Jumat, 15 Oktober 2010
Janji Si Kuncung
Perkenalkan, aku Wimar. Lengkapnya Wimar Burhanudin. Tapi orang-orang memanggil aku kuncung. Aku sama sekali tak marah disapa dengan sebutan itu. Mungkin ini sebab model rambutku waktu kecil dulu, seiprit rambut tersisakan di bagian depan kepalaku, sementara sisi tengah kebelakang tampak tipis. Entah, aku begitu suka dengan potongan macam itu. Ada peruntungan mungkin, hanya tak pernah terpikirkan. Rambut kuncung bertahan sampai aku masuk sekolah menengah pertama.
Kampung tempat tinggalku ada di tengah kota G. Dari lahir aku menetap disana. Walau termasuk kota, kawasan sekitar cukup rindang. Beberapa rumah warga ditumbuhi pepohon walau pendek-pendek dan dihiasi dengan tanaman rambat. Suasananya juga sangat religius. Pemuda kampung gemar mengadakan kajian rutin, biasanya tiap dua kali seminggu di surau. Bagi anak kecil, disediakan sarana TPA dan tiap malam jumat ada pengajian untuk orang dewasa, laki-laki maupun perempuan. Bapak kerap jadi penceramah pengganti bila ustad tamu berhalangan hadir.
Bapakku seorang tokoh masyarakat, oleh tetangga acap disapa Haji Sadiman. Usianya menginjak 53. Sarjana Agama, lulus pada 1981. Rambutnya cepak, mata sedikit sipit, hidung mancung. Lesung pipit terlihat jelas tiap ia tersenyum. Perutnya sudah buncit. Konon, selagi muda bapak jadi incaran banyak orang tua yang memiliki anak gadis, berebut ingin diangkat menantu. Ternyata ibuku lebih berhak mengawininya. Pada 1984 mereka menikah, dan dua tahun kemudian aku lahir. Gelar haji didapat pada 1989, saat ia menjabat staf Departemen Agama. Pemerintah membiayai keberangkatannya ke tanah suci. Hanya seorang diri ia pergi, ibu menunggui aku yang masih candu mengempeng.
Aku anak semata wayang, walau begitu aku bukan tipe pemanja. Segala yang bisa aku kerjakan sendiri, aku lakukan. Ibu menekankan pada anaknya ini untuk dewasa dalam pikiran maupun perbuatan, jangan berharap tapi memberi, “dan saban tindakan ingatlah selalu Allah. Itu kunci hidup bahagia, nak, dunia akhirat, yakinlah!” katanya.
Berkala usai jamaah maghrib di masjid, bergegas aku menuju mushola keluarga di ruang belakang rumahku untuk mengaji. Rutinitas ini sudah berjalan sejak aku masih di bangku TK nol kecil. Telah puluhan kali pula aku khatam Quran, sampai-sampai membaca tanpa menyimak pun aku hafal. Selesai mengaji biasanya aku lanjutkan mengulang pelajaran di sekolah tadi pagi.
Kegiatanku selain sekolah, sebagai aktifis kampung. Beberapa kali jabatan ketua panitia aku sandang. Dari ketua panitia tujuh belasan, panitia Ramadhan, sampai panitia manten pernah aku embat, bukan keinginan diri, tapi teman-teman tak ada yang mau. Jadilah terpaksa aku menerimanya. Alhamdulillah, biar begitu mereka tetap bersumbangsih besar tiap ada kegiatan.
Bisa dikata aku berasal dari keluarga yang cukup konservatif untuk urusan agama. Meski demikian, kesadaran ibadah selalu lahir mandiri tanpa perintah orang lain apalagi orangtua. Pesan Ibu bukan bentuk paksaan, tapi dorongan. Selama itu baik, pantang ditinggalkan.
Dari kecil hingga sebentar lagi jadi mahasiswa, aku menimba ilmu di sekolah Islam. Baru selepas sekolah menengah atas ini aku utarakan keinginan masuk perguruan tinggi negeri pada bapak dan ibu. Awalnya aku akan diongkosi studi ke Al-Azhar Mesir. Hanya aku menolak, sepertinya belum siap. Cukuplah menggali ilmu di negeri sendiri dulu.
Kebetulan bapak ibu sedang bercengkrama di ruang keluarga, akan aku gunakan kesempatan ini. Walau canggung, aku beranikan jua menyampaikan niatku, “Pak, bu, sebelumnya mohon ampun bila ucapan saya mengecewakan. Tamat SMA ini saya berkeinginan meneruskan pendidikan ke universitas negeri saja, di luar kota dan tidak ada niattan berangkat ke Mesir,” kataku. Bapak menjawab dengan air muka teduh, bicaranya pun lembut, walau keras bapak dikenal bijaksana, “boleh kiranya bapakmu ini diberi alasan, apa sebab kau menghindar tak ingin sekolah ke negeri gurun sana?”
Tak ada rangsangan khusus, aku sekedar ingin merasakan gairah baru. Berkenalan dengan dunia, di luar apa yang telah aku dapat dan alami selama sekian tahun tinggal disini. “Saya berdiam di Indonesia, konon negeri ini terdiri bermacam bangsa, begitu pula agamanya. Saya ingin berbaur dengan rumpun berbeda, setidaknya saya bisa bertukar pikiran dan berbagi ilmu, seyogyanya dapat bermanfaat diri ini nantinya. Bukankah Allah menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya mereka saling kenal, pak?”
Bapak sempat ragu, tapi izin itu turun juga, “dimana kau akan lanjutkan sekolahmu,” bapak bertanya. “di J pak, terdapat perguruan yang mashur dengan kualitas baik, penghasil sarjana handal disana,” jawabku. “baik, mintalah restu ibumu dulu,” perintah bapak.
Berpaling aku pada ibu, mimik wajahnya terlihat sedih. Tak lama lagi si buah hati tersayang ini akan meninggalkannya. “Nak, ibumu sudah hampir tua, rambut ibu mulai ditumbuhi uban. Dari dulu selalu ibu ajarkan kau untuk bijak dalam segala hal, begitupun sebelum kau memutuskan sesuatu, aku akan terus kau mintai pertimbangan terlebih dulu. Setelah itu kau simpulkan sendiri. Dan besok, tak ada lagi ibu untuk kau mintai pendapat. Tapi kau telah dewasa. Brengosmu perlahan mulai lebat, sudah matang kau menetapkan hati. Bila itu telah jadi kehendakmu, melangkahlah. Restu ibu menyertaimu, semoga dengan pikiran jernih, nak.”
Wejangan ibu masih mengalir saja, “semakin kau dewasa, kian banyak manusia kau kenal dengan beragam falsafahnya. Tiada guna kau benci mereka yang berbeda pandangan, bertemanlah! Dengarkan keluhnya bila mengadu, bantulah bila dibutuhkan. Tapi jangan sampai kau salah arah, tetaplah pada prinsip. Bentengi dirimu dengan Agama. Iman pada Islam, iman pada Allah Tuhanmu!” ujar ibu.
Mulutya bergetar, mata berkaca-kaca, ibu tak sanggup menahan derai air matanya. Pecah juga tangisnya. Aku pun begitu, seluruh tubuh bergidik mendengar petuahnya. Pengajaran berharga bagi anak, sebelum melepas kepergianku guna menuntut ilmu.
Sesaat lagi anak satu-satunya yang dibanggakan akan jadi pengelana. Tak ada lagi perawat bila aku sakit, tak ada lagi candaanku bila ibu sedih, tak ku dengar suara cerewet ibu ketika aku mulai membantah perintahnya, begitupun bapak. Sementara ini aku akan kehilangan kebijaksanaannya, “keras didikanmu, meski aku tahu ada kelembutan dalam dirimu untuk maksud baik pula bagiku, pak.”
“Untuk ibu aku janji, akan jalankan nasehatmu. Telah lama kau kenal anakmu ini, tak pernah sekalipun aku khianati kepercayaanmu, percayalah bu!”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar