JARUM JAM DI DINDING telah menunjukan pukul satu pagi. Senin dini
hari. Janu belum tidur. Ia masih menonton Alvin and the chipmunks di depan layar
laptopnya. Namun tampaknya film itu
belum membuat kejenuhan Janu malam itu hilang. Maka dia putuskan memutar satu
film lagi. Dibukanya folder berlabel film,
digerakkan cursor mouse naik-turun
mengikuti kehendaknya, menelusur satu-per-satu deretan berkas yang tertata rapi
dengan cover film berwarna-warni dan klik, Janu pilih satu judul: The Adventures of Tintin.
Bagi Janu, Tintin
adalah film yang sudah lama ingin ia tonton sejak dirilis dan tayang di bioskop Indonesia 2011 yang lalu. Meski film sudah diputar di gedung pertunjukan tapi Janu sama
sekali tak sempat mendatanginya ketika itu. Ya, konon kesibukan jadi faktor
utama. Namun Janu dapat berlega hati karena, beberapa bulan silam dia telah dapatkan
file film yang disutradarai Steven Spielberg itu dari seorang kawannya. Riang
bukan kepalang.
Film yang telah
’mendekam’ lama di dalam ’kurungan’ laptop Janu itu, akhirnya ’menghirup udara
bebas’ kemarin malam saat Janu menontonnya dalam durasi kurang lebih satu
setengah jam.
***
Pada Senin malam, aku
bertemu Janu di Shause Coffe. Ditemani satu cangkir Espresso Coffe pesananku dan Cappucinno
Coffe hangat pesanan Janu, serta satu piring french fries plus pasangan setianya: saos tomat merk Del Monte,
Janu cerita panjang lebar soal film yang
telah ditontonnya semalam itu.
”Alur cerita dari
awal hingga akhir bisa dikata apik,” ujar Janu membuka pembicaraan.
”Bagian mana yang
menurutmu paling mengesankan Jan?” aku bertanya.
”Adegan
kejar-kejaran di Pelabuhan Bagghar untuk memperebutkan manuskrip berisi
petunjuk letak harta karun tinggalan Sir Francis antara Tintin, Haddock dengan
Sakharine si tokoh antagonis, jadi fragmen yang cukup seru,” kata Janu serius
dan aku mengikuti ceritanya sambil menyeruput Espresso Coffe.
”Tapi tidak
berhenti di situ. Aku melihat
segmen itu sebagai proses. Kesimpulannya memang akan kita ketahui di akhir
film. Tapi karena Tintin dan Haddock adalah sosok protagonis yang jadi lakon
utama, maka sesungguhnya sudah dapat ditebak ujung dari konflik tersebut,” kata
Janu bak kritikus film Festival De Cannes.
Sementara ia cerita, kentang goreng yang telah berevolusi nama menjadi french fries pesanan kami datang. Oya, menurut lembaga survei ’tipu-tipu’, kalau menu makanan atau minuman tertulis dalam Bahasa Inggris, kau mesti siap uang ekstra karena biasanya harganya bisa jadi lebih mahal dua-tiga kali lipat.
Sementara ia cerita, kentang goreng yang telah berevolusi nama menjadi french fries pesanan kami datang. Oya, menurut lembaga survei ’tipu-tipu’, kalau menu makanan atau minuman tertulis dalam Bahasa Inggris, kau mesti siap uang ekstra karena biasanya harganya bisa jadi lebih mahal dua-tiga kali lipat.
Sambil ngemil kentang goreng Janu meneruskan
dongengnya tentang Tintin.
”Yang bikin
terperanjat ialah, setelah proses berkejaran yang melelahkan itu, Tintin justru
menyerah. Ini tampak saat Tintin berdialog dengan Kapten Haddock di dermaga
pantai. Aku sama sekali tak menyangka,” sambungnya.
”Ya...ya...ya...
aku ingat. Itu babak yang filosofis. Pertentangan antara optimisme dan
pesimisme. Antara Haddock yang idealis dan Tintin yang realistis,” kataku
menanggapi Janu.
Kebetulan aku memang sudah menonton Tintin sejak pertama ia nongol di bioskop jadi aku bisa mengikuti topik obrolan yang diajukan Janu.
Kebetulan aku memang sudah menonton Tintin sejak pertama ia nongol di bioskop jadi aku bisa mengikuti topik obrolan yang diajukan Janu.
”Pesimisme dan
realistis. Keduanya hanya dipisah garis tipis. Tapi ia dua hal yang berbeda,”
ujar Janu.
Malam itu
cuaca terasa adem. Pada saat My Way
kepunyaaan Frank Sinatra dibawakan sangat apik dalam balutan swing oleh
seorang pianis muda bernama Oktober, dari luar hujan terdengar rintik-rintik
membasahi bangunan dengan desain interior dan eksterior tempo dulu itu. Hujan dan
Oktober seakan sedang mengadakan pagelaran musik tunggal di atas panggung
vintage 1940-an. Hujan berlagu mengikuti ritme piano yang dimainkan Oktober. Begitu
dalam dan penuh penghayatan. Ah, alam sedang menghipnotis umatnya. Pertunjukan
yang spektakuler. Sementara kami masih asyik terlibat percakapan tentang
Tintin.
“Ya, sama
denganmu Jan. Aku cukup terkejut ketika Tintin justru memilih untuk bersikap
seperti itu. Merelakan perkamen yang berisi petunjuk harta karun Sir Francis
diambil Sakarhine. Terlebih ia telah menjustifikasi bahwa: kita gagal,” sambungku
pada Janu.
“Maksudmu: bisa di mana saja di dunia ini. Kita
tak akan lagi melihatnya. Sudah berakhir. Kita gagal,” Janu menirukan perkataan Tintin.
”Betul. Apalagi
sedari awal cerita, aku melihat Tintin sebagai tokoh yang ambisius. Ingin tahu
segala hal tentang kapal Unicorn. Sedetail-detailnya,” kataku sambil mengunyah
kentang goreng lalu menyeruput Espresso Coffe.
”Untuk keinginannya
itu dia bergerak menyelediki. Dari situ
terbaca bahwa Tintin hendak menyelesaikan penyelidikannya itu hingga tuntas. Ambisinya
amat menyala,”aku melanjutkan.
Janu menaruh
kakinya ke atas kursi, mendudukkan lengannya di lutut, tampak tangannya hendak
merogoh pegangan cangkir Cappucinno Coffe
yang asap hangatnya masih kelihatan mengepul. Mengangkat, mengarahkannya ke
mulut lalu, ”sruputtt... ah sedap!”
”Bahkan
Haddock pun seakan tak percaya jika Tintin menyerah. Kau ingat ucapan Haddock yang
cukup keras pada Tintin: aku kira kau
orang yang optimis!,” kata Janu dengan mimik muka serius.
Kemudian
tiba-tiba Janu tertawa kecut.
“Ha...ha...ha...
Haddock sampai mengata-ngatai Tintin: ada
banyak orang akan memanggilmu si gagal. Bodoh, pecundang, pemabuk putus asa.
Tapi jangan sampai kau mengatakan itu pada dirimu,” ujar Janu menirukan
Haddock.
”Kalimat yang diutarakan
Tintin itu seolah jadi pertanda Tintin hendak bertekuk lutut. Dengan maksud lain,
usahanya merebut perkamen sudah kandas. Kalah!”
kataku menanggapi Janu.
”Tapi bukan berarti
harus menyatakan gagalkan? Seharusnya dia tidak semudah itu patah arang.
Keyakinan akan menang dan berhasil mesti terus disemaikan. Alangkah naifnya
bila pilih menyerah dan kalah di saat usaha yang dikerjakan sudah
berdarah-darah,” kata Janu yang tampak berkiblat pada Haddock.
”Jika kau peduli akan sesuatu, maka
perjuangkanlah. Kau terobos dinding, kau dobrak untuk melewatinya,”
lagi-lagi Janu meniru kalimat Haddock. Makin menambah keyakinanku jika dia
memang pengikut mazhab Haddockisme.
Sambil membenarkan
posisi duduk yang mulai tak nyaman aku menanggapi pernyataan Janu.
”Tapi begini Jan, aku kemudian berpikir, persoalannya bukan cuma kalah atau menang Jan,” kataku dengan nada sok
bijak.
”Aku pengin cerita
sesuatu sama kau, tentang pengalamanku tadi siang,” serius.
”Seorang ibu
pedagang pasar ––yang pasarnya sedang direhabilitasi oleh pemerintah desa tapi
menimbulkan masalah–– cerita padaku tentang perjuangannya bersama kolega-koleganya
untuk menyelesaikan persoalan yang sudah bertahun-tahun tidak kunjung rampung,”
ujarku.
”Awalnya komunitas
yang dipimpin oleh si ibu itu mengambil langkah A demi mengejar sesuatu target.
Tapi gagal. Mencoba lagi dengan langkah lain, dari B sampai Z tapi tidak untuk
langkah K. Mereka berpengharapan besar langkah-langkah selain K dapat
menyelesaikan persoalan. Segala usaha untuk mencapai target dilakukan dengan
tekun. Jatuh bangun bertahun-tahun. Bahkan sampai berdarah-darah,” ceritaku.
”Lalu, apa
hubungannya dengan si Tintin tadi?” Janu bertanya.
”Singkat cerita,
usaha yang menahun demi sesuatu target itu tak terpenuhi. Oleh karenanya, si
ibu pedagang bermanuver dengan menerima langkah K yang selama ini memang
ditentang karena diprediksi akan merugikan pedagang. Kemudian pada suatu hari
si ibu ditanyai oleh salah satu anggota kelompoknya tentang kebijakan yang dimaksud
untuk mengakhiri sengketa itu, apa dengan
mengambil langkah K berarti kita kalah?”
Aku meneruskan.
”Tidak. Kata si ibu. Ini
keputusan berat yang paling masuk akal. Tapi kita tidak kalah. Justru kita mendapat nilai baik setinggi-tingginya
dalam proses yang telah dilalui. Kita tidak kalah!” begitu ujar si ibu penuh keyakinan.
”Nah, kau tahu Jan,
Tintin dan si ibu sama sekali tidak pengin kalah. Sebagaimana Tintin, ibu itu
hanya hendak bersikap realistis setelah upaya dari A-Z --kecuali K-- dipakai namun
tidak membuahkan hasil positif. Apabila kita pakai patokan target memang si ibu
kalah dan tak capai target. Tapi si ibu, dan tentu si Tintin, sudah berupaya. Dalam
tataran proses itu bukan kekalahan, bukan bentuk keputusasaan. Ada banyak
hikmah dibalik proses. Dan hikmah adalah hasil perjuangan yang tak terhingga
nilainya. Makanya ini bukan sekedar urusan menang atau kalah, tapi soal pencapaian
dari sebuah perjuangan, bukan apa
hasil akhir perjuangan, namun bagaimana
cara kamu berjuang,” pendapatku.
”Hemm... perjuangan
butuh pertaruhan bung! Selalu ada konsekuensi dibaliknya. Kali ini aku sepakat
denganmu. Kalah-menang, berhasil maupun gagal bukan semata-mata hasil akhir,
tapi yang terpenting adalah kemauan, keikhlasan dan apa yang telah didapatkan
dari proses itu yang juga mesti disyukuri sekalipun target tak terpenuhi,” kata
Janu.
”Bukan berarti kita
melupakan optimisme ala Haddock lho... keyakinan dan kepercayaan akan
keberhasilan perjuangan harus terus dipupuk dalam kehidupan,” ujarku
Pukul 23.00. Kami
jadi pengunjung terakhir. Bangku-bangku Shause Coffe telah kosong ditinggal
pelanggannya. Bangunan nan megah tinggalan Belanda itu senyap. Hanya ada
deretan pigura-pigura berisi foto klasik yang menyeret pikiran untuk bernostalgia
ke masa lalu. Terlihat pelayan dari belakang meja bar memberesi peralatan
dagang. Dari arah dapur terdengar gemericik air, suara ting-tang gelas dan
piring yang sedang dicuci. Sebagian mengangkuti kursi ke atas meja. Glodak-glodek. Dari balik meja kasir si
pemilik kafe tampak khusyuk menghitung pemasukan hari itu. Piring yang tadi
berisi kentang goreng kini mlompong. Oktober
dan hujan juga telah menghentikan konser tunggalnya. Jendela dan pintu ditutup
satu-per-satu.
Setelah seruputan
terakhir Espresso Coffe, aku dan Janu
pulang sembari mampir ke meja kasir untuk membayar. Di jalan, di tengah aku
sedang menyetir Vespa Super 1970-an, Janu yang duduk membonceng di belakang bergumam.
”Keyakinan,
kepercayaan dan keikhlasan dalam perjuangan. Aku belajar banyak malam ini.
Terimakasih alam, ” kata Janu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar