Sabtu, 26 Maret 2011
Menulis Itu Perlu
TERUS TERANG aku sebenarnya sama sekali tidak punya gambaran, menyangkut apa yang mesti aku tulis kali ini. Aku bingung, ide pun enggan berkunjung. Namun, sudah terlanjur disepakati bersama beberapa kolega, bahwasanya kami akan melakukan sebuah kompetisi menulis kecil-kecilan, tanpa piala, tanpa hadiah duit pembinaan. Tidak bergengsi, tapi dengan mimpi tinggi, kelak barangkali gagasan ini akan menjadi tonggak dimulainya budaya menulis. Kami coba mendahului, semoga dapat melecut motivasi.
Godean, Senin, 21 Maret 2011. Tempat itu tidak punya halaman luas untuk berlari-larian. Biar sempit pekarangannya, ia berdiri megah. Ditopang empat pilar, dihiasi ukir-ukiran Jawa plituran nan indah menawan lengkap dengan dua payung antik. Kursi tamunya pengkuh terbuat dari kayu jati, diterangi cahaya temaram lampu gantung, suasananya tenang. Pendopo tersebut nyaman digunakan ngobrol ngalor-ngidul semalaman.
Minggu, 20 Maret 2011
Episode Kedua: Rasionalitas
PENGGALAN EPISODE pertama tentang realistis telah dilalui. Selanjutnya episode kedua akan aku bahas. Ceritanya berbeda, locus dan tempus delictinya juga tidak sama. Perbedaan visi, orientasi dan cita-cita, topik perbincangan kali ini. Berkaitan dengan pondasi mimpi yang sudah dibangun bertahun lamanya.
Seorang kawan mengabarkan, jika ia berniat keluar dari komunitasnya. Alasannya, keberadaan dia di koloni tersebut cuma menghambat kemajuan. Diungkit pula kesibukannya masa lalu. Sepengetahuannku tidak pernah ada protes barang satu kata saja terkait soal kesibukan, kapan dan dimanapun. Artinya memang bukan perkara muslik, apalagi telah disepakati sampai pada tataran solusi, yakni toleransi.
Seorang kawan mengabarkan, jika ia berniat keluar dari komunitasnya. Alasannya, keberadaan dia di koloni tersebut cuma menghambat kemajuan. Diungkit pula kesibukannya masa lalu. Sepengetahuannku tidak pernah ada protes barang satu kata saja terkait soal kesibukan, kapan dan dimanapun. Artinya memang bukan perkara muslik, apalagi telah disepakati sampai pada tataran solusi, yakni toleransi.
Sabtu, 19 Maret 2011
Episode Pertama: Realistis
BELAKANGAN PENGGALAN sembilan huruf tercecer-cecer tak karuan ini sering terlafaskan oleh mulut sendiri, berdenging-denging di telinga dari mulut orang lain ataupun tersaji dalam ujud tulisan, seperti yang akan aku kerjakan sekarang.
Sebelum aku garap, perlu aku sampaikan, bahwasannya sembilan huruf ini bahkan sudah belasan kali tercetak. Tercetak lalu diserahkan kepada orang-orang yang sedang linglung-murung, jiwanya terapung-apung, nasibnya terkatung-katung karena tekanan demi tekanan tak kunjung rampung. Nanti setelah berputar-putar, sembilan huruf akan membentuk satu kata utuh, yaitu realistis.
Sebelum aku garap, perlu aku sampaikan, bahwasannya sembilan huruf ini bahkan sudah belasan kali tercetak. Tercetak lalu diserahkan kepada orang-orang yang sedang linglung-murung, jiwanya terapung-apung, nasibnya terkatung-katung karena tekanan demi tekanan tak kunjung rampung. Nanti setelah berputar-putar, sembilan huruf akan membentuk satu kata utuh, yaitu realistis.
Sabtu, 05 Maret 2011
Potret Imajiner
POTONGAN FOTO berukuran sekitar 6x8 cm itu masih tersimpan rapi dalam sebuah album berdimensi 3R. Biar fotonya terdesak, maksudnya terselip diantara gambar-gambar yang lebih besar, gadis dalam potret itu tetap tersenyum legit.
Barangkali lantaran ia tidak sendirian. Ada gambar lain dirinya dengan ekspresi, latar dan pakaian berlainan. Aku sengaja mengarsip dua potongan wajah tersebut, dua potret asa masa lalu yang menjadi satu-satunya penawar karena endemi kasmaran kerap menjalari pikiran.
Langganan:
Postingan (Atom)