Minggu, 02 Mei 2010
Imajinasi Televisi
*Ini tulisan waktu awal saya belajar menulis.heheheeee
Berbicara televisi maka kita akan tertuju pada satu keajaiban. Mengapa saya bilang keajaiban, karena dengan “kotak ajaib” tersebut dapat membawa kita ke berbagai tempat, melihat bermacam peristiwa, mengenal budaya–budaya bangsa lain, kita dapat menyaksikan berbagai jenis film, dari film kartun, drama, biografi, aksi, edukasi, musik dan lain sebagainya. Dari semua yang kita dapatkan itu, tidak semuanya benilai positif. Malah bisa di bilang jauh dari nilai positif, bisa dibilang hal yang diperoleh dari televisi tidak banyak membawa manfaat, meskipun masih ada program yang tetap menjunjung tinggi moral.
Bagi segenap masyarakat yang telah dewasa tentu dapat memahami dan memilah mana acara yang patut ditonton, dan mana yang harus dihindari. Walau tidak semuanya tapi bila dibandingkan dengan anak–anak pengaruh televisi sangat terasa bagi psikologis anak. Efek yang ditinbulkan amatlah beragam, dari yang baik hingga buruk. Dan kebanyakan membawa pengaruh buruk bagi perkembangan si anak.
Efek buruk yang dialami anak terjadi karena ketidakmampuan anak membedakan kehidupan di televisi dengan kehidupan nyata. Bagi anak–anak apa yang terjadi di televisi diasumsikan terjadi juga di kehidupan nyata. Padahal kita semua tahu apa yang ada di televisi itu sebagian besar hanyalah fiktif belaka. Sebagai contoh anak, melihat sebuah film action yang disitu bintang utama ialah tokoh idola anak–anak, semisal batman, superman, ataupun spiderman yang biasanya dalam film–film tersebut mempertontonkan adegan kekerasan, adu fisik, berkelahi antara si lakon dengan musuhnya dengan jargon “membela kebenaran, memberantas kejahatan”. Dari tayangan itu seorang anak akan berimajinasi untuk meniru apa yang dilakukan pahlawan idolanya itu, mempraktekan apa yang dilihatnya itu ke kehidupan nyata. saat anak bermain dengan teman sebayanya, permainan yang dilakukan oleh anak tidak jauh dari alur cerita film–film itu. Bermain perang–perangan, dengan senjata atau tangan kosong ada yang jadi musuh dan ada yang menjadi pahlawannya lalu adu fisik. Awalnya hanya main–main hingga tidak jarang terjadi adu fisik sungguhan ada yang terluka, memar, hingga membahayakan jiwanya. Bahkan belum lama ini ada anak yang dianiaya oleh temannya, setelah ditanyai oleh beberapa pihak alasannya ia memukuli temannya karena ingin meniru para jagoannya di acara smackdown.
Tidak hanya film bergenre kekerasan saja yang menjadi imajinasi anak, bahkan anak jaman sekarang sudah tahu hal–hal yang bukan menjadi kepribadian anak pada umumnya. Parameternya begini anak di masa pertumbuhannya adalah masa dimana anak tertarik untuk mengenal sesuatu dan ingin mengaplikasikannya. Sebagai contoh, sinetron sekarang sudah bukan sekedar konsumsi orang dewasa saja tetapi juga anak kecil. Karena anak keseringan menonton sinetron, yang di dalam sinetron tersebut ada adegan sepasang kekasih sedang berciuman atau berpelukan, maka dampaknya ialah anak menjadi tahu kemudian tertarik ingin meniru adegan berciuman atau berpelukan itu. Ini satu kisah nyata, saat itu saya berada di suatu daerah, di daerah tersebut ada beberapa anak kecil sekitar usia 6–8 tahun yang sudah cukup akrab dengan saya, secara tiba–tiba salah satu dari beberapa anak tersebut dengan lugunya berkata kepada saya, “ mas si mawar minta dicium lho.” Sungguh sesuatu yang tidak saya duga karena jauh dari tipikal anak seumurannya, separah itu kah dampak yang ditimbukan dari televisi.
Apa yang disampaikan di atas hanya sebagian kecil realita buruk di lingkungan sosial kita, masih banyak realita yang terjadi seperti anak yang sudah bisa berdandan meniru gaya artis favorit yang dilihatnya di televisi, gaya bicaranya yang sok artis, suka tebar pesona dan lain sebagainya. Apalagi sekarang sedang “hot-nya” artis cilik seperti baim, yang bermain didalam beberapa judul sinetron dan menjadi idola di semua kalangan dari anak–anak hingga yang orangtua. Dengan hadirnya baim tersebut akan membawa imajinasi anak kepada artis yang masih seusianya itu. “Si baim aja boleh dicium, kenapa kami tidak”, “Baim saja bisa berdandan bak model, lalu kami juga ingin seperti dia”. Sesuatu yang sangat dilematis, demi kepentingan komersialisasi lalu memperjualkan anak dibawah umur, kemudian berdampak adanya pengaruh buruk bagi para pemirsanya khususnya anak–anak.
Efek lain yang ditimbulkan ialah anak menjadi pasif dan tidak kreatif, karena seluruh waktunya dihabiskan di depan televisi. Masa kanak–kanak ialah masa dimana mereka sedang senang untuk bermain dan berkreasi tetapi televisi telah menyita kreatifitasnya dan waktu bermainnya di luar. di siang hari selepas pulang sekolah kita tidak mendengar suara ribut anak–anak berlarian, berkejar–kejaran, di sore hari anak–anak yang semestinya bermain bola dilapangan, kini jarang tampak lagi, karena sebagian dari mereka sedang asik menyaksikan film di tv yang di mata mereka film itu sedang seru.
Pada masa pertumbuhan bagi anak, seharusnya mereka di arahkan ke hal–hal yang membawa manfaat. Dengan bermain kejar–kejaran bersama temannya anak dapat belajar bekerja keras untuk memperoleh sesuatu, bermain bola melatih anak untuk belajar bekerja sama, belajar dan bermain dengan alam atau anak–anak dapat mengikuti kegiatan positif lain semacam TPA. TPA yang biasanya diadakan sore hari selain memberikan pelajaran tentang agama, belajar ngaji disitu juga menjadi sarana mengembangkan kreatifitas anak. Sehingga daya pikir anak terasah, dan menjadi kreatif.
Pengaruh buruk yang sangat memprihatinkan lagi ialah anak jadi malas belajar dan meninggalkan ibadahnya. Sebagai generasi penerus bangsa sudah barang tentu mereka menjadi harapan bagi masa depan keluarga dan bangsanya, namun lagi–lagi televisi sudah memupuskan harapan itu. Di malam hari waktu dimana yang seorang anak seharusnya belajar namun waktunya tidak dimanfaatkan untuk belajar. Acara televisi lebih menarik bagi si anak ketimbang belajar yang membosankan. Saat sudah masuk waktu solat, anak–anak tetap saja dengan cueknya tidak berpindah dari depan televisi dan ketika diingatkan untuk solat oleh orang tuanya, jawaban si anak adalah “ bentar mah, lagi nanggung neh filmnya”.
Para produser acara tv sungguh sangat jeli menyusun strategi bisnisnya. Dengan meletakan acara yang dianggap sebagai acara unggulan stasiun tv tersebut dan hanya untuk mencari kepentingan komersial semata dijam–jam utama dimana seharusnya menjadi jam belajar masyarakat, antara jam 18.00–21.00. Pada waktu–waktu itulah acara televisi sedang bagus–bagusnya. Jam 6 sore saat masuk waktu solat maghrib, televisi malah menayangkan film kartun, anak mana yang tidak suka film kartun. Sungguh sangat ironis padahal disela–sela film itu ada adzan untuk mengajak solat tetapi kebanyakan anak tetap saja berada di depan tv seakan–akan tv itu telah menghipnotisnya untuk tidak berpaling dari televisi. Setelah dicekoki dengan film kartun anak–anak kembali dimanjakan dengan acara lain, semacam sinetron, reality show dan lain sebagainya. Lalu kapan waktu belajar bagi si anak?
Ada beberapa orang yang secara ekstrim sengaja tidak menyediakan televisi di rumahnya. Karena mereka berpendapat acara televisi banyak membawa mudhorat ketimbang manfaatnya. Dasar argumentasi mereka ialah, dengan melihat secara faktuil tayangan televisi semacam infotaiment, reality–reality show terkesan hanya menjual keglamouran, dan menumbuhkan budaya hedonisme. Sebagai contoh ada seorang artis dengan gaya rambutnya yang baru lalu membuat geger seantero nusantara dengan bahasa yang dilebih-lebihkan, seolah–olah itu menjadi sesuatu yang penting untuk diekspose, mengulik kehidupan pribadi si artis hingga borok - boroknya, seakan menjadi kebanggaan dan memberikan “pelajaran” gratis bagi kita bagaimana tekhnik menggunjing orang yang baik. Adegan–adegan kekerasan meski sudah banyak korban berjatuhan juga tetap tidak pernah surut. Mulai kontroversi acara smackdown, lalu tayangan–tayangan berbau mistik, horor yang merusak keimanan seseorang tetap saja ramai ditayangkan. Untuk mengejar rating tinggi, lalu mengabaikan nilai kepatutan dimasyarakat.
Sudah saatnya peran orang tua menjadi amatlah penting bagi perkembangan psikologis si anak. Tidak harus dengan melarang secara frontal untuk tidak melarang nonton televisi tetapi cukup dengan pengawasan secara berkesinambungan. Tidak semua acara televisi itu buruk, meskipun hanya 10 % saja yang membawa manfaat setidaknya itu lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Misal Film kartun Spongebob, sesunguhnya dalam film itu terdapat pelajaran berharga tentang akhlak yang baik, yaitu mengajarkan kita untuk selalu berprasangka baik terhadap tetangga kita atau pun pada siapa saja. Jika kita cermati pada film itu, spongebob begitu dibenci oleh squirtwerd tetangga sebelah rumah nanasnya. Berbagai cara digunakan oleh squirtwerd untuk menghindar dari spongebob, meski begitu si spongebob dengan kekonyolannya tetap saja berlaku baik kepada squirtwerd tanpa sedikit pun menyimpan rasa dendam. Tetapi sayangnya acara tersebut ditayangkan pada jam–jam yang kurang tepat. Namun begitu masih ada beberapa program lain yang cukup bermanfaat seperti acara berita, penyegaran rohani, film edukasi, dan lain sebagainya adalah acara yang masih memiliki nilai positif untuk ditonton.
Peranan orangtua menjadi suatu kebutuhan pokok untuk dapat mendampingi putra putrinya saat menonton acara ditelevisi dan lebih baik melarang jika acara tertentu tidak sesuai dengan usianya. Agar anak dapat memahami dan tidak menerima mentah apa yang dilihat. Karena namanya anak kecil tentu akan selalu tertarik pada hal–hal yang menyenangkan baginya., berimajinasi kemudian mengimplementasikannya. Untuk pihak pengelola stasiun televisi sudah sepatutnya melihat dan mendengar apa yang telah terjadi di masyrakat kita. Jangan lalu menjadi apatis, tidak mau tahu yang penting acaranya laku, uang terus mengalir tapi berpikirlah secara rasional bahwa apa yang ditawarkannya itu akan menghancurkan masa depan anak sebagai generasi penerus bangsa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar