TERUS TERANG aku sebenarnya sama sekali tidak punya gambaran, menyangkut apa yang mesti aku tulis kali ini. Aku bingung, ide pun enggan berkunjung. Namun, sudah terlanjur disepakati bersama beberapa kolega, bahwasanya kami akan melakukan sebuah kompetisi menulis kecil-kecilan, tanpa piala, tanpa hadiah duit pembinaan. Tidak bergengsi, tapi dengan mimpi tinggi, kelak barangkali gagasan ini akan menjadi tonggak dimulainya budaya menulis. Kami coba mendahului, semoga dapat melecut motivasi.
Godean, Senin, 21 Maret 2011. Tempat itu tidak punya halaman luas untuk berlari-larian. Biar sempit pekarangannya, ia berdiri megah. Ditopang empat pilar, dihiasi ukir-ukiran Jawa plituran nan indah menawan lengkap dengan dua payung antik. Kursi tamunya pengkuh terbuat dari kayu jati, diterangi cahaya temaram lampu gantung, suasananya tenang. Pendopo tersebut nyaman digunakan ngobrol ngalor-ngidul semalaman.
Cas-cis-cus, kami berlima –Aku, Yogie S Harjanto, Fery Nurdiansyah, Ahmad Zainudin dan Sakti Haryo Bismoko– bincang-bincang tentang banyak hal di pendopo milik budhenya Harjanto. Mulai gosip terupdate LPM Keadilan sampai urusan personal masing-masing. Dari macam-macam cara ibu melahirkan, watak anak yang dihasilkan, hingga ide tentang lomba menulis kecil-kecilan. Yang jelas maksud kedatanganku malam itu ialah, silaturahmi, kumpul-kumpul dan berbagi pengalaman tentang pekerjaan menulis.
Aku sendiri masih belajar, pengetahuan saja masih amat dangkal. Jadi ditegaskan kembali, tidak ada jabatan murid di sini, yang ada cuma sahabat-sahabat hanya sahabat, itulah posisi pas kalian di hatiku, tak bisa diganggu gugat lagi. Jadi, jangan panggil aku guru.
Baik, aku akan mulai merinci tentang dunia penuh imajinasi ini. Tempo lalu, aku membaca sebuah catatan di Facebook milik Yogie S Harjanto, intinya ia amat bersyukur punya teman yang hebat-hebat. Teman yang bukan sekedar mampir saat ia jadi jawara, tapi juga hadir sebagai pelita sejati ditengah deklinasi batin.
Terimakasih bijaksana! Membacanya, membikin sosok imajinerku tergoda, otakku bergerak liar. ‘Seperti segelas susu jahe’ kira-kira begitu analogi yang mencuat seketika dalam dunia khayaliku. Nampaknya alegori itu tepat bila disematkan pada figur sahabat. Aku terpancing untuk ikut sumbang komentar di note tersebut.
Tema sudah tahu. Selanjutnya mengkonkritkan ide dengan membangun stimulus. Buru-buru aku pikirkan kata-kata beserta maknanya, setelah itu menyuguhkan kalimat-kalimat dalam susunan rapi. Supaya naskah tetap terjaga hingga selesai dan tujuan yang dinginkan tercapai, proses ini penting untuk dikawal. Benar-benar fase krusial dan rentan, lantaran perlu ketelatenan. Butuh kemauan melindungi stimulan agar terhindar dari endemi kebosanan. Walhasil jadilah tulisan singkat ini dan aku posting di catatan Facebook, ia:
Seperti segelas kopi susu. Susu adalah hidup kita yang manis, sedangkan kopi lambang kepahitan. Walau pahit, sebenarnya masih bisa kita seduh dengan kehangatan. Gelas sebagai wadahnya, tempat menampung yang pahit dan manis itu. Ibaratnya ia akan selalu menerima segala apapun rasanya. Sayang, kerap sebagian dari kita tidak sudi jadi gelas. Saat manis didekati, ketika pahit justru dimusuhi. Tapi bersyukurlah kalau masih ada secercah keikhlasan dan bersedia menjadi gelas, baik untuk yang pahit maupun manis. Karena kepedulian jarang-jarang datang. Sahabat bak segelas kopi susu, pahit dan manis semestinya diteguk sama-sama.
Langkah berikutnya adalah berlaku jujur. Fungsinya agar kita bebas berekspresi, lugas membahasakan tanpa beban. Apapun sedang melintas di pikiranmu, selama masih fokus dengan tulisanmu, terabas dulu. Kalau sudah malu-malu, karya akan tersendat. Mandeg deh!
Menulis bukan kerja awang-awang, menulis adalah segera menyiapkan kertas, mengambil pulpen dan mencatat. Biarkan jari-jarimu menari lepas di atas tuts laptop, biarkan imajinasimu melayang-layang hingga negeri khayalan, ide akan menghampiri karena kamu telah berani menjemputnya terlebih dulu.
Bagian terakhir dari prinsip menulis ialah, konsistensi. Hendak seberapa sering kita menulis? Satu hari tiga kali, satu minggu dua kali, satu bulan satu kali atau bahkan sekali seumur hidup. Intensitas penting, ini buat menjaga kebiasaan. Ketika intensitas telah ditentukan, maka perlu mempertahankan konsistensi intensitas tersebut.
Semakin kau sering menulis, lama-lama kau akan temukan karakter dalam naskah kamu. Abjad-abjad yang tercecer-cecer tidak karuan itu akan menjadi feel, lantaran kamu sudah terbiasa berkawan dengan mereka, hanya kamu pula yang berhak dan berhasil menyatukan mereka.
Prinsipnya menulis itu perlu tahu, tapi tahu saja tidak akan berekses apa-apa tanpa ada kemauan. Harus ada niat untuk menjalankannya, mesti punya semangat mengerjakannya hingga usai. Bertindak jujur berarti membikin imajinasi tidak terhambat dan konsistensi bakal membuat kita terbiasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar