran ruang itu berpenghuni, tiba-tiba khayalan saya, ia akan kekal disana.
Perlahan mulai membangun tekstur perasaan yang dulu pernah memancang. Lewat sebuah buku dan alat pengirim pesan, sebagai pondasi awal. Menciptakan berbagai resolusi, memimpikan tentang intensi dimasa depan.
*27 Februari 2010
Minggu, 20 Juni 2010
Minggu Pagi di Victoria Park
*RESENSI FILM
Mayang (Lola Amaria), matanya belo, bibir sedikit tebal, rambut pendek. Kulit hitam dan tubuh ramping. Meski terlihat manis, tapi itu tidak membuat Mayang percaya diri. Dia kalah pamor bila dibandingkan adiknya, Sekar (Titi Sjuman). Sekar memang jauh lebih menarik ketimbang Mayang. Wajahnya cekung, hidung pipih, kulit putih dan tubuh ramping. Sekar selalu lebih unggul dan berprestasi. Perbedaan itu membuat ayah mereka, Sukardi memberikan perlakuan berbeda pula pada keduanya. Diskriminasi tersebut telah banyak menimbulkan konflik antara Mayang dengan adik kandungnya sendiri. Namun ibu mereka, Lastri hadir sebagai penengah dan berusaha untuk bersikap adil.
Dua tahun sudah Sekar meninggalkan tanah airnya. Ia menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Hong Kong. Keberadaan Sekar di Hong Kong membuat Mayang semakin terpojok. Di kampung halaman, bermil-mil dari tempat Sekar berdiam, Mayang menjadi bulan-bulanan ayahnya. Dalam berbagai kesempatan Sukardi terus menyindir gadis hitam ini. Memang keluarganya sering mendapat kiriman barang-barang mewah dari Sekar. Kehidupan di Hong Kong telah merubah nasib Sekar. Ia intens memberi nafkah bagi keluarganya di Indonesia. Hal itu bertolak belakang dengan Mayang, yang hanya bekerja di ladang tebu. Menurut Sukardi, pekerjaan bekebun itu tidak pernah memberi hasil memuaskan. Hati Mayang bergolak, merasa terus diremehkan.
Setelah dua tahun berlalu tak pernah ada kabar lagi dari Sekar. Sukardi dan Lastri khawatir, kemudian menyuruh Mayang menyusul adiknya. Mayang harus menjadi TKW. Sesunguhnya ia memiliki cita-cita tinggi dan tidak mau menjadi babu, karena ia sering mendengar pengalaman pahit dialami TKW. Desakan orangtua membuat ia harus tetap berangkat ke Negeri orang, dengan segala keawaman dan ketidaktahuannya.
Mayang bekerja menjadi pembantu rumah tangga sekaligus pengasuh anak. Beruntung majikannya orang baik. Sambil bekerja perlahan ia mulai beradaptasi dan berkenalan dengan teman-teman sesama pembantu di Negeri Asia Timur tersebut, juga mencari adiknya. Warung budhe, tempat ini biasa digunakan para pekerja wanita melepas lapar dan dahaga atau sekedar bercakap-cakap. Dari situ Mayang mengenal Gandi (Donny Damara) melalui Sari (Imelda Soraya) yang berwatak genit dan suka dirayu, teman buruh yang baru dikenalnya. Gandi, pegawai Konsul Jenderal RI Hong Kong, wajahnya kotak, mata tajam. Kulit hitam dan tubuh ideal antara tinggi dengan berat badannya. Tidak terlalu gemuk tapi tidak terlalu kurus. Gandi sering disebut bapaknya anak-anak. Ia peduli dengan berbagai masalah dan selalu siap menampung keluh kesah yang menimpa pembantu.
Dari Warung Budhe, perjalanan Mayang berlanjut ke Victoria Park. Victoria Park menjadi sentra favorit bertemunya buruh Indonesia. Pada hari Minggu, setiap pagi, banyak orang Indonesia tumpah ruah di tempat ini. Terletak di pusat kota, ditumbuhi pohon rindang, serta gemercik air mancur membuat tempat ini terasa sejuk meski ada di tengah kota. Disitu Mayang berbaur dengan teman-teman buruh lain.
Nasib Sekar
Jalan tidak selalu mulus. Adagium ini berlaku bagi Sekar. Kehidupan di Hong Kong perlahan mulai menemui hambatan. Ia tidak tahu jika kakaknya sudah di Hong Kong. Sebelum kakaknya datang, masalah sudah lebih dulu hadir. Beban untuk terus menafkahi keluarga menyebabkan Sekar harus mencari pinjaman uang karena penghasilannya mulai surut.
Orang pertama yang didatangi Sekar untuk dimintai pertolongan adalah Gandi. Namun Gandi tidak bisa memenuhi permintaan Sekar. Peristiwa itu memicu konflik antara Gandi dengan Vincent (Donny Alamsyah). Vincent adalah sahabat karib Gandi, mata sipit, kulit putih. Pengusaha Indonesia keturunan Cina. Ia juga peduli dengan nasib buruh. Konflik dengan Gandi menyebabkan persahabatan mereka sedikit renggang. Vincent, beranggapan Gandi setengah hati melayani buruh dengan tidak mau memberi pinjaman pada Sekar.
Berawal dari peristiwa tersebut, Sekar menghilang. Gandi, Vincent dan teman-teman buruh tidak tahu keberadaannya. Pencarian Mayang terus berlangsung. Dengan dibantu Gandi dan Vincent serta teman-teman sesama TKW yang juga sedang mencari keberadaan Sekar, mereka berusaha menemukan adik Mayang.
Itu adalah cerita singkat dari Film Minggu Pagi di Victoria Park. Film ini disutradarai oleh Lola Amaria, sekaligus sebagai pemeran utama. Dibintangi pula oleh Titi Sjuman, Donny Damara, Donny Alamsyah dan Imelda Soraya. Serta didukung oleh Fitri Sugab, Bob Singh, Aline Jusria, dan Permatasari Harahap. Mengambil lokasi di Hong Kong, dengan latar kehidupan Tenaga Kerja Wanita.
Bermula dari persaingan antara Mayang dengan Sekar, kita akan dibawa menuju konflik lebih kalut lagi. Sekar harus merelakan tubuhnya dijual, ia melacur di Wan cai kawasan yang terkenal dengan kehidupan malamnya. Perjuangan untuk setidaknya dapat bertahan hidup di Hong Kong dan melunasi hutangnya dengan melacur membuat ia frustasi setengah mati. Jalan pintas bunuh diri coba ia tempuh. Tapi terlambat, Mayang, Gandi, dan Vincent bergegas memergokinya. Terjadi cek cok antara Mayang dengan Sekar. Kulminasi perang batin kakak adik sampai pada titik akhir. Perseteruan selama bertahun-tahun mereka idap, seolah menjadi bom waktu dan harus meledak menghancurkan ego masing-masing. Lola Amaria dan Titi Sjuman membawakannya dengan baik dan penuh penghayatan. Adegan ini mampu memicu emosi penonton untuk ikut merasakan konflik didalamnya.
Seperti kebanyakan film drama, terasa hambar jika tanpa afeksi. Titien Wattimena, penulis skenario, juga mengkomposisikan dengan bumbu cinta sesama manusia. Kasih Sayang keluarga, antara Mayang dengan adiknya maupun dengan anak majikannya, filantropi Gandi dengan para TKW, empati yang begitu besar sesama rekan TKW, hingga kisah cinta Vincent yang diam-diam menyimpan perasaan pada Mayang, serta cerita cinta antara Sari dengan Amar (Bob Singh) yang playboy asal pakistan berwajah arab dan matre. Selain itu juga dihiasi kisah tragis, Menuk (Permatasari Harahap) dengan Agus (Fitri Sugab). Mereka adalah pasangan transgender, lesbi.
Dipilihnya Hong Kong sebagai lokasi, menghadirkan suasana lain. Beberapa scene coba menampilkan partikularitas negara itu. Pelabuhan Causeway Bay, panorama indah akan tampak dengan kelap-kelip lampu gedung pencakar langit HSBC (The Hong Kong Shanghai Bank Corporatiaon) dan Gedung Bursa Efek Hong Kong menjadi suguhan cantik pada malam hari. Victoria Park, semacam Indonesia kecil di Hong Kong juga memiliki keistimewaan tersendiri. Para TKW memanfaatkannya untuk berkumpul. Biasanya setiap pagi, di hari Minggu. Karakter manusia Hong Kong yang sering lalu lalang di trotoar dengan langkah kaki cepat sehingga terlihat berlari menjadikan alur cerita tambah menarik. Pelibatan aktor-aktor dari Hong Kong, membuat film ini semakin berwarna.
Secara garis besar, film produksi Pick-Lock production ini berkisah tentang kehidupan pembantu di luar negeri dengan segala permasalahannya yang rumit. Film ini akan membuka mata penonton, betapa hidup di luar negeri sebagai babu tidaklah mudah. Ada hal yang selama ini tidak diketahui, segala perjuangan ditempuh untuk menghidupi diri dan keluarga di Indonesia, meski menggunakan cara yang salah. Pemerintah dan kita diminta untuk tidak menutup sebelah mata dengan keadaan buruh di Negeri orang.
Meski bersifat campaign, namun film yang juga melibatkan Noey Letto sebagai produser ini tidak secara komprehensif menampilkan kekerasan dialami TKW oleh majikannya, yang ada majikan baik hati. Walaupun hal itu tidak merusak rule film, alangkah lebih baik jika ada penyeimbang didalamnya sehingga pesan yang diusung tersampaikan. Sutradara juga cukup jeli melihat seluk beluk kehidupan buruh, dengan menghadirkan Kangen Band di penghujung film. Kangen Band adalah band kontroversial asal Indonesia yang lagu-lagunya banyak digemari para TKW. Minggu Pagi di Victoria Park menjadi tontonan alternatif di tengah maraknya film Indonesia berbau seks dan horor. Sayang untuk dilewatkan.
Selasa, 08 Juni 2010
Ini Sebuah Kehormatan
New York Herald Tribune, November 1963
Jimmy Breslin
CLIFTON POLLARD yakin hari Minggu itu ia akan bekerja. Jam 9 pagi ia sudah bangun. Di apartemennya, berisi tiga kamar, di Corcoran Street, ia telah siap mengenakan pakaian terusan warna khaki lalu menuju dapur untuk sarapan. Istrinya, Hettie, sudah menyiapkan daging panggang dan telur. Pollard sedang makan ketika ada panggilan telepon berdering, yang memang sudah ia tunggu itu. Itu telepon dari Mazo Kawalchik, mandor para penggali kubur di Arlington National Cemetery, tempat Pollard bekerja mencari nafkah. ”Polly, tolong jam sebelas nanti sudah ada disini, bisa ya?” kata Kawalchik, menyuruh. ”Saya kira kau tahu kenapa,” katanya melanjutkan. Ya, Pollard memang sudah tahu. Ia meletakkan gagang telepon, menyudahi sarapan lalu meninggalkan apartemennya. Hari Minggu itu ia lewatkan dengan menggali liang lahat untuk John Fitzgerald Kennedy.
Sewaktu Pollard tiba lalu berjalan ke gudang kayu bercat kuning, tempat perkakas pemakaman disimpan, Kawalchik dan John Metzler sudah menunggunya. ”Maaf, kau jadi harus kerja hari Minggu,” ujar Metzler. ”Ah, tidak usah ngomong begitu,” kata Pollard. ”Bagi saya, berada di sini adalah kehormatan.” Pollard lalu menuju ke sebuah mesin pembajak berlawanan arah. Di pemakaman itu, lubang kubur tidak digali pakai sekop. Mesin bajak terbalik yang dipakai berwarna hijau, sementara mangkuk besar yang menggali tanah itu bergerak ke arah orang yang mengendalikan mesin, tidak menjauh seperti kren. Di bawah bukit di depan ”Makam Serdadu tak Dikenal”, Pollard mulai menggali. (Catatan Editor: Serdadu itu bernama Custis-Lee Mansion).
Dedaunan menutupi rumput. Ketika gigi-gigi bajak menggaruk tanah, dedaunan itu mengeluarkan suara rumput tertebas, berbunyi ”kres-kres-kres,” yang terdengar dari atas motor penggerak mesin bajak. Ketika mangkuk pertama menyembul dengan seonggok tanah, Metzler, pengawas pemakaman itu, mendekat dan menatapnya. ”Tanahnya bagus,” kata Metzler. Pollard menyambut, ”Saya mau menyimpannya sedikit.” ”Mesin ini meninggalkan jejak di rumput, nanti saya isi tanah dan menanaminya dengan rumput subur yang tumbuh di sekitar sini, saya mau semuanya di sini—kau tahu—indah.”
James Winners, penggali kubur lain, mengangguk. Katanya, ia juga akan mengangkut beberapa gerobak tanah yang sangat subur itu ke gudang untuk ditanami rumput. ”Ia orang yang baik,” ujar Pollard. ”Ya, memang,” kata Metzler, menyahut. ”Sekarang ia akan datang ke sini dan berbaring di liang lahat yang saya gali,” sambung Pollard. ”Kau tahu, ini benar-benar sebuah kehormatan buat saya, mengerjakan semua ini.”
Pollard, 42 tahun. Ia orang yang ramping dan berkumis, lahir di Pittsburgh dan pernah ikut sebagai sukarelawan pada Batalyon Engineers ke-352 yang bertugas di Burma ketika Perang Dunia II berkecamuk. Saat ini ia bekerja sebagai operator peralatan. Gajinya tingkat 10, artinya per jam ia menerima bayaran US$3.01. Nah, orang terakhir yang melayani John Fitzgerald Kennedy, Presiden ke-35 negaranya sendiri, adalah seorang pekerja yang mendapat gaji US$3.01 per jam dan ia masih bisa berkata menggali kubur bagi sang mendiang presiden adalah sebuah kehormatan.
Pagi kemarin, pukul 11.15, Jacqualine Kennedy berjalan menuju makam itu. Ia keluar di bawah naungan portiko Gedung Putih, perlahan mengiringi jenazah suaminya yang diusung di dalam keranda berkudung bendera. Keranda itu juga dibebat dengan dua sabuk kulit hitam, yang diikat ketat pada kereta berporos kuningan mengkilap.
Jacqualine melangkah lurus dan wajahnya menengadah. Ia menuruni jalan berbatu biru dan berselimut hitam dan menembus bayangan cabang-cabang tujuh pohon oak yang kala itu seluruh daunnya luruh. Ia berjalan perlahan, melintasi prajurit angkatan laut yang memegang tegak bendera negara. Ia mengayun kaki melintasi orang-orang yang berdiri rapat sambil menutup mulut dan tegang melihat ke arahnya. Lalu saat iring-iringan itu terlihat, mereka menundukkan kepala dan mengayunkan tangan mengusap mata. Ia melangkah ke gerbang barat daya tepat di tengah Pennsylvania Avenue. Ia berjalan dengan langkah yang rapat dan wajahnya menengadah tegak. Di jalanan Washington, ia mengiringi jenazah suaminya yang terbunuh.
Semua orang menyaksikannya ketika ia melangkah. Ia kini ibu dari dua anak yatim. Dan ia melangkah ke dalam sejarah negeri Amerika karena ia telah menunjukkan kepada semua orang—yang merasa tua dan tak tertolong dan tanpa harapan—bahwa ia punya kekuatan yang juga sangat diperlukan oleh semua orang. Walaupun ada yang telah membunuh suaminya dan darahnya menetes pada pangkuannya ketika sang suami menjemput maut, ia masih mampu berjalan tegar ke pemakaman dan dengan begitu ia telah menolong kita semua.
Massa berkerumun lalu prosesi itu sampailah juga di Arlington. Ketika ia tiba di pemakaman itu, keranda sudah diletakkan, di antara rel kuningan dan siap diturunkan ke liang lahat. Ini pasti saat yang paling menyedihkan: seorang wanita menyaksikan keranda sang suami ditimbun di dalam tanah. Ia tahu, sang suami akan selamanya berada di sana. Sekarang, tak ada apa-apa lagi. Tak ada keranda untuk dicium atau bahkan dipegang. Tak ada tempat berpegangan. Tapi ia melangkah ke tempat penguburan itu dan berdiri di depan enam baris kursi bersarung hijau dan ia mulai duduk. Tapi serta merta ia berdiri lagi karena ia tahu tidak harus duduk sampai inspektur pemakaman memberi tahu di mana ia harus duduk.
Seremoni pemakaman itu pun dimulai. Pesawat jet meraung di langit, tepat di atas kepala, dan dedaunan jatuh dari langit. Di bukit ini, di sisi keranda, hadirin pun membahanakan doa. Ada juru kamera, penulis, prajurit, dan Agen Rahasia—mereka juga ikut berdoa tak kalah nyaringnya tapi seperti ada yang tersendat. Di depan makam itu Lyndon Johnson mengarahkan wajahnya ke kanan. Ia sekarang Presiden dan ia harus tetap tenang. Ia tak ingin melihat ke keranda dan liang lahat terlalu kerap untuk sang mendiang John Fitzgerald Kennedy. Lalu, pemakaman itu pun usai. Limusin hitam melaju di bawah pepohonan taman pemakaman itu dan keluar ke bulevar menuju ke Gedung Putih. ”Jam berapa sekarang?” pria yang berdiri di atas bukit itu bertanya. Ia melihat jam tangannya. ”Jam 3 lewat 30 menit,” ujarnya.
Clifton Pollard tidak hadir saat pemakaman itu. Ia berada jauh di balik bukit itu, menggali kubur lain dengan bayaran $3.01 per jam. Ia tidak tahu untuk siapa lagi liang lahat yang ia gali itu. Ia hanya menggali lalu menimbunnya lagi. ”Mereka pernah ada dan berguna,” katanya. ”Kita hanya tak tahu kapan. Tadi, aku mau melihat ke sana,” ujarnya. ”Tapi terlalu banyak orang, kata tentara tadi, saya tidak boleh mendekat. Jadi, ya saya tetap di sini dan menggali. Tapi nanti saya akan ke sana sebentar. Cuma melihat sebentar, ya kan? Seperti kata saya padamu tadi, ini sebuah kehormatan.” []
* Diterjemahkan dari “It’s an Honour” by Jimmy Breslin.
Blog Breslin in Newsday: http://www.newsday.com/news/columnists/ny-jimmybreslin,0,4860342.columnist
Langganan:
Postingan (Atom)