Sabtu, 05 Maret 2011
Potret Imajiner
POTONGAN FOTO berukuran sekitar 6x8 cm itu masih tersimpan rapi dalam sebuah album berdimensi 3R. Biar fotonya terdesak, maksudnya terselip diantara gambar-gambar yang lebih besar, gadis dalam potret itu tetap tersenyum legit.
Barangkali lantaran ia tidak sendirian. Ada gambar lain dirinya dengan ekspresi, latar dan pakaian berlainan. Aku sengaja mengarsip dua potongan wajah tersebut, dua potret asa masa lalu yang menjadi satu-satunya penawar karena endemi kasmaran kerap menjalari pikiran.
Berjilbab hitam, kulitnya cerah. Wajahnya tirus namun matanya bebinar. Tampak dari lagak-lagunya ia tengah menginjak usia belia. Benar saja, kedua tangannya diangkat, lalu disilangkan dimukanya, jari telunjuknya menyentuh lesung pipit. Diantara tangannya yang membentuk huruf x, bibirnya merona merah jambu. Aku tahu persis, foto itu diambil saat ia remaja. Sungguh manis nian!
Foto kedua, tak perlulah aku deskripsikan lagi. Orangnya sama. Bedanya cuma pose, jilbab putih yang dikenakan, serta kulit mukanya yang terlihat agak gelap dan kabur, barangkali juru foto gagal mengatur intesitas keluar masuk cahaya ke lensa kamera.
Hampir tujuh tahun fotograf tersebut aman-terlindungi dalam penjagaanku. Dokumentasi semata wayang, pengingat, bahwasanya pada masa lampau, potret perempuan yang dimaksud pernah digandrungi.
Kelewat dibuatnya kesengsem, mabuk kepayang-mabuk cinta. Mengibakan, –aku paling benci dengan pernyataan berikut, tapi walau berat hati terpaksa aku sebut– ”Biar hilang akal dimabuk cinta, belum sejumput pun aku berjaya mengembat hatinya.”
Aduh kemana saja! Padahal tujuh tahun belakangan, intuisiku tidak pernah gamang. Intuisi, tolong digarisbawahi! Heran, kalau disuruh bikin tulisan ngegombal jagoan. Giliran diminta utarakan perasaan gelagapan.
Keberhasilan mempertahankan skema perasaan bertahun-tahun, kesuksesan menyusun sistematika kata, tidak dibarengi keunggulan mengurai kata per kata secara nyata. Mulut terkancing, pikiran seketika genting, mata hati memicing, intuisi mendobrak-dobrak mendesak terkencing-kencing. Sedangkan, buat sementara aku gagal menemukan kuncinya, aku harap kondisi tidak kian meruncing.
Adapun demikian, setidaknya aku masih mampu berbangga. Pada tataran intusi aku menang. Tujuh tahun bukan sekelebat, maka untuk sekedar menggembirakan diri aku bisa berbesar hati mesti belum menjawarai.
Kerap sekali mengumpamakan kemenangan yang aku raih sebagai, kejayaan menaklukkan wanita imajiner. Pertarungan delusif di bumi khayalan. Semuanya bak dongeng, walhasil ilusif saja. Mungkin ibaratnya intuisi imajinasi, sosoknya pun fantasi, tapi jangan salah, afeksinya tidak fiksi. Percayalah!
Akhirnya, menyandingkan dua nama, menyandang predikat ’sepasang’ merupakan tujuan. Bukan cuma seorang, karena seorang saja rasanya kian lama kian bikin bosan. Berawang-awang sendirian, digadang-gadang angan panjang tapi ujungnya tetap kerontang kesepian.
Malahan nama sejoli sama-sama terdiri dari tiga suku kata. Yang satu indah, satunya lagi biasa. Atas dasar kesamaan, estetika dan kesederhanaan, dengan penuh keyakinan si bodoh lancang mendeklarasikan, "Seharusnya itu jodoh!"
Terus terang, aku selalu punya cita-cita untuk berkembang. Mengungkapkan intuisi yang otentik dengan gamblang. Asal tahu saja, tempo lalu aku berkali-kali mendekati, tapi tiada pernah berarti. Itulah alasan, kenapa aku jadi malu buat maju. Ketakutan akan mendongkolkan, kegelisahan disangka menggantungkan, main-main perasaan. Aku khawatir bikin gondok-kecele, menjengkelkan bukan!
Sekarang, aku tak berharap tokoh imajiner, lebih-lebih hanya sanggup memandang potretnya. Aku cuma bisa memanjatkan doa, supaya yang di dalam gambar bisa mewujud dihadapan, menjadi sosok utuh. Mudah-mudahan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
ayo, nyatakan saja, jangan-jangan dia menunggu pernyataan, setidaknya biar kau tak mati penasaran. jika diterima, tentu ucapkan puji syukur, jika ditolak, percayalah, kamu akan lebih bisa berlalu menuju shelter hati yang lain meski tak mudah.
BalasHapus