Pages

Senin, 14 Januari 2013

Tintin Dan Seorang Ibu Pedagang Pasar


JARUM JAM DI DINDING telah menunjukan pukul satu pagi. Senin dini hari. Janu belum tidur. Ia masih menonton Alvin and the chipmunks di depan layar laptopnya. Namun tampaknya film itu belum membuat kejenuhan Janu malam itu hilang. Maka dia putuskan memutar satu film lagi. Dibukanya folder berlabel film, digerakkan cursor mouse naik-turun mengikuti kehendaknya, menelusur satu-per-satu deretan berkas yang tertata rapi dengan cover film berwarna-warni dan klik, Janu pilih satu judul: The Adventures of Tintin.
Bagi Janu, Tintin adalah film yang sudah lama ingin ia tonton sejak dirilis dan tayang di bioskop Indonesia 2011 yang lalu. Meski film sudah diputar di gedung pertunjukan tapi Janu sama sekali tak sempat mendatanginya ketika itu. Ya, konon kesibukan jadi faktor utama. Namun Janu dapat berlega hati karena, beberapa bulan silam dia telah dapatkan file film yang disutradarai Steven Spielberg itu dari seorang kawannya. Riang bukan kepalang.
Film yang telah ’mendekam’ lama di dalam ’kurungan’ laptop Janu itu, akhirnya ’menghirup udara bebas’ kemarin malam saat Janu menontonnya dalam durasi kurang lebih satu setengah jam.
***

Pada Senin malam, aku bertemu Janu di Shause Coffe. Ditemani satu cangkir Espresso Coffe pesananku dan Cappucinno Coffe hangat pesanan Janu, serta satu piring french fries plus pasangan setianya: saos tomat merk Del Monte, Janu cerita  panjang lebar soal film yang telah ditontonnya semalam itu.
”Alur cerita dari awal hingga akhir bisa dikata apik,” ujar Janu membuka pembicaraan.
”Bagian mana yang menurutmu paling mengesankan Jan?” aku bertanya.
”Adegan kejar-kejaran di Pelabuhan Bagghar untuk memperebutkan manuskrip berisi petunjuk letak harta karun tinggalan Sir Francis antara Tintin, Haddock dengan Sakharine si tokoh antagonis, jadi fragmen yang cukup seru,” kata Janu serius dan aku mengikuti ceritanya sambil menyeruput Espresso Coffe.
”Tapi tidak berhenti di situ. Aku melihat segmen itu sebagai proses. Kesimpulannya memang akan kita ketahui di akhir film. Tapi karena Tintin dan Haddock adalah sosok protagonis yang jadi lakon utama, maka sesungguhnya sudah dapat ditebak ujung dari konflik tersebut,” kata Janu bak kritikus film Festival De Cannes. 

Sementara ia cerita, kentang goreng yang telah berevolusi nama menjadi french fries pesanan kami datang. Oya, menurut lembaga survei ’tipu-tipu’, kalau menu makanan atau minuman tertulis dalam Bahasa Inggris, kau mesti siap uang ekstra karena biasanya harganya bisa jadi lebih mahal dua-tiga kali lipat.
Sambil ngemil kentang goreng Janu meneruskan dongengnya tentang Tintin.
”Yang bikin terperanjat ialah, setelah proses berkejaran yang melelahkan itu, Tintin justru menyerah. Ini tampak saat Tintin berdialog dengan Kapten Haddock di dermaga pantai. Aku sama sekali tak menyangka,” sambungnya.
”Ya...ya...ya... aku ingat. Itu babak yang filosofis. Pertentangan antara optimisme dan pesimisme. Antara Haddock yang idealis dan Tintin yang realistis,” kataku menanggapi Janu. 

Kebetulan aku memang sudah menonton Tintin sejak pertama ia nongol di bioskop jadi aku bisa mengikuti topik obrolan yang diajukan Janu.
”Pesimisme dan realistis. Keduanya hanya dipisah garis tipis. Tapi ia dua hal yang berbeda,” ujar Janu.
Malam itu cuaca terasa adem. Pada saat My Way kepunyaaan Frank Sinatra dibawakan sangat apik dalam balutan swing oleh seorang pianis muda bernama Oktober, dari luar hujan terdengar rintik-rintik membasahi bangunan dengan desain interior dan eksterior tempo dulu itu. Hujan dan Oktober seakan sedang mengadakan pagelaran musik tunggal di atas panggung vintage 1940-an. Hujan berlagu mengikuti ritme piano yang dimainkan Oktober. Begitu dalam dan penuh penghayatan. Ah, alam sedang menghipnotis umatnya. Pertunjukan yang spektakuler. Sementara kami masih asyik terlibat percakapan tentang Tintin.
“Ya, sama denganmu Jan. Aku cukup terkejut ketika Tintin justru memilih untuk bersikap seperti itu. Merelakan perkamen yang berisi petunjuk harta karun Sir Francis diambil Sakarhine. Terlebih ia telah menjustifikasi bahwa: kita gagal,” sambungku pada Janu.
“Maksudmu: bisa di mana saja di dunia ini. Kita tak akan lagi melihatnya. Sudah berakhir. Kita gagal,” Janu menirukan perkataan Tintin.
”Betul. Apalagi sedari awal cerita, aku melihat Tintin sebagai tokoh yang ambisius. Ingin tahu segala hal tentang kapal Unicorn. Sedetail-detailnya,” kataku sambil mengunyah kentang goreng lalu menyeruput Espresso Coffe.
”Untuk keinginannya itu dia bergerak  menyelediki. Dari situ terbaca bahwa Tintin hendak menyelesaikan penyelidikannya itu hingga tuntas. Ambisinya amat menyala,”aku melanjutkan.
Janu menaruh kakinya ke atas kursi, mendudukkan lengannya di lutut, tampak tangannya hendak merogoh pegangan cangkir Cappucinno Coffe yang asap hangatnya masih kelihatan mengepul. Mengangkat, mengarahkannya ke mulut lalu, ”sruputtt... ah sedap!”
”Bahkan Haddock pun seakan tak percaya jika Tintin menyerah. Kau ingat ucapan Haddock yang cukup keras pada Tintin: aku kira kau orang yang optimis!,” kata Janu dengan mimik muka serius.
Kemudian tiba-tiba Janu tertawa kecut.
“Ha...ha...ha... Haddock sampai mengata-ngatai Tintin: ada banyak orang akan memanggilmu si gagal. Bodoh, pecundang, pemabuk putus asa. Tapi jangan sampai kau mengatakan itu pada dirimu,” ujar Janu menirukan Haddock.
”Kalimat yang diutarakan Tintin itu seolah jadi pertanda Tintin hendak bertekuk lutut. Dengan maksud lain, usahanya merebut perkamen sudah kandas. Kalah!”  kataku menanggapi Janu.
”Tapi bukan berarti harus menyatakan gagalkan? Seharusnya dia tidak semudah itu patah arang. Keyakinan akan menang dan berhasil mesti terus disemaikan. Alangkah naifnya bila pilih menyerah dan kalah di saat usaha yang dikerjakan sudah berdarah-darah,” kata Janu yang tampak berkiblat pada Haddock.
Jika kau peduli akan sesuatu, maka perjuangkanlah. Kau terobos dinding, kau dobrak untuk melewatinya,” lagi-lagi Janu meniru kalimat Haddock. Makin menambah keyakinanku jika dia memang pengikut mazhab Haddockisme.
Sambil membenarkan posisi duduk yang mulai tak nyaman aku menanggapi pernyataan Janu.
”Tapi begini Jan, aku kemudian berpikir, persoalannya bukan cuma kalah atau menang Jan,” kataku dengan nada sok bijak.
”Aku pengin cerita sesuatu sama kau, tentang pengalamanku tadi siang,” serius.
”Seorang ibu pedagang pasar ––yang pasarnya sedang direhabilitasi oleh pemerintah desa tapi menimbulkan masalah–– cerita padaku tentang perjuangannya bersama kolega-koleganya untuk menyelesaikan persoalan yang sudah bertahun-tahun tidak kunjung rampung,” ujarku.
”Awalnya komunitas yang dipimpin oleh si ibu itu mengambil langkah A demi mengejar sesuatu target. Tapi gagal. Mencoba lagi dengan langkah lain, dari B sampai Z tapi tidak untuk langkah K. Mereka berpengharapan besar langkah-langkah selain K dapat menyelesaikan persoalan. Segala usaha untuk mencapai target dilakukan dengan tekun. Jatuh bangun bertahun-tahun. Bahkan sampai berdarah-darah,” ceritaku.
”Lalu, apa hubungannya dengan si Tintin tadi?” Janu bertanya.
”Singkat cerita, usaha yang menahun demi sesuatu target itu tak terpenuhi. Oleh karenanya, si ibu pedagang bermanuver dengan menerima langkah K yang selama ini memang ditentang karena diprediksi akan merugikan pedagang. Kemudian pada suatu hari si ibu ditanyai oleh salah satu anggota kelompoknya tentang kebijakan yang dimaksud untuk mengakhiri sengketa itu, apa dengan mengambil langkah K berarti kita kalah?
Aku meneruskan.
Tidak. Kata si ibu. Ini keputusan berat yang paling masuk akal. Tapi kita tidak kalah. Justru kita mendapat nilai baik setinggi-tingginya dalam proses yang telah dilalui. Kita tidak kalah!” begitu ujar si ibu penuh keyakinan.
”Nah, kau tahu Jan, Tintin dan si ibu sama sekali tidak pengin kalah. Sebagaimana Tintin, ibu itu hanya hendak bersikap realistis setelah upaya dari A-Z --kecuali K-- dipakai namun tidak membuahkan hasil positif. Apabila kita pakai patokan target memang si ibu kalah dan tak capai target. Tapi si ibu, dan tentu si Tintin, sudah berupaya. Dalam tataran proses itu bukan kekalahan, bukan bentuk keputusasaan. Ada banyak hikmah dibalik proses. Dan hikmah adalah hasil perjuangan yang tak terhingga nilainya. Makanya ini bukan sekedar urusan menang atau kalah, tapi soal pencapaian dari sebuah perjuangan, bukan apa hasil akhir perjuangan, namun bagaimana cara kamu berjuang,” pendapatku.
”Hemm... perjuangan butuh pertaruhan bung! Selalu ada konsekuensi dibaliknya. Kali ini aku sepakat denganmu. Kalah-menang, berhasil maupun gagal bukan semata-mata hasil akhir, tapi yang terpenting adalah kemauan, keikhlasan dan apa yang telah didapatkan dari proses itu yang juga mesti disyukuri sekalipun target tak terpenuhi,” kata Janu.
”Bukan berarti kita melupakan optimisme ala Haddock lho... keyakinan dan kepercayaan akan keberhasilan perjuangan harus terus dipupuk dalam kehidupan,” ujarku
Pukul 23.00. Kami jadi pengunjung terakhir. Bangku-bangku Shause Coffe telah kosong ditinggal pelanggannya. Bangunan nan megah tinggalan Belanda itu senyap. Hanya ada deretan pigura-pigura berisi foto klasik yang menyeret pikiran untuk bernostalgia ke masa lalu. Terlihat pelayan dari belakang meja bar memberesi peralatan dagang. Dari arah dapur terdengar gemericik air, suara ting-tang gelas dan piring yang sedang dicuci. Sebagian mengangkuti kursi ke atas meja. Glodak-glodek. Dari balik meja kasir si pemilik kafe tampak khusyuk menghitung pemasukan hari itu. Piring yang tadi berisi kentang goreng kini mlompong. Oktober dan hujan juga telah menghentikan konser tunggalnya. Jendela dan pintu ditutup satu-per-satu.
Setelah seruputan terakhir Espresso Coffe, aku dan Janu pulang sembari mampir ke meja kasir untuk membayar. Di jalan, di tengah aku sedang menyetir Vespa Super 1970-an, Janu yang duduk membonceng di belakang bergumam.
”Keyakinan, kepercayaan dan keikhlasan dalam perjuangan. Aku belajar banyak malam ini. Terimakasih alam, ” kata Janu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar