Pages

Senin, 28 Januari 2013

Caping Pemberian Nik


SORE ITU JANU melihat komputer di ruang dokumentasi di kantornya sedang tidak dipakai. Mumpung menganggur pikirnya, langsung saja Janu duduk manis di depan meja komputer. Ditekannya tombol power pada CPU. Komputer ON. Komputer yang telah tersambung internet itu menyala dan Janu berselancar di alam maya. Cek email di Yahoomail, ikuti garis waktu di Twitter, baca-baca berita di tempo.co dan terakhir yang jadi niat Janu sedari awal adalah masuk ke Yahoo Messenger.
Setelah  menyeruput kopi bikinannya, Janu mengetik Yahoo ID dan password. Tak-tik-tak-tik suara tuts keyboard terdengar berdetik. Janu memasukkan Yahoo ID: doktor belalang. Password: bla-bla-bla. Klik sign in dan, si bulat kuning –icon YM– yang tertidur pulas kini terbangun dan tertawa riang. Senyumnya lebar merekah. Barangkali dia baru saja mimpi bertemu artis idolanya.
Tidak perlu waktu lama untuk masuk ke beranda YM. Kelihatannya si bulat kuning memang sedang bahagia. Mungkin gara-gara mimpi indah itu ia berbaik hati tidak memperlambat proses loading Janu masuk ke ruang obrolan maya ini. Di dalam sana telah menanti bermacam-macam orang dengan identitas YM dan foto avatar yang beragam pula. Namun Janu tidak pernah dan tidak akan bisa mengalihkan pandangan matanya dari id YM bernama Nik dan foto profil Nik yang sedang berpose manis bersama kawan-kawannya. Alamak. Nama dan foto profilmu mengalihkan duniaku ujar Janu dalam hati.
Tak menunggu lama Janu langsung menyapa.
”Nik!”
”Ya mas...”
”Masih di kampus?” tanya Janu. Sebelumnya Nik memberi tahu jika Nik akan pergi ke kampus.
“Sudah tidak mas. Sudah di rumah,” sahut Nik.
Kantor sore itu masih ramai. Sebagian teman sekantor Janu masih asyik ngobrol ngalor-ngidul, main catur dan kartu remi sembari menghilangkan penat selepas seharian bekerja. Teriak-teriak. Ada yang mengaduh salah langkah. Ada yang mengejek yang kalah. Tertawa senang bila menang. Suasana sore itu ceria. Sementara Janu masih asyik berkorespondensi dengan Nik di ruang maya.
“Aku tadi mampir ke toko buku lho,” kata Nik menyambar.
“Oya? Cari buku apa Nik?”
“Lembaga Kepresidenan,” ujarnya.
“Hem…” Janu bergumam.
Nik memang sedang disibukkan dengan ujian akhir di kampusnya. Tiba-tiba ia menyambar lagi.
”Mas kamu sudah pernah baca Caping 6-nya Goenawan Mohamad belum?”
”Belum. Aku kalau baca Caping lewat internet Nik. Dari website goenawanmohamad.com. Kenapa deh?”
”Tidak apa-apa mas.”
”Hem...” bergumam lagi datar.
Lagi-lagi menyambar.
”Aku ada sesuatu buat kamu lho mas?” katanya. Janu membayangkan ekspresi Nik bila ia berkata di hadapannya langsung: lucu dan menggemaskan. Pengin cubit-cubit.
“Apa itu Nik?”
”Besok saja aku kasih tahu. Sekalian aku berikan ke kamu,” kata Nik.
”Apa?” tanya Janu mulai penasaran dan curiga.
”Besok saja pokoknya,” ujar Nik tetap tak memberitahu.
”Hemm... apa sih?”
Semakin sore. Di luar langit sudah mulai gelap. Janu pamitan sama Nik untuk pulang ke rumah.
”Nik, aku off dulu ya. Mau pulang. Assalamuallaikum,” kata Janu menutup percakapan via YM sore itu.
”Waallaikumsalam. Take care...
Janu keluar dari ruang maya, lalu mematikan komputer. Dia berjalan ke arah rak dan mengambil tasnya. Janu berjalan pulang dengan membawa sedikit rasa penasaran bercampur bumbu kecurigaan. Kira-kira apa yang akan diberikan Nik buat Janu besok. Ah, Nik mengajak bermain teka-teki.
***
Waktu menunjukkan pukul empat sore manakala Janu sibuk dengan Vespa kesayangannya. Dengan teliti Janu memeriksa mesin, tangki bensin dan oli samping. Cek lampu utama, lampu sein, klakson, rem, benarkan spion memastikan semuanya dalam kondisi baik dan layak jalan. Maklum motor tua, gampang mogok. Tidak lupa mengelap bagian-bagian yang dihinggapi debu, membilas dengan sedikit air biar kelihatan makin mengkilap. Vespa Super tahun 1970-an itu akan ia pakai untuk menjemput Nik. Ya, malam, jam 18.30 Janu punya janji dengan Nik akan nonton The Hobbit di gedung bioskop.
Memakai kaos putih dipadu dengan jaket hitam merk Dolce and Gabbana, celana jeans butut tambal sulam dan sandal jepit merah biru merk Indomaret, tepat pukul lima kurang lima belas menit, Janu berangkat menjemput Nik di rumahnya.
Sambil mendengarkan lagu I Will dari MP3-nya, Janu menyetir Vespa. Trontong-trontong-trontong… suara Vespa Janu menggelegar di jalanan. Tapi Janu tak ambil pusing dengan kebisingan Vespanya. Dengan suara rendah Janu mendendangkan lagu milik The Beatles itu sembari menggoyang-goyangkan kepala mengikuti irama. Hatinya sedang bersuka cita.
Love you forever and forever
Love you with all my heart
Love you whenever we're together
Love you when we're apart
Lima lebih sepuluh menit. Janu tiba di rumah Nik. Janu bertemu ibu Nik dan mendapati Nik sedang bersolek di kamar. Janu menunggu. Tidak terlalu lama.
Beberapa menit kemudian, dari balik pintu rumah, muncul sesosok makhluk yang berhasil membikin waktu berhenti berputar sejenak. Angin urung bertiup. Pohon berhenti bergoyang. Bunga-bunga memberikan aroma terwanginya. Burung-burung menstop tari-tariannya di udara. Mereka mencari tempat menclok paling nyaman untuk menyaksikan makhluk jelita itu. Dalam ketakziman, alam tertuju pada satu arah yang jadi pusat keelokan. Ia bak bidadari molek yang turun dari surga, yang tak perlu bersolek untuk jadi aduhai, yang jadi primadona bagi setiap pria yang meliriknya. Wajahnya sumringah. Senyumnya cerah merekah. Ibarat pertunjukan opera, sinar lampu selalu berpendar menyorot gadis istimewa ini. Tapi walau tidak ada sinar lampu di atas panggung opera itu, bahkan dalam kegelapan yang amat pekat sekalipun, ia tetap saja tampak berbinar-binar penuh pesona. Aduhai, alangkah cantiknya kau sore ini Nik begitu kata Janu dalam hati sambil melongo. Tidak bisa berkata-kata.
Sementara lagu Cantik milik Kahitna mengalun dari MP3 Janu, terdengar suara yang memecah keheningan dan membuyarkan fantasi Janu.
”Mas!”
“Eh.. iya... iya.. Nik,” kata Janu sambil gelagapan merapikan kabel headseatnya. Ternyata itu suara Nik.
”Sudah lama?”
”Baru saja kok. Sepuluh menit. Berangkat sekarang?”
“Ayo mas!”
”Kita solat magrib di masjid dekat gedung bioskop saja Nik. Ada masjid di sana.”
Usai berpamitan dengan ibu bapak Nik, mereka berangkat ke gedung bioskop yang jaraknya butuh waktu sekitar dua puluh menit perjalanan. Semburat lembayung senja mengiringi keberangkatan di sepanjang perjalanan. Tatkala Nik membonceng di belakang, Janu bergumam sendiri dalam hati seraya merasai angin senja dan menyaksikan lukisan alam berkanvaskan cakrawala. Janu masih belum mengerti apa kejutan yang akan diberikan padanya hari ini seperti yang Nik janjikan kemarin.
Lukisan alam yang amat indah. Ya, seperti kamu Nik, kata Janu.
***
Gedung bioskop masih sepi selagi Janu dan Nik tiba. Mereka berdua menuju lobi dan menunggu di sofa yang telah disediakan. Dari kejauhan tampak sejumlah orang mengantri tiket di depan loket. Sedangkan di sudut lain, ’warung’ yang menyediakan aneka jajanan di bioskop ini tampak sepi pengunjung. Walau ada, tapi tidak banyak orang mengantri beli camilan di bioskop ini. Mungkin hanya orang-orang tertentu saja, yang berdompet tebal, yang mau beli nyamikan di sini. Ya, bisa dimafhumi. Harga makanan kecil di sini tidak kecil. Perlu merogoh kocek besar. Mencekik. Herannya orang tak boleh bawa makanan-minuman dari luar atau boleh asal tidak ketahuan. Gila monopoli pengusaha kapitalistik.
Beberapa saat lagi waktu magrib datang. Nik ternyata sedang ‘berhalangan’ sehingga dia tidak bisa solat. Janu minta ijin pada Nik untuk ke masjid sekalian berbuka puasa. Jadi agak lama ujar Janu sambil melepaskan tas cangklongnya dan menitipkan pada Nik.
Sesudah solat Janu mampir sejenak ke warung burjo di dekat masjid untuk membatalkan puasa. Ini baru warung merakyat. Sembari mengemil gorengan tempe, Janu mengirim pesan singkat ke Nik: Nik, sudah dipanggil dan pintu teaternya sudah dibuka belum sama mbaknya? Nik membalas: belum kok mas.
Saat sedang menyeruput susu Indomilik, Janu terpikirkan sesuatu yang akan diberikan Nik padanya. Biarpun Janu kepikiran, namun dia sama sekali tidak berharap mendapatkan sesuatu pemberian dari Nik. Ini hanya soal rasa penasaran yang tak terbendung yang membuat Janu terbayang-bayang apa sesuatu itu.
Janu bergegas kembali ke gedung bioskop. Gadis spesial telah menanti.
“Hei Nik. Maaf menunggu lama.”
“Tidak apa-apa. Sudah sekalian buka mas?”
“Sudah. Belum dipanggil ya?”
“Belum mas.”
Beberapa menit kemudian panggilan yang ditunggu-tunggu itu terdengar.
Pintu teater empat telah dibuka.....
”Masuk sekarang Nik?” ajak Janu.
Janu dan Nik masuk sambil menyerahkan tiket kepada si mbak penunggu pintu. Layaknya barter, setelah si mbak penunggu pintu terima tiket, dia memberi Janu dan Nik kacamata 3D. Identitas kursi mereka A4 dan A5. Kali ini Janu dan Nik duduk di seat paling atas. Sebentar bergurau seraya menunggu The Hobbit diputar. Setelah memutar satu-dua-tiga thriller film dan advertensi, pertunjukan pun dimulai.
***
Film itu selesai sekitar pukul setengah sepuluh. Kurang lebih tiga jam durasi The Hobbit. Tatkala penonton lain sudah bersicepat meninggalkan kursinya, Janu dan Nik masih belum mau terburu-terburu dari tempat duduknya.
”Nanti dulu Nik. Siapa tahu ada selipan-selipan adegan di bagian akhir ini.”
”Oya mas. Betul-betul-betul..”
Janu baru tahu jika The Hobbit adalah serial pendahulu sebelum trilogi The Lord Of The Ring. Makanya ada beberapa adegan yang menampilkan tokoh The Lord Of The Ring yang berkorelasi dengan film besutan sutradara Peter Jackson itu. Janu memang belum menonton The Lord Of The Ring. Namun beruntung ada Nik di samping Janu yang dengan sabar bisa memahamkan bagian-bagian yang lucut dari pengetahuan Janu.
Kursi sudah banyak yang kosong. Janu dan Nik pun beranjak dan lekas menuju parkiran motor. Mereka pulang. Janu mengantar Nik terlebih dahulu ke rumah.
Janu agak sedikit lupa dengan rasa penasaran atas sesuatu yang hendak diberikan oleh Nik. Ini karena saking asyiknya Janu bercakap-cakap dengan Nik tentang The Hobbit dan tentang banyak hal. Nik adalah gadis spesial yang menyenangkan. Akan selalu nyaman bila terus di dekatnya.
Setibanya di rumah Nik, Janu berpamitan dengan orang tua Nik. Namun sekonyong-konyong Nik meminta Janu menyerahkan tasnya pada Nik.
”Mas, pinjam tasnya!” pinta Nik.
“Buat apa Nik?”
“Sudah pinjam dulu” katanya
Akhirnya Janu memberikan tas itu pada Nik. Nik menyuruh Janu untuk berbalik arah atau memejamkan matanya dan Nik pun memasukkan sesuatu ke dalam tas Janu.
”Apa itu Nik?”
Kalau Nik tidak berbuat demikian, usai berpamitan dengan orang tua Nik, Janu akan segera pulang, lupa pada rasa penasarannya dan baru ingat kembali setibanya di rumah.
”Ada mas. Kamu tidak boleh lihat sekarang. Kamu harus lihat nanti kalau sudah sampai rumah.”
”Apa sih?” kata Janu penasaran.
”Nanti di rumah saja.”
”Baiklah!”
Diliputi rasa penasaran yang tinggi Janu lantas berpamitan dengan Nik.
”Pulang dulu Nik. Terimakasih untuk malam ini. Assalamuallaikum.”
”Wallaikumsalam. Hati-hati mas...”
Janu menggeber Vespa 70-an di tengah dingin dan senyapnya malam.
***
Sesampainya di rumah, waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas. Sehabis menaruh motor dan mengunci garasi Janu cepat-cepat menuju kamar. Janu sudah cukup menolerir rasa penasarannya satu hari ini, maka tanpa ganti baju terlebih dahulu, masih dalam keadaan awut-awutan Janu membuka tas dan memeriksa isinya. Dan Janu mendapatakan, Caping dari Nik. Ya, buku Catatan Pinggir edisi 6 karya Goenawan Mohammad seperti yang Nik katakan pada percakapan via YM tempo hari. Janu tersentuh. Entah Nik tahu dari mana, tapi Goenawan Mohamad adalah tokoh yang sudah sejak lama menjadi inspirasi Janu. Ia idola Janu dalam dunia penulisan.
Sebentar kemudian Janu mengirim pesan singkat kepada Nik: Nik, terima kasih sekali atas pemberian Caping-nya. Nik membalas: sama-sama mas. Ada pesannya lho di dalam.
Janu sudah tahu pesan yang dimaksud Nik itu, yang ditulis di atas kertas kecil berwarna biru muda, berpola baju, di halaman pertama. Dan ini yang membikin Janu makin trenyuh sesudah membacanya.
Terima kasih sekali lagi Nik. Mengesankan.

2 komentar:

  1. Aigh...!!! Aku bisa merasakan rasa bahagia dan fall in love-mu, Yog. Tulisan yang ringan dicerna, apik dan mempesona.

    BalasHapus
  2. Bagus banget mas yog, ceritanya ringan tapi enak dibaca ga bikin bosen. Ini pengalaman mas yog sendiri ya? Ciee

    BalasHapus