Pages

Sabtu, 09 Juli 2011

Media, Wahana Pencerdasan Bangsa


IDAH ROSIDAH SEDANG sibuk di depan laptopnya. Ia sedang online. Membuka-buka jejaring sosial dan beberapa situs berita. Menurutnya, sekarang orang sudah berpaling ke media online. “Lebih efektif,” ujarnya.

Mulai ngetrendnya dunia maya dalam satu satu dekade belakangan, menurut mojang berkacamata asal Bandung ini membikin praktis. “Karena media online sudah bisa masuk telepon genggam, jadi kita dapat mengupdate berita kapanpun dan dimanapun.” Sedangkan untuk media cetak, “Agak terbatas dan sulit juga untuk kita mencarinya ––informasi,” tambahnya.

Senada dengan Rosidah, Astutik, perempuan berjilbab, berwajah tirus dan ketika ditemui memakai setelan baju serba abu-abu ini mengungkapkan, ada sesuatu yang lucu di Indonesia. Ia beranggapan orang masih senang menggunakan dokumen yang bertumpuk, macam koran. “Ada perasaan kurang gimana gitu kalau enggak pegang dokumen. Itu kebiasaan orang Indonesia,” kata jebolan Fakultas Ekonomi UII ini. Astutik menduga, suatu saat media cetak akan tergantikan oleh media online. ”Entah kapan, tapi iya. Trend di luar begitu dan pernah ada diskusi tentang itu.”
***
Astutik sedang makan siang saat ditemui. Makanannya hampir habis. Barangkali tiga suapan lagi dan piring putihnya akan bersih. Tapi ia tetap mempersilahkan untuk diinterview.

Selain urusan eksistensi media cetak dan media online, dialog banyak membahas soal-soal media lebih ekstensif. Saat dimintai pendapatnya mengenai surat kabar di Indonesia, Astutik berpandangan bahwa kualitas surat kabar di Indonesia tidak independen karena merupakan bagian dari bisnis. ”Menurutku ambigu. Satu sisi dia berbisnis, tapi di sisi lain ia menyuarakan kepentingan. Ya politik, ya macam-macamlah.”

Bagi Astutik berita yang diinginkannya ialah berita yang menyampaikan fakta apa adanya. ”Keberpihakan media itu jelas semestinya. Tapi aktualisasinya itu sulit. Karena kepentingannya banyak,” katanya.

Di tengah ambiguitas ––dengan tidak bermaksud pesimis, bahwa setelah Presiden Soeharto lengser media jadi berkembang. ”Itu sesuatu yang harus diapresiasi,” imbuh Astutik. Apalagi dengan bermunculannya media-media alternatif terbitan LSM yang tidak tergantung bisnis iklan. ”Itu bisa jadi penyimbang. Untuk menyuarakan investigation reporting korupsi misalnya.”

Idah Rosidah, wanita berjilbab dan senang mengenakan baju gamis ini punya pendapat hampir mirip. Walau dengan bahasa yang berbeda, ia menuturkan bahwa kualitas surat kabar di Indonesia terbagi atas empat kriteria yakni: sangat baik, baik, cukup baik dan kurang. Ia menilai beberapa media masih memakai sudut pandang subyektif, belum obyektif. Selebihnya ia menilai dari soal tekhnis, ”Cara penulisannya, dari penuturan bahasanya, dari layoutingnya.”

Rosidah berpandangan, berita-berita yang penting untuk disajikan oleh media masa ialah hal-hal publik yang menyangkut masyarakat, negara, kehidupan, kebijakan dan yang bermanfaat buat masyarakat. ”Itu penting diberitakan dan diketahui. Lantaran media merupakan salah satu sarana untuk pencerdasan bangsa,” ujar Rosidah.
***
Media massa, khususnya surat kabar ––dalam manifestasi Idah Rosidah sebagai alat pencerdasan bangsa–– tidak dibarengi dengan minat baca yang tinggi oleh masyarakat, khususnya kalangan muda. ”Menurut saya minat baca anak muda kini agak menurun,” kata Rosidah.

Gara-garanya orang sekarang lebih suka mengalihkan perhatian ke dunia maya, alih-alih mencari informasi bermanfaat ia justru demen banget main Facebook atau Twitter. Faktor lain penyebab rendahnya minat baca menurut Rosidah, ––yang doyan baca-baca tema traveling, politik, pendidikan dan kuliner ini–– orang lebih suka menonton film. ”Bahkan kadang-kadang orang berpaling dari dunia media (baca), karena lebih asyik dengan dunianya sendiri.”

Sedangkan Astutik, ia sekata dengan Rosidah. Sekarang orang kalau mau baca cenderung cari di Google daripada di perpustakaan. Aksesbilitas orang-orang makin banyak mengambil lewat internet. Namun, ”Dengan munculnya internet membuat minat baca berkurang. Mungkin di satu sisi informasi menjadi cepat tapi orang jadi bersifat instan,” tutur Astutik yang suka topik bacaan psikologi dan human interest ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar