Pages

Senin, 25 Oktober 2010

Tukijo, Antagonisme Petani Yang Dizalimi

“Setiap 17 agustus Indonesia memperingati, katanya kemerdekaan Republik Indonesia. Tapi sementara masyarakat masih dalam penindasan,” kata Tukijo, petani pesisir Kulonprogo. Ia dikriminalisasi, lahan pencahariannya terancam digusur proyek pasir besi. Ketenangan hidupnya terusik.


Kaos hitam bergambar kepalan tangan bertuliskan “tolak tambang besi, selamatkan Kulonprogo” dan celana pendek cokelat dikenakan Tukijo ketika menemui saya di rumahnya, tiga hari lalu. Suguhan bermacam cemilan dan kopi Lampung menambah hangatnya perbincangan kami. Tukijo, petani cabe pesisir Kulonprogo, lahir pada 10 Juni 1966. Wajahnya oval, hidung pipih, berkumis tebal. Badannya tidak terlampau besar, tapi terlihat kekar.

Kediaman Tukijo terletak di Desa Karangsewu Dusun Gupit, Kulonprogo. Tiga tokoh pewayangan, Kresna, Puntodewo dan Werkudoro yang terbungkus plastik bening menghias dinding bata rumahnya. “Saya itu senang wayang, tapi tidak paham dengan urut-urutannya,” ujar Tukijo polos. Di bagian lain terdapat foto-foto perkawinan anak pertamanya, Eko Fitriyanto, menikah pada 2009. Meski rumahnya berbatu merah, ia tetap bersyukur, “walaupun masih seperti ini belum dilepo, ini jerih payah saya dari bertani,” ucapnya bangga

Tukijo menikahi seorang wanita bernama Suratinem. Dari perkawinan mereka beroleh dua anak. Selain Eko Fitrianto yang lahir pada 1987, anak keduanya Intan Dwi Subakti menyusul pada 1992. Intan baru saja menamatkan pendidikan di SMKN Pelayaran. Selama bertahun-tahun membina rumah tangga, kehidupan Tukijo serta keluarga dilingkupi ketenangan. Namun kenyamanan keluarga ini mulai terusik, ketika rencana penambangan pasir besi PT. JMI masuk ke desa mereka, mengancam pencaharian Tukijo lantaran lahannya akan digusur. ”Waktu pilot project berjalan, dilahan jadi bising akibat suara-suara mesin,” kata anak terakhir dari dua bersaudara ini. Ia juga menuturkan suara mesin pabrik itu bahkan terdengar sampai tempat tinggalnya.

Rencana tambang pasir besi ini memang menimbulkan kecemasan bagi Tukijo dan masyarakat pesisir umumnya. Ia menentang keras tambang merambah ke tanah kelahirannya. ”Masyarakat sekarang sudah banyak tahu, penambangan itu bentuk penjajahan,” ujarnya. Segala resiko dari perjuangannya akan dijalani, menurutnya daripada susah belakangan lebih baik pahit diawal. ”Masyarakat tidak mau alam ini rusak akibat ulah orang tidak bertanggungjawab, orang-orang yang hanya mengambil untung untuk dirinya tapi tidak mempedulikan orang lain.”

Pemahaman coba Tukijo berikan pada masyarakat sebagai bentuk antipatinya terhadap penambangan. ”Penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi,” kata Tukijo sedikit berapi-api. Tukijo beranggapan pemerintah telah memasukkan penjajah untuk menyerang rakyat, dengan penambangan. Pemerintah mendatangkan penjajah ke bumi Indonesia, berarti pemerintah telah menjajah masyarakatnya. Ia tidak sepakat bila Indonesia ini merdeka, sebab masyarakat belum pernah merasakan nikmatnya kemerdekaan. ”Yang saya tahu kemerdekaan itu sudah bebas dari rongrongan penjajah, dari pemerintah sendiri maupun bangsa lain,” ujar koordinator PPLP unit Karangsewu ini.

Persabungannya terhadap tambang membuat ia diintimidasi. Dulu teror sering diterima Tukijo, melalui pesan pendek di ponselnya. Beragam jenisnya, intinya berhati-hati saja melawan pemerintah. Pernah suatu waktu ada seorang kerabat dari desa tetangga, yang sekarang jadi salah satu penilai AMDAL, mengatakan lewat pesan singkat, ”Yo besok saya buatkan patung untuk mengenang jasa-jasa pak tukijo.” Tukijo tak pernah menanggapi, di benaknya sececah pun tiada kehendak melawan pemerintah, ia berjuang melawan penindasan.

Akibat penafiannya, Tukijo berurusan dengan hukum. Ia dilaporkan polisi oleh Kepala Dukuh Bedoyo, Karangsewu, Kulonprogo atas tuduhan pencemaran baik. Bermula pada 4 Mei 2009 saat Tukijo meminta hasil pendataan tanah magersari yang dilakukan Dukuh, bukannya disodori, Tukijo justru dikriminalkan. Dia dikenai pasal 310 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dukuh tersebut merasa kehormatannya telah diserang Tukijo dengan ucapan, ”Sampeyan dadi dukuh ora pinter, goblok, ora tanggung jawab, unah-unuh, sampeyan ora ngerti perkembangan sing ono, sampeyan harus tanggung jawab pada pendataan yang bapak lakukan.” Tuduhan tak beralasan, karena sepatah katapun tak ia lontarkan.

Menurut cerita Tukijo, Dukuh hanya diperintah kepala desa untuk mendata tanah magersari. ”Saya sebagai dukuh diperintah atasan, saya hanya sendiko dawuh tapi tujuannya tidak tahu,” kata Tukijo menirukan. Lantaran perintah atasan, Dukuh tidak mau bertanggungjawab bila data itu disalahgunakan. Tukijo sempat pula menanyakan maksud magersari dan luas penambangan, tapi Dukuh tak bisa jawab. Lalu, ”Menurut kontrak karya, luas penambangan itu sampai rumahnya Pak Dukuh. Kalau perjuangan masyarakat ini kalah, tempat tinggal Pak Dukuh juga akan ditambang,” Tukijo menjelaskan.

Pendataan tanah magersari memang cukup sensitif ditengah rencana penambangan pasir besi. Tukijo khawatir data itu digunakan sebagai bentuk legitimasi dari masyarakat. ”Kalau dibuat draft dan diubah warga setuju atas pertambangan, masyarakat sudah tidak bisa menolak. Walaupun masyarakat tidak menyatakan seperti itu.” Akhirnya Dukuh bersedia bertanggungjawab bila data disalahgunakan. Tak selang lama, tiba-tiba ia bersama beberapa teman lain mendapat surat panggilan dari Polres Wates. ”Itu yang melaporkan Pak Dukuh, tapi hanya sebagai tubuh saja, otaknya orang-orang penambangan,” ujarya kesal.

Tukijo terlihat kurus, berat badannya berkurang. ”Kemarin sebelum saya menghadapi kasus itu agak gemukkan. Sekarang kurus karena memikirkan masalah yang tidak kunjung usai,” kilahnya. Pernah dalam suatu kesempatan, seorang Kasat Intel berpesan pada Tukijo agar tidak berpikir terlalu berat. Tukijo menjawab, ”Yo tidak bisa. Kalau penambangan ini berakhir, batal saya akan tenang.” Ada juga seorang wartawan perempuan disitu, Si Kasat bertanya pada sang wartawan apakah kenal dengan Tukijo. Wartawan hanya tersenyum, dan disambar oleh Tukijo, ”Mbak kalau ingin tahu, inilah orang yang dikriminalkan, inilah korban dari rencana penambangan,” tegas Tukijo kala itu.

Tuduhan yang diarahkan padanya membuat Tukijo berurusan dengan hukum. Awalnya satu minggu dua kali ia harus apel ke kantor polisi, namun dalam perjalanannya menjadi satu minggu sekali setelah LBH Yogyakarta sebagai kuasa hukumnya menjamin, dirinya tidak akan lari. Ketika kasus dilempar ke kejaksaan, Tukijo kembali menjalani masa apel dua kali seminggu. Lalu sampailah kasus tersebut ke meja pengadilan.

