Ini sudah Idul Fitri ketiga aku datang ke kota J. Tak perlu aku bilang namanya. Tiap hari raya tiba, biasanya aku turun gunung mencari nafkah disana. Sendirian dengan mengendarai bus. Simbah aku tinggalkan sejenak di kediamannya. Aku jadi pemungut koran. Peruntunganku bergantung pada jumlah jamaah solat Ied yang membawa surat kabar sebagai alas sajadahnya. Makin banyak, kemungkinan mengeruk rupiah kian besar. Meski aku juga harus berebut dengan pengumpul koran lain.
Namaku Slamet Legiman. Sepintas terdengar seperti nama orang Jawa kuno. Cerita simbahku, aku lahir tidak menangis. Orang sekelilingku belingsatan kala itu, telah mati pula diriku yang masih orok bau darah ini. Baru beberapa menit kemudian isakanku untuk pertama pecah. Karena lolos dari maut, ibu menyematkan nama Slamet. Legiman pemberian simbah, diambil hari pasaran Jawa waktu kemunculanku, Kamis Legi, sepuluh tahun lalu, pada 1998 tepatnya.
Usiaku sekarang sudah 12. Aku tinggal di gubuk reot beranyam bambu di pelosok Gunungkidul. Bersebelahan dengan kandang ayam. Tempat tinggalku berdekatan dengan rimba. Pepohonan masih kokoh dan lebat. Hanya berdua aku menetap bersama simbah. Lima bulan sesudah kelahiranku, ibu merantau ke Jakarta.
Di Jakarta ia jadi buruh bangunan. Upah yang diterima tak seberapa, untuk menghidupi diri mungkin susah. Sering kami di kampung tak dapat kiriman uang darinya. Sejak bapak tiada karena kecelakaan, saat aku dikandungan umur tujuh bulan, ibu jadi penopang hidup kami. Sedangkan simbah, simbah terlampau tua untuk bergiat. Lelaki ini telah 75 tahun hidup. Rambut sudah rontok, walau masih tersisa sedikit uban di kepalanya. Muka kisut, berkerut dan nampak lelah. Raganya terlihat mulai rapuh.
Terkadang simbah memaksakan diri berburu belalang di hutan. Untuk dijajakan di pinggir jalan raya. Aku sudah melarang karena alasan kesehatan, tapi kemauannya keras, ”nek ora ngene awak dewe mangan opo ngger, ibumu ra iso diarepke. Mesakne simbokmu, urippe kelunto-lunto.” Adakalanya aku ikut berburu. Jalan-jalan hutan sudah hafal aku, siapapun orang ingin berjelajah tak mungkin tersesat bila ada aku mendampingi. Sekali berburu belum tentu panen berlimpah, sesekali tak membawa hasil. Bila tak ada hasil, terpaksa libur berjualan. ”Mesti diikhlaskan juga, kan tiada guna disesali.”
Usai menangkapi belalang, ikut serta aku mendagangkan. Sehari kadang memajang lima renteng. Jangan berharap untung banyak, terjual satu renteng saja sudah baik. Satu renteng berisi sekitar sepuluh belalang, aku tak tahu harga pastinya, karena simbah yang sering tawar menawar dengan pembeli.
Aku telah lama putus sekolah, sejak kelas dua sekolah dasar. Biaya pendidikan semakin mahal, tak sanggup dijangkau keluargaku yang miskin. Tapi aku tetap belajar mandiri, dari berbagai hal yang bisa aku pelajari, prinsipku, ”satu hari setidaknya aku beroleh satu ilmu.”
Memungut koran jadi kerjaan sampinganku. Dua kali dalam setahun aku pasti mengunjungi kota J, saat Idul Fitri dan Idul Adha. Pagi sekali sebelum solat Ied dimulai aku sudah berjaga di pinggir lapangan. Selain aku hadir pula pengemis segala usia, dari balita hingga tua renta. Pemulung, tukang balon, penjual arum manis, serta masih banyak macamnya.
Memang kurang mujur aku hari ini, tak banyak koran pungutanku. Kalah cepat dengan orang dewasa yang lebih besar badannya. Aku jual sedapatnya ke pengecer diujung jalan sana, tak jauh dari lapangan tempat ibadah. Hanya dihargai 30 ribu. Ahh .. ini cuma cukup untuk ongkos balik kampung pikirku. Kesal juga, namun tak apalah, aku yakin Allah telah mengatur rejeki hambaNya.
Aku pulang sedikit membawa kecewa. Selama perjalanan aku refleksikan jerih payah dan hidupku. Aku bukan orang berada, untuk sesuap nasi saja sulit. Tiba-tiba terbayang sosok wanita yang melahirkanku. ”Ibu, anakmu mendoakanmu selalu, agar kau selamat diperantauan sana. Rindu aku padamu, bu!”
Aku tidak berharap kiriman baju baru darimu di hari fitri ini. Pakaian rombeng dari kain goni yang menempel di tubuhku cukuplah membuat aku untuk bersyukur. Tidak pula sepatu berkilap. Sandal jepit usang milikku masih bagus dan jauh lebih bernilai ketimbang apapun. Bagiku lebaran bukan soal kemewahan, kemenangan bukan pula kesombongan. Idul Fitri adalah bagaimana memaknai dengan kerendahan hati, serendah-rendahnya, tulus menerima, dan peduli pada sesama.
Cuma satu aku damba, melanjutkan sekolah. Aku sadar kau belum mampu membiayai pendidikanku, dulu dalam suratmu pernah kau larang aku bekerja. ”Tapi kali ini ijinkan aku membantumu, bu!” Meringankan bebanmu. Kasihan aku sama ibu juga simbah, bukan saatnya lagi ia membanting tulang.
Sebagian penghasilan nanti aku tabung untuk modal sekolah, sisanya aku berikan pada simbah, biar dia yang kelola. ”Aku akan menafkahi hidupku dengan caraku sendiri, halal pastinya kerjaku, bu!”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Mengharukan sekaligus berkesan melihat sebuah perjuangan hidup dari anak kecil di atas Gie. Zaman ini banyak kasus seperti di atas. Sebenarnya apa yg salah?
BalasHapusKarena respect, protect dan fullfill tidak dilakukan oleh negara sebagai representasi dari HAM. Amanat UUD 45 anak terlantar dan orang miskin dipelihara negara, sayang itu cuma normatif tanpa aplikatif. Sebaliknya bila ada peraturan yang merugikan orang miskin, negara tanpa basa basi bisa represif. Ironisnya lagi aturan itu tidak berlaku bagi pejabat atau mereka yang berduit.
BalasHapus