Pages

Jumat, 12 Agustus 2011

Apa Mau Dikata


BOLEH DIBILANG AKU tidak bertindak apa-apa bila tak patut disebut terlambat. Sebab dengan mengajukan banyak alasan pun, cukup sulit mengatakan ini sebuah keterlambatan. Karena aku tidak pernah berpindah tempat, apalagi berbuat, tidak ada waktu yang bergerak, jadi akan lebih cocok jika kata yang disematkan adalah pasif. Walau aku tidak akan pernah bangga dengan label tersebut.

Ikhtisar kepasifan muncul akibat situasi faktual yang serba problematis bagiku. Sedangkan bagi beberapa kolega, keadaan ditafsirkan: semakin lama berdiam diri, semakin besar peluang untuk kehilangan. Atau dalam bahasa tragisnya, diambil orang.

Betul! Sangat paham aku dengan konsekuensinya. Tapi biar sudah tahu kelak bakal begitu aku tetap saja tampak acuh. Untuk kata paling akhir ini aku mengharapkan permisifitas, mengajukan pembelaan atas kontradiksi janggal ini, pembelaan klise bahwa cinta barangkali perlu pemikiran ekstra berat buat dilogika. Dan ini adalah sebuah perasaan tak masuk akal sama sekali terhadap wanita.

Ibarat bintang yang nampak menawan berkelap-kelip. Ia hanya bisa dilihat tanpa mampu diembat. Angin malam yang kadang bikin menggigil pun cuma bisa dirasa tapi enggan ia menyapa secara nyata. Bahkan ombak yang gelombangnya terdengar berderu memecah senyap sekalipun, ia hanya terdengar ––kadang jauh, namun tiada kedekatan. Seolah-olah analogi demikian sudah paten jadi produk lamunan.

Aih! Sebenarnya mau sekali aku bisa mengajak kau ke satu dimensi, yang di dalamnya diterangi cahaya lampu kasmaran. Hendak aku perlihatkan dinding-dinding yang sengaja aku cat putih semua. Kita berbincang dan aku jelaskan bahwasanya putih adalah teramat sucinya cinta, lebih-lebih ia dipoles pakai kuas ketulusan.

Berinterior ciamik dengan kualitas desain kelas satu di seantero dunia. Sungguh tiada tertandingi. Kelas satu lantaran berhias ukir-ukiran namamu yang terpahat cantik. Penuh pajangan fotomu nan manis tersenyum. Terdapat pula rak dimana ribuan buku tertata rapi di situ. Lalu aku tunjukan bahwa di antara buku-buku itu ada aku pengarangnya dan kamulah inspirasinya. Mulai halaman sampul bersketsa wajahmu, kata pengantar, isi bab-per-bab, lembar-demi-lembar, nomor halaman yang aku beri ornamen hati di samping angkanya, hingga cover penutup, semuanya tak jauh-jauh tentang kau.

Aduhai kau tentu akan berdecak tidak menyangka. Maka sebelum semuanya buyar, dalam ruang itu juga, dalam suasana temaram, dimana cuma ada kita berdua, sambil duduk berhadapan, dengan telapak tangan saling menggenggam, berpangkal pada sebuah meja, sesegera mungkin, tanpa mesti menunggu, karena jelas tepat waktu dan tepat di depan matamu, aku akan bilang, ”I love you. Cuma kamu aku mau. Titik.”

Malang, itu sebuah antitesis belaka. Hakikatnya ia terasa rumit buat diperbuat. Oleh karena saking ruwetnya, perkara musykil ini jadi asal mula munculnya istilah pasif tadi. Efeknya pasti buruk. Sedianya telah aku perkirakan, namun perkiraan jadi tidak berlaku di sini. Sebab aku sudah sangat ngerti bakal begini dampaknya. Cuma aku tidak pernah melalukan tindakan pencegahan. Aku tidak kuasa membendungnya.

Tempo hari aku peroleh berita jika, ia bintang-angin malam-ombak, yang hendak aku ajak berkunjung ke ruang hati, yang aku pahat nama dan pajang fotonya, yang aku manifestasikan ke dalam banyak buku dan tulisan, ia yang aku rawat hampir tujuh tahun lamanya dengan ketulusan dalam intuisiku, aku dapati telah menyinggahi hati lelaki yang justru bukan aku.

Moga-moga kabar itu tidak benar dan pembawa kabar sedang bercanda belaka. Namun toh berita tersebut benar-benar akurat dan dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya... apa mau dikata. Yang pasti tidak akan ada siapapun berhak dikambinghitamkan. Tidak pembawa berita, tidak laki-laki yang beruntung itu dan tidak juga kau. Kejadian ini lebih berkausa pada keadaan stagnan berikut embel-embel pembelaannya.

Situasi ini memang serba sulit. Aku menunggu sekian lama, hanya untuk kau diembat orang, dan aku akan menanti lagi, dan kau telah jadi punya orang lagi dan aku akan terus menunggu. Berputar dan berulang. Ia jadi siklus. Barangkali tesisku, aku lebih pantas disebut pengagum ketimbang disebut pejuang. Bukan pejuang tapi pengagum. Ya, entah akan berapa lama dan sejauh mana ia hinggap di hati pria mujur itu. Apa mau dikata kalau sudah begini. Payah!

3 komentar:

  1. kenapa harus nunggu tujuh tahun buat mengatakan perasaanmu mas? masokis yaaa...hahhahah....
    love is when you tell her that you are in love with her, love is not silence and admire....love is when you are standing in front of her and tell the truth....

    BalasHapus
  2. Salam, Gie sy harapa baik dsna, akhirnya brknjung kmbali. Yah dripada jtuhnya mengharap, lbih dalam dan dalam lag, lbihi baik lakukan yg trbaik sehingga harpan itu tdk jdi angan2 dan kcewa ujung2nya, tpi jdikan sja sbuah pngabdian tulus. Jadi tringat slah stu lirik lagu Bang Iwan "Keinginan adalah penderitaan, memberi itu terangkana hati."

    BalasHapus
  3. super sekali tulisan anda, begitu juga nasib anda,, hhe

    BalasHapus