Berkali-kali ia mesti mengikuti persidangan. Waktu yang seharusnya digunakan untuk bercocok tanam, menafkahi keluarga, terbuang mubazir. ”Saya jelas rugi, dari awal sampai akhir kalau saya rupiahkan sudah cukup untuk memadai kebutuhan keluarga,” keluh Tukijo. Keluarganya sering menangis. Posisi Tukijo sebagai tulang punggung membuat anak istrinya khawatir akan kelanjutan hidupnya nanti bila Tukijo di bui. Selain itu juga mesti ikut direpotkan, menjalani proses hukum.

Beruntung keluarga tulus mendukung perjuangan lelaki yang pernah merantau ke Lampung ini. Begitu pula warga ikut peduli, masyarakat tahu Tukijo berjibaku demi batalnya tambang besi PT. JMI, untuk kesejahteraan warganya. ”Ini tidak hanya saya sendiri, masyarakat luas akan dirugikan, mungkin bukan hanya masyarakat pesisir, mungkin masyarakat kota juga,” katanya sambil menghisap Gudang Garam.

Ia berpikiran bila tambang terlaksana, masyarakat korban eksploitasi akan berbondong ke kota mencari pekerjaan baru. Buntutnya masyarakat kota dirugikan, posisi mereka tergeser. Bila tidak dapat kerja seuasai keinginan, jadi kuli bangunan pun akan dilakoni. Tapi jika tak dapat pencaharian sama sekali, di kota mungkin akan jadi gelandangan, copet bahkan perampok. ”Kalau pemerintah berpikir, itu akan jadi pekerjaan pemerintah juga, tapi pemerintah tidak merenung sejauh itu,” ujarnya.

”Katanya indonesia ini negara agraris, Indonesia yang hidupnya bertani. Tetapi kenapa akan diubah jadi negara industri?” Tukijo melempar pertanyaan. Ia menyayangkan bila negara ini beralih jadi negara industri, dampaknya akan banyak tunakarya, ”Pengangguran akan meresahkan masyarakat, juga menambah pekerjaan pemerintah. Kalau pemerintah itu tanggungjawab pada masyarakat, kalau tidak?” sesal Tukijo.

Kini kasus Tukijo masih berproses, terakhir ia mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi tapi keputusannya sama saja dengan Pengadilan Negeri. Ia kecewa begitu mendalam pada penguasa dan aparat penegak hukum di Indonesia. ”Pemerintahnya saya kecewa, sekarang negara amburadul seperti ini. Juga penegak-penegak hukumnya, saya prihatin sekali,” tuturnya. Seharusnya pemerintah mengabdi pada masyarakat, tapi disalahgunakan. Masyarakat dijadikan budak oleh penguasa, “Pemerintah itu abdi masyarakat, pemerintah bekerja untuk masyarakat. Penegak hukum harus melindungi kebenaran tapi ternyata tidak,” ujar Kelep –nama paraban yang disematkan teman-temannya saat sekolah dasar dulu. Konon ketika itu Tukijo akan bermain bola, tapi bola yang digunakan kempes, lalu pinjam pompa, tapi kelep pompanya rusak. Ceplas-cepos sang kawan meminta Tukijo jadi kelep–

Interpretasi Tukijo, hukum di Indonesia bisa dirupiahkan. Ketika orang bermasalah itu punya uang, walaupun salah pasti akan menang. Tapi saat orang yang bermasalah itu tak berduit, meskipun tidak bersalah akan kalah. Dirinya sebagai petani tidak punya rupiah, “Walaupun saya tidak bersalah itu akan kalah, ternyata betul kekhawatiran saya sudah terjawab ketika saya divonis oleh majelis hakim, saya tahu bahwa penegak hukum di Indonesia ini memang busuk,” kata Tukijo.

Menjadi petani tak pernah disesali Tukijo, meski ia harus kalang kabut menandingi tambang. Dimatanya, bertani adalah pekerjaan paling mulia. ”Petani itu tidak pernah korupsi, tidak bisa korupsi. Kalau petani korupsi akan mati,” ujarnya. Ia mencontohkan, bila petani mengurangi pupuk hasilnya mengecewakan. ”Seharusnya lahan itu dipupuk satu kuintal, kok dipupuk setengah kuintal itu hasilnya akan kurang. Petani menyirami tanaman satu hari satu kali, kok disirami sepuluh hari satu kali akan mati,” mengumpamakan.

Darah petani mengalir dari kedua orang tuanya. Ibu Tukijo, Noto Sutrisno seorang pencocok tanam. Begitu pula ayahnya Wagiman. Sang ibu yang bernama muda Wagiyah masih sehat sampai sekarang, hanya tak sanggup lagi mengolah lahan. Kepedihan melanda Tukijo, ia tak pernah melihat langsung wajah bapaknya. Ayahnya telah tiada saat Tukijo dalam kandungan, “Karena sakit mungkin,” tutur Tukijo, sementara asap mengepul dari mulutnya.

Ada sebuah anekdot, rokok jadi bagian tak terpisahkan dari pria berkulit hitam ini. Tukijo merokok sejak kelas 2 sekolah dasar. Saat musim panen, ibunya menjajakan makanan juga rokok di sawah. Ibu Tukijo heran, bungkus rokok jualannya sering terbuka padahal ia tidak merasa membuka. Usut punya usut, Tukijolah pelakunya. ”Dulu rokok itu yang ada cuma, Gudang Garam Merah sama Pompa. Saya milih Gudang Garam,” katanya. Sebungkus rokok dalam sehari, masih kurang baginya.

Bertani telah dilakoni selama 24 tahun, pada 1986 tepatnya. Tukijo sempat merantau 8 bulan di Lampung, menjadi buruh petik di lahan kopi sekaligus tukang angkutnya. Kehidupan di Lampung menempa dia untuk jadi pemberani. Tukijo berkisah, bercocok tanam di propinsi gajah itu mengerikan, ”Mengangkut hampir 1 kuintal. Itupun melewati jembatan sungai, yang dibuat dari semacam kabel listrik,” terawangnya. Dari jembatan ia menuju jalan raya, memanggul hasil petikan kopi, berjalan sejauh kira-kira 15 km.

Sepulang dari Lampung, Tukijo berinisiatif membuka lahan di pesisir Kulonprogo. Tanaman pertamanya ubi, kentang kleci, kacang-kacangan, dan padi bila musim hujan. Karena hasil yang diperoleh dirasa kurang, ia coba tanam cabe. Padahal kondisi tanah daerah sekitar tidak memungkinkan untuk tanaman pedas itu karena termasuk lahan kritis. Hasil awal memang tidak memuaskan, belum ada satu kilo pertama petik, ”Tapi saya sudah bangga sekali karena keberhasilan saya mencoba,” tukas Tukijo bersemangat. Saat hasil cabe Tukijo mulai membawa untung, teman-teman petani lain pun mengikuti jejaknya. Selain cabe, Tukijo juga membibitkan pare, juga kacang panjang.

Kehidupannya sedikit banyak telah berubah. Ketentramannya sirna setelah tambang PT. JMI datang. Ia belum bisa tenang, sebab kasusnya masih bergulir. Segala kemungkinan bisa terjadi. Keluarga lebih tidak tenang lagi, masyarakat pun juga. “Kekhawatiran masyarakat ketika nanti melakukan pejuangan melawan penjajah atau kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat, akan mudah sekali mereka (aparat) menjebloskan masyarakat,” tutur Tukijo. Ia berkeinginan melihat penegak hukum menjalankan tugas sebenar-benarnya. Orang bersalah itu harus dipenjara, orang yang benar harus dibebaskan.

Perjuangannya selama ini tanpa pamrih hingga ia harus dikriminalisasi, murni untuk kepentingan masyarakat. “Yang saya jalankan untuk masyarakat luas, untuk kaum tani, untuk kaum lemah.” Harapannya, jangan sampai masyarakat kecil selamanya ditindas orang-orang haus harta. “Saya tidak pernah bangga, tapi sedih dan prihatin. Saya akan merasa bangga kalau masyarakat ini lepas dari cengkraman penjajahan,” Tukijo menutup obrolan siang itu.

2 komentar:

  1. Salam Gie, meski tidak mengikuti kasus di atas, kita cukup terkesima dengan tulisan ini. Bagaimana hukum di Indonesia yg mengatur hal trsebut sebenarnya?

    BalasHapus