Pages

Sabtu, 28 Mei 2011

Manuskrip Kita dan Dunia


KURANG LEBIH sudah lima hari saya terus-menerus memutar lagu ini. Setiap selesai mandi sambil berpakaian, menemani sarapan pagi sebelum bepergian, sampai memfungsikannya sebagai penghantar tidur pada malam hari. Selain karena belingsatan menentukan lagu ––saking bejibunnya lagu yang digemari, ada pula maksud lain, yaitu supaya saya lebih mengenal, memahami dan bukan sekedar mengerti tapi juga mendalami tembang tersebut. Mudah-mudahan tercapai.

Terus terang lagu itu juga tidak semata-mata menjadi ’Soundtrack Of Your/My Life’ seperti ketentuan tema dalam Kompetisi Menulis Radio Swaragama FM. Penyebabnya ialah ide yang akan diejawantahkan melalui tulisan ini cenderung menyangkut soal-soal universal. Bisa jadi klise bahkan barangkali sudah banyak sekali pembahasnya.

Walau sekiranya telah umum, toh tidak ada salahnya pula kalau tetap diketik bukan? Siapa tahu akan semakin menumbuhkan keinsafan diri bahwa kita cuma manusia, hidup di atas segala keterbatasan dan mudah sekali melanggar batas. Hanya kita cukup beruntung dianugerahi cinta untuk saling menyayangi, dibekali akal budi buat memahami batas, sama-sama menjaga dan meredam keangkuhan diri. Dengan hati untuk menghidupkan intuisi. Lalu menggunakannya untuk berkomunikasi, termasuk berdialog dengan yang mencipta kemaslahatan.

Sejumlah postulat menyatakan jika, Ia perlahan-lahan mulai dilupakan. Oleh sebab itu Kerispatih mengajak kita kembali mengingatNya ––setelah ditimpakan pelbagai petaka, maka sudah sepatutnya kita berkontemplasi, merenung bahwa ada yang tidak beres dengan kehidupan ini. Mungkin kita benar-benar telah teledor atau barangkali terlampau congkak melalaikanNya. Lewat Kita dan Dunia, mengenal kembali kehakikian Tuhan.
***
Petikan gitar itu mengalun nyaring. Ia menjadi instrumen pertama yang membuka dinamika lagu. Aransemen bertambah sedap saat hentakan jimbe ––meski sebentar bertalun-talun kian mengecil dan seketika suara penyanyi menyongsongnya, mengambil alih irama kemudian dengan kidung merdu membangun komposisi menjadi sangat harmonis. Sungguh introduksi yang ciamik.

Selanjutnya kita akan diajak menjelajahi bait-bait syair yang teramat ringan, sambil ditemani lantunan empuk Sammy Simorangkir serta tatanan musik nan aduhai. ’Sajak sederhana menyiratkan banyak makna’ begitulah kira-kira parafrase gampang untuk mengungkapkan lagu Kita dan Dunia ciptaan Doadibadai Hollo. Rupa-rupanya Kerispatih ingin mengajarkan teologi dengan cara yang lebih lembut serta bisa diterima berbagai kalangan. Lagu ini terdapat di album kedua Kerispatih Kenyataan Perasaan. Rilis pada 2007.

Kalau boleh mengajukan premis, Badai membikin Kita dan Dunia lantaran beberapa petaka yang mendera ketika itu dan sekarang. Katakakanlah ini penilaian dangkal: Badai punya pesan bahwa malapetaka yang datang bertubi-tubi ialah sebuah peringatan gara-gara manusia mengabaikan Tuhan. Tuhan yang notabene ––secara teoritis merupakan entitas puncak, tempat segala bermula, sebagai causa sui, sebab yang tak bersebab dengan hak yang Maha Prerogatif.

Bolehlah gembar-gembor mengenai singularitas Tuhan bahkan hingga menuntut manusia tak boleh murtad. Namun dengan sifatNya yang Maha Prerogatif, yang terjadi justru sebaliknya, kerap realitas tidak selaras dengan idealitas. Jangankan mengaktualisasikan dengan tindakan ––misal mengamalkan dogma, Tuhan tidak dimanifestasikan ke dalam hati masing-masing orang. Meski sekedar untuk merasakanNya.
***
Sedari awal lagu kita sudah diminta untuk memahami berbagai pertanda yang terjadi. Mencari pangkalnya, lalu hendaknya mengambil hikmah untuk berbenah diri. Supaya Tuhan tidak murka, kalau Ia sampai marah akan berimbas pada kegetiran yang terus-menerus. Barangkali seperti itu pesan yang ingin disampaikan pada bait pertama:

Sejenak kawan cobalah pahami makna dari semua ini
Terlalu banyak air mata yang jatuh ratapi kesedihan kita


Sedangkan bait kedua:

Mungkin ini sebuah peringatan tentang semua manusia
Yang telah mengubah hakikatnya dan melupakan Sang Kuasa


Eksplanasi bait kedua yaitu, setidaknya tak perlu heran kalau Ia sering menyapa umatNya dengan ketus lantaran Ia dikhianati. Salah satunya dengan menjatuhkan teguran berupa musibah. Ini karena manusia sendiri yang telah memilih opsi meninggalkanNya. Manusia mengubah hakikatnya, berarti manusia melalaikan kewajiban untuk menyembah dan beriman kepadaNya.

Kita dan Dunia adalah evidensi kontemporer. Berbagai bencana yang datang silih berganti serta penyikapan kita terhadap musibah, termaktub dalam lagu tersebut. Ibaratnya bukan sebatas merekam, tapi juga menyampaikan faedah, serta mengajak untuk merenungi setiap peristiwa.
***
Saya sedang memikirkan pelukisan Kita dan Dunia. Saya minta kau ikut membayangkan dalam pikiran masing-masing dengan syahdu, dalam suasana temaram penuh kekhidmatan. Ambil posisi senyaman mungkin dan pusatkan perhatian. Siapkan tisu beberapa biji buat jaga-jaga kalau kau sesenggukan.

Klik! Proyektor menyala, lalu disorotkan pada layar putih lebar yang sudah terlebih dulu dibentangkan. Lagu diputar, visualisasi ditayangkan. Terlihat:

Tsunami Aceh 2004, Mentawai 2010 dan Jepang 2011: air laut keruh konon setinggi lebih dari tujuh meter membludak ke daratan. Manusia terapung-apung, mendepak bangunan, merobohkan pepohonan, menyapu reruntuhan, kendaraan serta apa saja yang diterjangnya, meratakan semua menjadi tanah. Hanyut terbawa kemalangan.

Gempa Yogyakarta 27 Mei 2006: 5,9 skala richter. Rumah-rumah ambruk, jalanan remuk, orang-orang berlarian ngalor-ngidul tak karuan. Mereka linglung. Erupsi Merapi akhir 2010: wedhus gembel bergerilya ke rumah warga serampangan mencari mangsa untuk dibakar satu per satu. Manusia dan ternak hangus terpanggang. Mengenaskan. Banjir Wasior, lumpur Lapindo dan masih banyak kenaasan-kenaasan lain. Seluruhnya terakumulasi menjadi satu babak tragis bernama tragedi.

Mereka dalam gambar sedih, tersedu-sedan kecil-kecil hingga menangis meraung-raung. Apa kau ikut menangis? Tragedi selalu menyisakan kemasygulan. Kepedihan yang berkepanjangan seakan tiada henti. Mudah-mudahan kita punya empati.
***
Pengaruh tragedi memang bisa meluas ke berbagai dimensi. Ada cerita pedih dan keputus-asaan. Kehilangan banda jadi gembel, dulu pejabat sekarang rakyat biasa tak punya apa-apa. Sanak keluarga-kolega tewas dibawa mala. Harta nihil terpaksa berbuat kotor. Bak orang linglung kehilangan jiwa, kebingungan mendamba peruntungan. Kemudian apa kau akan menyalahkan Tuhan, tanpa kamu berkoreksi diri?

Yang penting digarisbawahi yakni, selalu ada kausalitas dalam setiap peristiwa. Tidak mungkin ada imbas tanpa asal mula. Begitupun tragedi, ia tak semudah itu datang tanpa ada yang mengatur. Sedangkan yang mengatur juga memegang faktor sendiri kenapa Ia menurunkan tragedi. Tugas terpenting pertama ialah stop menghujat Tuhan!

Kerja kedua yaitu menemukan pemicu yang nanti akan digunakan sebagai bahan tafakur bersama. Ini jauh lebih utama ketimbang mengkambinghitamkan Tuhan melulu. Oleh sebab itu dengan memetik inti dari Kita dan Dunia, saya coba deskripsikan kausa tersebut. Meneruskan penjabaran syair pada bait pertama dan kedua yang sudah saya rinci sebelumnya. Berikut:

Bagian reff.

Semua ini tak akan berhenti jika keangkuhan masih bertahta, jika keajaibannya terabaikan. Segeralah bersujud kawan sebelum semuanya telah sia-sia, itu yang terbaik buat hidup kita.


Lirik ini menakhlikkan semacam sinyalemen malapetaka akan terus tumbuh bila kepongahan belum jua hilang. Lenyap tak berbekas dari diri manusia. Sangat menohok sebenarnya dengan menyematkan kata angkuh pada refrain. Saya kira penempatan itu mempunyai relasi cukup tegas dengan aktualitas sekarang. Lebih-lebih kalau berfungsi bak satire dimana ia mengundang sentilan untuk menyadarkan manusia besar-besaran. Tentu tidak berharap utopis.

Angkuh kini seolah menjadi gelagat buruk sebagian orang ataupun golongan. Congkak, yang berarti ia paling hebat meski faktanya nol gedhe atau paling kaya tapi miskin hati. Naga-naganya dua suku kata ini, ’keakuan’ yang diikuti kata ’paling’ akan menjelma jadi suatu fusi kalimat bermakna negatif lantaran akan mengkonkritkan takrif kesombongan. Jika kesombongan sudah terealisasi, maka tak ada yang lebih baik daripada dirinya kendati belum tentu ia benar. Payahnya ia suka banget pamer-pamer itu kebaikan. Minta dipuji-puji lagi.

Sebelum saya teruskan, penting untuk disampaikan bahwasannya saya berharap keangkuhan di sini tidak sekedar ditafsirkan sempit. Berikanlah makna ekstensif terhadapnya. Keangkuhan bukan urusan orang bersedekah bikin pengumuman atau punya kasta tinggi kemudian berlagak sok-sokan belaka. Tidak, tidak secetek itu.

Kejemawaan dapat dimaksudkan unjuk kekuatan untuk menindas, bertindak semena-mena, menzalimi siapa saja. Saya kira ini model kepongahan stadium empat. Kalau ada ekspresi lebih dari sekedar kata ’kronis’, maka ungkapan itulah yang pantas buat disematkan ke congkak model ini. Karena ia meminta tumbal, korban manusia. Walhasil bisa juga disebutkan telah terjadi kolaborasi cespleng antara keangkuhan dan kekejian.

Belakangan ini kebengisan kerap sekali jadi fenomena. Latar belakangnya macam-macam. Dari sengketa rebutan lahan, politis sampai yang paling sering merembet-rembet ke urusan agama segala. Satu saudara tapi bermusuhan, satu bangsa tapi tak akur apalagi yang berbeda keyakinan kelewat susah untuk diajak harmonis.

Saya kerap gemas tiap melihat berita pertikaian, dimana si perusuh teriak-teriak nama Tuhannya tapi sambil membunuhi orang yang dianggapnya keliru gara-gara beda prinsip. Kalau sudah berkoar-koar demikian sepertinya jadi halal itu darah saudaranya, jadi murah itu harga nyawa untuk dihabisi. Naudzubillah!

Saya pikir perangai-perangai egoisme ––keakuan (keangkuhan)–– baik individu ataupun kelompok yang menyebabkan perpecahan muncul. Entah ekspresinya benar atau salah, pokoknya telah sukses memaksakan keinginan dan apa yang dikehendaki tercapai, sudah selesai urusan! Tak usah ambil pusing nyawa orang mesti melayang. Peduli amat! Buah dari tingkah laku tersebut yaitu tak ada lagi rasa percaya, tinggallah menyisakan kecurigaan saja. Perbedaan semestinya bisa ditoleransi, bukan malah berbuntut anarki.

Keangkuhan telah menyusup ke jiwa-jiwa manusia dan membangun fanatisme tingkat tinggi ––condong berlebihan karena menganggap sekelilingnya yang berlainan falsafah keliru dan patut dibumihanguskan. Barangkali hal-hal demikian yang membikin tragedi terus saja terjadi. Bukankah terdapat ayat yang mendogmakan kita supaya hidup berbangsa-bangsa, bersuku-suku agar kita saling mengenal satu sama lain? Bukan mengajarkan permusuhan? Bukankah kita sama-sama menuju jalur yang sama?

”Manusia tidak hidup sendirian di dunia ini, tapi di jalan setapaknya masing-masing. Semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke arah yang sama, mencari satu hal yang sama dengan tujuan yang sama yaitu, Tuhan.” Quote Film Tanda Tanya.

Agaknya ada yang telah terlupakan akibat hati ditutupi halimun tebal keangkuhan yaitu, Tuhan. Tuhan dengan segala keajaiban akaidNya, melalui agama yang berfaedah bagi umatNya. Sejatinya agama bukan sumber petaka, bukan pula propaganda paling ampuh penyulut konflik. Ia seyogyanya menjadi hidayah bagi mereka yang kesasar, rahmat untuk umat dan karunia bagi dunia.
***
Kerispatih menganalogikan hidup bak sebuah buku. Ibarat selembar kertas putih, ia masih suci. Baru kemudian kita yang menetapkan akan mengisinya dengan apa. Tentunya dengan catatan-catatan. Manuskrip tentang kehidupan.

Ia tak lagi jadi putih, ia tak selamanya bersih. Ada goresan ada coretan. Baik dan buruk. Salah atau benar. Rapi-carut marut. Elok maupun bobrok. Berbuat dosa atau pahala. Semua tertulis lengkap tidak ada yang terlewat. Dan semakin lama, kertas berisi dokumen kehidupan kian menumpuk. Setelah dicetak jadilah satu jilid buku berjudul ’Arsip Kontemplasi’. Semua yang kita perbuat sudah diketikan di sana. Kita diminta terus membuka dan membacai buku tersebut setiap saat dengan nama TuhanMu. Ia menjadi jawaban bagi yang tersesat.

Atau dalam Islam makna ini terkandung dalam Surat Al-Alaq 1-7:

”Bacalah dengan nama TuhanMu yang menciptakan. Dia telah Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar Qalam. Dialah yang mengajar manusia segala yang belum diketahui. Nyata betul, manusia benar-benar mudah melanggar batas. Karena melihat dirinya serba mampu.”

Yang perlu jadi titik berat pada kontemplasi ini yakni keberadaan masa lalu. Ia adalah sesuatu paling jauh di dunia. Kita tidak pernah bisa sampai ke masa lalu untuk memperbaiki diri. Masa lalu akan menjadi peristiwa sejarah dan kita cuma sedang beruntung saja masih bisa memanfaatkan sejarah untuk pembelajaran di masa kini dan perbaikan di masa mendatang. Itu pun dengan perkenan tempo.

Tuhan lebih Maha hebat ketimbang manusia. Dialah yang mampu menilai mana baik dan buruk. Hakikatnya Ia juga yang berhak menentukan kadar keimanan seseorang bukan manusia. Tuhan tidak dapat dipersamakan, diduakan lebih-lebih namanya dicatut untuk berbuat keji. Maka ia sedang mencoba hambanya, tidak hanya yang angkuh tapi juga berlaku untuk semua manusia sebagai bentuk peringatan.

Berbagai tragedi seharusnya bisa jadi nasehat supaya kita berbuat lebih bijak lagi serta berakhlak mulia. Manusia hidup semestinya saling mengasihi dan menjaga seluruh titipan Tuhan bukan saling mencaci dan menzalimi. Maka sudah waktunya kita kembali mengenal Tuhan, merenungi dan mengoreksi diri. Menghapus keangkuhan. Bersujud dan kembali ke jalan Tuhan demi kemaslahatan. Kita manusia bersimbah dosa. KepadaNyalah kita memohon ampun. Jangan sampai semua sia-sia.

1 komentar:

  1. "Tuhan lebih Maha hebat ketimbang manusia. Dialah yang mampu menilai mana baik dan buruk. Hakikatnya Ia juga yang berhak menentukan kadar keimanan seseorang bukan manusia." kalimat tersebut selama ini udah aku jadiin sebagai pedoman, walaupun sesungguhnya perintah-Nya belum semuanya aku penuhi. Memang hakikatnya manusia tidak bisa menilai antara manusia yg satu dg yang lainnya. Nice post masyog :) hehe

    BalasHapus