SUDAH BEBERAPA bulan ini sudut-sudut kota Yogyakarta terlihat meriah. Ada poster besar warna-warni, bergambar orang berpeci mengenakan pakaian batik sedang ramahtamah sambil menyerahkan bantuan, tidak kurang jargon heroiknya. Sementara di sudut lain spanduk berisi sanjungan dari komunitas-komunitas tertentu tampil elegan bak memuji seorang pahlawan. Pilkada sudah dekat, kampanye mesti semakin giat.
Pada 2011 ini Yogyakarta punya dua hajatan besar demokrasi. Pertama 19 Juni Pilkada Kulonprogo dan 25 September giliran Pilkada Kota Yogyakarta. Sejumlah calon telah jauh-jauh hari merancang agenda pemenangan. Dari membentuk tim sukses, bikin anggaran dana yang besar, sampai ngalor-ngidul nglamar ke partai politik. Atau bagi yang punya ’pengaruh’ tinggal duduk manis menunggu pinangan maka kendaraan politik akan datang.
Untuk Kota Yogyakarta sendiri sekitar 30 April lalu, pendaftaran calon walikota sudah ditutup. Seluruh calon yang lolos verifikasi berasal dari partai politik. Tidak ada satu pun calon independen. Gugurnya calon perseorangan ini akibat ketidakmampuan mereka menggalang dukungan 5% dari jumlah penduduk atau 21.537 suara yang tersebar didelapan kecamatan.
Gagalnya calon perseorangan maju menjadi kepala daerah sebenarnya tidak begitu mengherankan. Sinyalemen ini sudah tampak sejak Pemilu Presiden 2009 kemarin. Apalagi sempat muncul Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-V/2007 yang menganulir UU 32/2004 pasal 56, 59 dan 60 tentang persyaratan pencalonan kepala daerah memberikan peluang kepada calon independen untuk maju dalam Pilkada.
Meskipun satu tahun setelah terbitnya putusan MK, -dengan judicial review- muncul UU 12/2008 tentang Perubahan Atas UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, di mana calon perseorangan mulai diakomodasi, namun jalur independen masih terasa belum populer dalam iklim demokrasi Indonesia. Ia kalah pamor dengan eksistensi partai politik.
Bahkan sebelum lahirnya UU 12/2008, partai politik seakan memiliki peran vital, sampai-sampai seorang warga negara yang ingin menduduki kursi nomor satu birokrasi saja, syarat utamanya harus berkendaraan partai politik. Sementara agar memiliki kendaraan tersebut, kandidat harus memperoleh dukungan pimpinan satu atau sekelompok partai politik yang menguasai 15% kursi DPRD atau menang 15% suara pemilu (UU 32/2004).
Apalagi menurut Mochtar Mas’oed, pengajar ilmu politik Universitas Gajah Mada, dalam buku ’Penegakan Hak Asasi Manusia dalam 10 Tahun Reformasi’ terbitan Komnas HAM 2008, partai politik selalu dihantui masalah finansial. Pimpinan partai politik memanfaatkannya untuk menggalang dana dari kandidat, terutama dengan menjual pencalonan pada penawar tertinggi. Kandidat yang ingin menang di suatu kabupaten atau kota harus menyumbang hingga partai politik di tingkat DPD bahkan DPP. Otoritas partai politik yang demikian hebat membuat hak-hak berpolitik warga negaranya mengalami deklinasi, yang pada akhirnya mereduksi prinsip-prinsip egaliter, seperti dijamin UU 39/1999 tentang HAM, bahwa tiap warga negara dapat terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Otomatis dengan terbatas hanya mereka yang diusung partai politik yang boleh ikut dalam Pilkada, maka bisa diibaratkan telah terjadi pembredelan aspirasi politik warga negara untuk berpartisipasi dalam demokrasi. Padahal demokrasi yang ideal adalah adanya supremasi hak asasi manusia, dengan mengakomodir kepentingan seluruh elemen masyarakat. Fenomena tersebut menunjukan sebetulnya demokrasi yang dibangun masih sangat transaksional. Lebih memprihatinkan lagi, tolok ukurnya kemudian duit. Maka jangan bertanya-tanya jika praktek korupsi terus tumbuh dan semakin subur. Indikatornya jelas, selain merancang persekot ke partai politik, kandidat perlu juga mengkonsep sistem balik modal: untung, cepat dan tunai, tak peduli menilep fulus haram.
Namun seiring legalisasi calon independen dapat turut serta dalam Pilkada, perlahan-lahan menumbuhkan gradasi anyar penyelenggaraan demokrasi Indonesia. Pendapat bahwa partai politik adalah sarana aspirasi akan semakin terkikis jika ia tidak segera berbenah diri. Ia tidak lagi menjadi satu-satunya media penyalur suara rakyat karena bakal ada media alternatif lewat calon independen.
Belum lagi belakangan ini timbul sinisme publik terhadap partai politik. Lunturnya kredibilitas partai politik, dapat diduga lantaran kecenderungannya mementingkan urusan internal partai tinimbang menjadi media aspirasi rakyat, buruknya lagi condong korup. Pertama-tama memikirkan bagaimana memenangkan Pilkada tahun ini, lalu setelah terpilih atur strategi mempertahankan kedudukannya atau supaya tetap jadi pemenang di Pilkada selanjutnya. Siklus ini berlangsung ajeg, hingga akibatnya kepentingan konstituennya dilupakan.
Dengan gelagat seperti itu tidak ada jaminan masyarakat akan berbondong-bondong untuk memilih. Biarpun pendidikan politik masyarakat sudah cukup baik ––maksudnya sadar akan hak-haknya, namun degradasi kepercayaan nampaknya terasa lebih holistik daripada integritasnya terhadap partai politik. Akhirnya jangan salahkan jika masyarakat, banyak yang memilih untuk tidak memilih.
Meski perlu ditegaskan bahwa sistem perseorangan pun bukan garansi demokrasi berjalan dinamis. Potensi-potensi penyimpangan akan tetap ada. Belum lagi meskipun ia bertarung secara perseorangan sebagai kepala daerah, mau tidak mau ia juga mesti berafiliasi dengan fraksi yang berkuasa di legislatif, termasuk soal pengawasan kebijakan.
Tapi paling tidak kran kebebasan berpolitik telah dibuka melalui pelegalan calon perseorangan. Dengan begitu ada saluran bagi masyarakat untuk terlibat dalam penyelenggaran negara, termasuk memilih dan dipilih dalam gelora demokrasi bangsa. Siapun berhak dan punya kesempatan luas buat mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Dan yang paling penting lagi, munculnya kandidat independen bukan justru dijadikan kompetitor, namun seyogyanya bisa menjadi bahan refleksi sehingga ada itikad dari partai politik untuk memperbaiki diri.
Yang tidak ada dewasa ini adalah kemauan dan kemampuan partai politik untuk menguasai dan mempraktikkan seni dnn ilmu pemerintahan dalam memakmurkan dan meningkatkan martabat nusa dan bangsa. Kecuali itu tidak ada partai politik yang merupakan kendaraan dari orang-orang yang mempunyai ideologi yang sama, dan juga tidak mempunyai rasa tanggung-jawab tentang perilaku kader-kader yang mereka usung untuk dipilih rakyat, dan menduduki kursi-kursi yang ditawarkan. Umumnya ternyata, partai-partai politik hanya kendaraan bagi orang-orang yang berduit, yang berebut kekuasaan untuk memperoleh peluang merampok kekayaan rakyat, dan mempermainkan hukum untuk melindungi kepentingan pribadi dan golongan / kelompok. Rakyat membutuhkan negarawan, bukan politisi busuk yang terjun kedunia politik untuk mencari kesempatan memenuhi nafsu kerakusan samata.
BalasHapus