Pages

Sabtu, 01 Mei 2010

Koran Pagi Ini : Hukum Ajaib


Membaca Koran pagi ini, membuka salah satu rubrik, terdapat judul berita yang cukup menohok dimata, judul yang menarik, Penegakan Hukum Ajaib. Asumsi awal saya, akan ada berita baik yang akan disampaikan, tidak melulu cerita tragis tentang ketidakadilan yang dialami sebagian anak manusia yang tidak sanggup membayar hukum atau berita tentang pejabat yang memberi uang belanja kepada aparat supaya dapat lolos dari jeratan hukum. Sayang, tebakan itu meleset, asumsi saya salah. Lagi-lagi berita tentang ketidakadilan yang saya dapat, berita tentang busuknya hukum di Negeri ini.

Orang itu bernama Lengan Warsiam (50), seorang tukang pijat tuna netra dan suaminya, Muhammad Nuh (45) yang juga seorang tunanetra. Profesi tukang pijat dan ganja telah membawa mereka mendekam dipenjara. Mereka masing dihukum 15 dan 18 tahun penjara. Cerita berawal ketika pelanggan pijatnya datang ke rumah tempat mereka praktek di Kabut Sidorukun, Kecamatan Bilahilir, Kabupaten Labuhan Batu Sumatera Utara dan menitipkan dos mie diruang tamu, tanpa diketahui tiba-tiba polisi datang menggrebek rumah mereka dan menemukan 10 bungkus ganja. Warsiam dan Nuh dituntut dan dihukum, hakim meminta mereka berdua untuk mengakui jika ganja tersebut miliknya.

Mengaitkan permasalahan tersebut dengan Konsep hukum non tekstual akan ada tali yang menghubungkan keduannya. Penulis melihat hukum yang diterapkan secara sistematik akan berdampak pada kemungkinan munculnya hegemoni kekuasaan dikalangan aparat penegak hukum kita. Mungkin sudah banyak tulisan yang membahas mengenai hal tersebut, tetapi memang permasalahan klise tersebut tidak pernah selesai. Analisa penulis pada kasus diatas, aparat yang punya kuasa untuk menjerat seseorang dengan pasal-pasal tertentu telah menggunakan kekuasaannya dengan kemudian meletakan secara paksa aturan tersebut bukan pada tempat semestinya. Perspektif yang dilihat bukan lagi aspek sosiologis, namun terjebak dalam tulisan dan ejaan dalam undang-undang. Seperti sebuah kendaraan, ada orang, ada motor dan ada bahan bakarnya, dengan begitu orang bisa menggerakan motor sesuka hati akan dibawa kemana. Sama halnya dengan hukum, selama sudah ada pelaku (walau itu belum tentu benar), dan sudah aturannya, maka hukum dapat digerakan sekehendak hati orang yang punya kewenagan untuk menggerakannya. Jika boleh ditarik lebih jauh lagi, penulis akan mengambil kesimpulan, kasus tersebut telah ditunggangi pihak-pihak tertentu, dalam artian pelaku sebenarnya telah menumbalkan kedua tukang pijat tersebut sebagai korbannya. Atau mungkin malah ada kongkalikong, antara pelaku dengan aparat, apabila melihat kondisi sekarang ini dimana moral sudah menjadi barang yang sangat langka, sehingga sulit dicari apalagi dimiliki tentu boleh saja kita berasumsi seperti itu.

Dari cerita diatas, yang hanya segelintir kisah potret buram bobroknya penegakan hukum di Indonesia, aparat telah bertindak begitu represif, dengan kemudian melupakan aspek kepatutan yang seharusnya bisa menjadi pertimbangan. Point penting yang bisa diangkat disini ialah, dari kacamata orang awam (pada kasus tersebut), aparat baik kepolisian maupun hakim tidak menggunakan logika berpikir mereka dalam mengambil keputusan. Untuk kali ini saya sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, dimana ia meminta aparat menggunakan logikanya dalam melihat kasus ini. Bagaimana mungkin seorang buta, bisa melihat siapa-siapa yang masuk kemudian menggunakan jasanya, bagaimana dapat tahu jika ternyata barang tersebut berisi ganja. Koran pagi ini telah membuka kembali, busuknya hukum di Negeri ini. Selanjutnya kita tunggu saja kemana kasus tersebut akan mengalir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar