SELAMAT DATANG pagi diakhir Juni. Tahu tidak, kau tiba terlampau cepat, sampai-sampai belum sempat aku tertidur. Tidak juga aku bermalas-malasan di atas kasur, bergumul dengan bantal-guling kemudian bangun untuk menyambutmu seperti pagi biasanya. Menyibakkan tirai, melihat keluar di sela-sela teralis besi berdebu, aku menengok lewat jendela. Ternyata gelap telah jadi terang. Sudah pukul 5.30. Masih tetap terjaga.
Pagi diakhir Juni. Dimulai kesiangan, pukul 12. Untuk beberapa menit ke depan, pun aku belum sepenuhnya memulai. Belum juga beranjak dari amben. Gara-garanya imajiku masih berseliweran, bergelayutan di antara kehidupan nyata dan lamunan. Sepuluh menit.
Sekarang kehidupan nyata telah utuh menguasaiku. Walau imajinasi itu tak pernah bisa disingkirkan. Ia akan terus muncul, bahkan datang tanpa permisi. Imaji tak selamanya kabur. Maka selalu berpeganglah pada penafsiran ini: imaji adalah impian bukan halusinasi. Ia masuk akal, bukan cuma utopis belaka. Ia didasari optimisme tinggi tiada yang khayali.
Berangkat dari keyakinan besar, maka aku hendak ambil ancang-ancang. Dua-tiga langkah. Diambang pintu aku sempatkan berhenti sejenak. Bukan lantaran kecele, tapi aku menyaksikan alangkah banyaknya mimpi itu disuguhkan. Dihidangkan untuk dilahap. Takjub-menakjubkan. Tergeleng-geleng! Betapa pemurahnya hidup, ia menyediakan tetekbengek cita-cita, disegala penjuru.
Untuk mencapainya kita punya tugas berat namun cukup sederhana: membangun daya, berupaya dan berdoa. Terdengar stereotipe memang. Ya, begitulah konsepsi alam yang terkesan statis itu. Pola baku untuk mengejar impian. Namun dapat digaransi dalam jangka waktu lama bahwa, tiga cara tersebut sangat ampuh. Terbukti mumpuni.
Arah, kita mesti menentukan arah. Menyingkirkan ketakutan. Mereduksi kecemasan, kepanikan kalau tersesat dan berhadapan dengan halangan. Kau belum jua mencoba, kau tak pernah tahu apa yang kelak terjadi. Keberanian layaknya dipupuk, moga-moga tidak pupus. Berani mengambil pilihan, bernyali menantang konsekuensi, termasuk kegagalan. Proyeksi itu utama, paling prinsip yakni proses.
Dalam proses kita belajar. Tak peduli kesasar, tak usah ambil pusing jika bersua pada kemampetan. Terjang itu sekat. Terabas saja tak perlu canggung. Toh, kita dianugerahi akal buat berpikir, agar tidak gagap bila sewaktu-waktu ditemui ‘kebuntuan’. Tak perlu jeri gagal, karena sekali lagi proses jauh lebih subtansiil tinimbang hasil. Yang terpenting yaitu mempertahankan katalis. Berapapun nilainya, “Kau telah belajar, berikhtiar dan kau mencoba!”
Tempo bersela... Silam beralih kontemporer...
Sudah terang rupanya. Aku ucapkan selamat datang pagi ditanggal ganjil, diawal Juli. Sebuah kabar tiba-tiba saja mengejutkan. Namun gelagatnya, ini berita dikirim dengan maksud supaya yang mendengar tidak gamang. Sebab untuk kesekian kali, aku benar-benar kandas. Agaknya memang belum siap atau pantas buat terima itu tanggungjawab, berikut segala imbasnya. Menjaga impuls!
oo iki critane tangi turu to? hmmmm
BalasHapus