SORE ITU JANU
melihat komputer di ruang dokumentasi di kan tornya
sedang tidak dipakai. Mumpung menganggur pikirnya, langsung saja Janu duduk
manis di depan meja komputer. Ditekannya tombol power pada CPU. Komputer
ON . Komputer yang telah
tersambung internet itu menyala dan Janu berselancar di alam maya. Cek email di
Yahoomail, ikuti garis waktu di Twitter, baca-baca berita di tempo.co dan terakhir yang jadi niat Janu
sedari awal adalah masuk ke Yahoo Messenger.
Setelah menyeruput kopi
bikinannya, Janu mengetik Yahoo ID dan password. Tak-tik-tak-tik suara tuts keyboard terdengar berdetik.
Janu memasukkan Yahoo ID: doktor belalang. Password: bla-bla-bla. Klik sign in dan, si bulat kuning –icon YM–
yang tertidur pulas kini terbangun dan tertawa riang. Senyumnya lebar merekah. Barangkali
dia baru saja mimpi bertemu artis idolanya.
Tidak perlu waktu
lama untuk masuk ke beranda YM. Kelihatannya si bulat kuning memang sedang
bahagia. Mungkin gara-gara mimpi indah itu ia berbaik hati tidak memperlambat
proses loading Janu masuk ke ruang obrolan
maya ini. Di dalam sana telah
menanti bermacam-macam orang dengan identitas YM dan foto avatar yang beragam
pula. Namun Janu tidak pernah dan tidak akan bisa mengalihkan pandangan matanya
dari id YM bernama Nik dan foto
profil Nik yang sedang berpose manis bersama kawan-kawannya. Alamak. Nama dan foto profilmu mengalihkan
duniaku ujar Janu dalam hati.
Tak menunggu
lama Janu langsung menyapa.
”Nik!”
”Ya mas...”
”Masih di
kampus?” tanya Janu. Sebelumnya Nik memberi tahu jika Nik akan pergi ke kampus.
“Sudah tidak
mas. Sudah di rumah,” sahut Nik.
Kantor sore
itu masih ramai. Sebagian teman sekantor Janu masih asyik ngobrol ngalor-ngidul, main catur dan kartu remi
sembari menghilangkan penat selepas seharian bekerja. Teriak-teriak. Ada yang
mengaduh salah langkah. Ada yang mengejek yang kalah. Tertawa senang bila
menang. Suasana sore itu ceria. Sementara Janu masih asyik berkorespondensi dengan
Nik di ruang maya.
“Aku tadi
mampir ke toko buku lho,” kata Nik
menyambar.
“Oya? Cari
buku apa Nik?”
“Lembaga
Kepresidenan,” ujarnya.
“Hem…” Janu
bergumam.
Nik memang sedang
disibukkan dengan ujian akhir di kampusnya. Tiba-tiba ia menyambar lagi.
”Mas kamu sudah
pernah baca Caping 6-nya Goenawan
Mohamad belum?”
”Belum. Aku kalau
baca Caping lewat internet Nik. Dari website goenawanmohamad.com. Kenapa deh?”
”Tidak
apa-apa mas.”
”Hem...”
bergumam lagi datar.
Lagi-lagi
menyambar.
”Aku ada
sesuatu buat kamu lho mas?” katanya. Janu
membayangkan ekspresi Nik bila ia berkata di hadapannya langsung: lucu dan
menggemaskan. Pengin cubit-cubit.
“Apa itu Nik?”
”Besok saja aku
kasih tahu. Sekalian aku
berikan ke kamu,” kata Nik.
”Apa?” tanya
Janu mulai penasaran dan curiga.
”Besok saja
pokoknya,” ujar Nik tetap tak memberitahu.
”Hemm... apa sih?”
Semakin sore. Di
luar langit sudah mulai gelap. Janu pamitan sama Nik untuk pulang ke rumah.
”Nik, aku off dulu
ya. Mau pulang. Assalamuallaikum,”
kata Janu menutup percakapan via YM sore itu.
”Waallaikumsalam. Take care...”
Janu keluar dari
ruang maya, lalu mematikan komputer. Dia berjalan ke arah rak dan mengambil tasnya.
Janu berjalan pulang dengan membawa sedikit rasa penasaran bercampur bumbu
kecurigaan. Kira-kira apa yang akan diberikan Nik buat Janu besok. Ah,
Nik mengajak bermain teka-teki.
***
Waktu menunjukkan pukul empat sore manakala Janu sibuk dengan
Vespa kesayangannya. Dengan teliti Janu memeriksa mesin, tangki bensin dan oli
samping. Cek lampu utama, lampu sein, klakson, rem, benarkan spion memastikan semuanya dalam kondisi baik dan layak jalan. Maklum motor
tua, gampang mogok. Tidak lupa mengelap bagian-bagian yang dihinggapi debu,
membilas dengan sedikit air biar kelihatan makin mengkilap. Vespa Super tahun
1970-an itu akan ia pakai untuk menjemput Nik. Ya, malam, jam 18.30 Janu punya
janji dengan Nik akan nonton The
Hobbit di gedung bioskop.
Memakai kaos putih dipadu
dengan jaket hitam merk Dolce and Gabbana,
celana jeans butut tambal sulam dan sandal jepit merah biru merk Indomaret,
tepat pukul lima kurang lima belas menit, Janu berangkat menjemput Nik di
rumahnya.
Sambil mendengarkan
lagu I Will dari MP3-nya, Janu
menyetir Vespa. Trontong-trontong-trontong… suara Vespa Janu menggelegar di
jalanan. Tapi Janu tak ambil pusing dengan kebisingan Vespanya. Dengan suara
rendah Janu mendendangkan lagu milik The Beatles itu sembari
menggoyang-goyangkan kepala mengikuti irama. Hatinya sedang bersuka cita.
Love you forever and
forever
Love you with all my
heart
Love you whenever we're
together
Love you when we're
apart
Beberapa menit
kemudian, dari balik pintu rumah, muncul sesosok makhluk yang berhasil membikin
waktu berhenti berputar sejenak. Angin urung bertiup. Pohon berhenti bergoyang.
Bunga-bunga memberikan aroma terwanginya. Burung-burung menstop tari-tariannya
di udara. Mereka mencari tempat menclok paling nyaman untuk menyaksikan makhluk
jelita itu. Dalam ketakziman, alam tertuju pada satu arah yang jadi pusat
keelokan. Ia bak bidadari molek yang turun dari surga, yang tak perlu bersolek untuk
jadi aduhai, yang jadi primadona bagi setiap pria yang meliriknya. Wajahnya
sumringah. Senyumnya cerah merekah. Ibarat pertunjukan opera, sinar lampu selalu
berpendar menyorot gadis istimewa ini. Tapi walau tidak ada sinar lampu di atas
panggung opera itu, bahkan dalam kegelapan yang amat pekat sekalipun, ia tetap
saja tampak berbinar-binar penuh pesona. Aduhai,
alangkah cantiknya kau sore ini Nik begitu kata Janu dalam hati sambil melongo.
Tidak bisa berkata-kata.
Sementara lagu Cantik milik Kahitna mengalun dari MP3
Janu, terdengar suara yang memecah keheningan dan membuyarkan fantasi Janu.
”Mas!”
“Eh.. iya...
iya.. Nik,” kata Janu sambil gelagapan merapikan kabel headseatnya. Ternyata itu suara Nik.
”Sudah lama?”
”Baru saja kok. Sepuluh menit. Berangkat sekarang?”
“Ayo mas!”
”Kita solat magrib
di masjid dekat gedung bioskop saja Nik. Ada masjid di sana.”
Usai berpamitan dengan
ibu bapak Nik, mereka berangkat ke gedung bioskop yang jaraknya butuh waktu sekitar
dua puluh menit perjalanan. Semburat lembayung senja mengiringi keberangkatan di
sepanjang perjalanan. Tatkala Nik membonceng di belakang, Janu bergumam sendiri
dalam hati seraya merasai angin senja dan menyaksikan lukisan alam berkanvaskan
cakrawala. Janu masih belum mengerti apa kejutan yang akan diberikan padanya
hari ini seperti yang Nik janjikan kemarin.
Lukisan alam yang amat indah. Ya, seperti kamu
Nik, kata Janu.
***
Gedung bioskop
masih sepi selagi Janu dan Nik tiba. Mereka berdua menuju lobi dan menunggu di sofa
yang telah disediakan. Dari kejauhan tampak sejumlah orang mengantri tiket di
depan loket. Sedangkan di sudut lain, ’warung’ yang menyediakan aneka jajanan
di bioskop ini tampak sepi pengunjung. Walau ada, tapi tidak banyak orang
mengantri beli camilan di bioskop ini. Mungkin hanya orang-orang tertentu saja,
yang berdompet tebal, yang mau beli nyamikan di sini. Ya, bisa dimafhumi. Harga
makanan kecil di sini tidak kecil. Perlu merogoh kocek besar. Mencekik. Herannya orang tak boleh bawa
makanan-minuman dari luar atau boleh asal tidak ketahuan. Gila monopoli
pengusaha kapitalistik.
Beberapa saat
lagi waktu magrib datang. Nik
ternyata sedang ‘berhalangan’ sehingga dia tidak bisa solat. Janu minta ijin pada Nik untuk ke
masjid sekalian berbuka puasa. Jadi agak
lama ujar Janu sambil melepaskan tas cangklongnya dan menitipkan pada Nik.
Sesudah solat
Janu mampir sejenak ke warung burjo di dekat masjid untuk membatalkan puasa. Ini
baru warung merakyat. Sembari mengemil gorengan tempe, Janu mengirim pesan
singkat ke Nik: Nik, sudah dipanggil dan
pintu teaternya sudah dibuka belum sama mbaknya? Nik membalas: belum kok mas.
Saat sedang
menyeruput susu Indomilik, Janu terpikirkan sesuatu yang akan diberikan Nik
padanya. Biarpun Janu kepikiran, namun dia sama sekali tidak berharap mendapatkan
sesuatu pemberian dari Nik. Ini hanya soal rasa penasaran yang tak terbendung yang
membuat Janu terbayang-bayang apa sesuatu itu.
Janu bergegas
kembali ke gedung bioskop. Gadis spesial telah menanti.
“Hei Nik.
Maaf menunggu lama.”
“Tidak
apa-apa. Sudah sekalian buka mas?”
“Sudah. Belum
dipanggil ya?”
“Belum mas.”
Beberapa
menit kemudian panggilan yang ditunggu-tunggu itu terdengar.
Pintu teater empat telah dibuka.....
”Masuk sekarang
Nik?” ajak Janu.
Janu dan Nik masuk
sambil menyerahkan tiket kepada si mbak penunggu pintu. Layaknya barter,
setelah si mbak penunggu pintu terima tiket, dia memberi Janu dan Nik kacamata
3D. Identitas kursi mereka A4 dan A5. Kali ini Janu dan Nik duduk di seat paling atas. Sebentar bergurau
seraya menunggu The Hobbit diputar. Setelah memutar satu-dua-tiga thriller film dan advertensi, pertunjukan
pun dimulai.
***
Film itu selesai
sekitar pukul setengah sepuluh. Kurang lebih tiga jam durasi The Hobbit. Tatkala
penonton lain sudah bersicepat meninggalkan kursinya, Janu dan Nik masih belum
mau terburu-terburu dari tempat duduknya.
”Nanti dulu Nik.
Siapa tahu ada selipan-selipan adegan di bagian akhir ini.”
”Oya mas.
Betul-betul-betul..”
Janu baru tahu jika The Hobbit adalah serial pendahulu sebelum
trilogi The Lord Of The Ring. Makanya ada beberapa adegan yang menampilkan
tokoh The Lord Of The Ring yang berkorelasi dengan film besutan sutradara Peter
Jackson itu. Janu memang belum
menonton The Lord Of The Ring. Namun beruntung ada Nik di samping Janu yang dengan sabar bisa memahamkan
bagian-bagian yang lucut dari pengetahuan Janu.
Kursi sudah banyak
yang kosong. Janu dan Nik pun beranjak dan lekas menuju parkiran motor. Mereka
pulang. Janu mengantar Nik terlebih dahulu ke rumah.
Janu agak sedikit
lupa dengan rasa penasaran atas sesuatu yang hendak diberikan oleh Nik. Ini karena
saking asyiknya Janu bercakap-cakap dengan Nik tentang The Hobbit dan tentang
banyak hal. Nik adalah gadis spesial yang menyenangkan. Akan selalu nyaman bila
terus di dekatnya.
Setibanya di rumah
Nik, Janu berpamitan dengan orang tua Nik. Namun sekonyong-konyong Nik meminta
Janu menyerahkan tasnya pada Nik.
”Mas, pinjam
tasnya!” pinta Nik.
“Buat apa
Nik?”
“Sudah pinjam
dulu” katanya
Akhirnya Janu
memberikan tas itu pada Nik. Nik menyuruh Janu untuk berbalik arah atau
memejamkan matanya dan Nik pun memasukkan sesuatu ke dalam tas Janu.
”Apa itu Nik?”
Kalau Nik tidak
berbuat demikian, usai berpamitan dengan orang tua Nik, Janu akan segera pulang,
lupa pada rasa penasarannya dan baru ingat kembali setibanya di rumah.
”Ada mas. Kamu
tidak boleh lihat sekarang. Kamu harus lihat nanti kalau sudah sampai rumah.”
”Apa sih?” kata Janu penasaran.
”Nanti di rumah
saja.”
”Baiklah!”
Diliputi rasa
penasaran yang tinggi Janu lantas berpamitan dengan Nik.
”Pulang dulu Nik. Terimakasih untuk malam ini. Assalamuallaikum.”
”Wallaikumsalam.
Hati-hati mas...”
Janu menggeber
Vespa 70-an di tengah dingin dan senyapnya malam.
***
Sesampainya di
rumah, waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas. Sehabis menaruh motor
dan mengunci garasi Janu cepat-cepat menuju kamar. Janu sudah cukup menolerir
rasa penasarannya satu hari ini, maka tanpa ganti baju terlebih dahulu, masih
dalam keadaan awut-awutan Janu membuka tas dan memeriksa isinya. Dan Janu
mendapatakan, Caping dari Nik. Ya, buku Catatan Pinggir edisi 6 karya Goenawan
Mohammad seperti yang Nik katakan pada percakapan via YM tempo hari. Janu tersentuh.
Entah Nik tahu dari mana, tapi Goenawan Mohamad adalah tokoh yang sudah sejak
lama menjadi inspirasi Janu. Ia idola Janu dalam dunia penulisan.
Sebentar kemudian
Janu mengirim pesan singkat kepada Nik: Nik,
terima kasih sekali atas pemberian Caping-nya. Nik membalas: sama-sama mas. Ada pesannya lho di dalam.
Janu sudah tahu pesan yang
dimaksud Nik itu, yang ditulis di atas kertas kecil berwarna biru muda, berpola
baju, di halaman pertama. Dan ini yang membikin Janu makin trenyuh sesudah
membacanya.
Terima kasih sekali
lagi Nik. Mengesankan.
Aigh...!!! Aku bisa merasakan rasa bahagia dan fall in love-mu, Yog. Tulisan yang ringan dicerna, apik dan mempesona.
BalasHapusBagus banget mas yog, ceritanya ringan tapi enak dibaca ga bikin bosen. Ini pengalaman mas yog sendiri ya? Ciee
BalasHapus