Pages

Kamis, 09 September 2010

Mengaji

Adzan berkumandang di Masjid di suatu kampung tengah kota Yogyakarta. Telah masuk waktu Isya di malam ke 13 Puasa. Kondisi lingkungan Masjid cukup unik. Mayoritas warga beragama Islam, namun ada tetangga sekitar Masjid kaum non Muslim. Toleransi jelas harus dibina dan dijaga. Tadarusan jadi rutinitas bertahun-tahun tiap habis tarawih. Beberapa anak perempuan dan lelaki berkala hadir, juga orang-orang dewasa perantauan, hanya sedikit pribumi. Apalagi anak muda, tipis antusiasme melafazkan Quran untuk memakmurkan Masjd di bulan Ramadhan. Mungkin minder atau belum masyhur ditelinga mereka jika satu huruf Al-Quran yang dibacanya berbalas sepuluh kebaikan. Alif Lam Mim tidak satu huruf, tapi terpisah. Alif, satu huruf dan Lam satu huruf serta Mim satu huruf.

Pengeras suara berputar, dari satu orang ke orang lain. Bila telah habis ruku, pembaca berganti. Mendayu-dayu ayat Allah dilagukan, terasa sejuk. Ada keinginan menirunya, hanya suara terdengar sumbang. Sadar kemampuan rendah, cukuplah saya dengan nada datar saja. Sebagian bocah tampak tak lancar mengeja huruf arab keriting berderet. Terkadang lucu juga, mendengar suara anak kecil dengan polosnya melafazkan Quran, sering tidak fokus pada bacaan dan banyak polah. Tapi pikir saya patut dihargai, setidaknya mereka tak malu dan mau belajar walau harus gopah-gopoh berucap. Seperti dikatakan H.R Bukhari Muslim, orang yang masih terbata-bata membaca Al-Quran tetap diberi kenikmatan berupa pahala dua kali lipat. Seraya mengaji, makan dan minuman ta’jil dibagi.

 Semakin malam, sejumlah orang mulai meninggalkan masjid. Tapi tidak untuk anak yang satu ini. Dari tempat saya bersila, seorang bocah laki-laki bermata belo, dengan tatapan lugu sedang diajari mengaji oleh ayahnya. Awalnya ia datang bertiga, hanya dua temannya lebih dulu pulang. Si anak melafalkan Quran dengan tersendat-sendat, mujur sang ayah telaten menuntun anaknya. Didekatkan wajah ayah ke telinga si anak. Agar mulutnya yang membimbing dapat didengar. Si anak tampak mengikuti, seolah tanpa malas sedikit pun. Perlahan, penuh pendalaman. Sekujur tubuh serasa merinding menyaksikan peristiwa itu.

Sempat terbatuk juga dia, mungkin tenggorokannya sudah kering atau sedikit tersedak karena kesusahan. Saat tiba giliran ayah mengaji, diserahkan pengeras suara ke anaknya. Si anak berontak memasang muka naif, tak mau mengeluarkan suara, ia masih malu. Berlarilah anak menjauh, menjatuhkan diri ke karpet. Dilebarkan tangannya ke atas kepala dan kakinya mengangkang. Ayah tak memarahi, paham anaknya belum terlampau cakap. Afeksi luar biasa di bulan Ramadhan.

Dilematis memang, disaat anak-anak menaruh perhatian penuh pada Al-Quran, separuh orang dewasa menyentuh saja mungkin tidak, bahkan bisa jadi melupakannya. Saat ini yang dibutuhkan adalah keberanian untuk mencoba. Mencoba membaca, menumbuhkan keberanian belajar dari diri sendiri, tak takut malu dan salah, apalagi sampai minder mengaji. Kita bisa meneladani kisah Abdullah bin Mas’ud salah satu sahabat Nabi, orang ke 6 yang masuk Islam pada periode awal Muhammad diangkat menjadi Rasul. Rasulullah pernah berkata, bila Abdullah akan jadi orang terpelajar. Terbukti kelak ia jadi ahli hukum Islam dan penghafal Al-Quran. Ia juga berani menentang kesombongan kaum Quraisy, bahkan menjadi laki-laki pertama yang melantunkan Quran dihadapan para pemimpin Quraisy. Walau lemparan batu harus menghujami raganya. Zubair bin Awwam pun memujinya sebagai sosok berani dan gagah perkasa.

Generasi sahabat juga menjadi generasi terbaik (Khairul Qurun), karena memiliki interest pada Al-Quran. Rikza Maulan, Direktur Institut for Islamic Studies & Development Jakarta, dan Sekretaris Dewan Pengawas Syariah Takaful Indonesia pada blognya mengutip tulisan Sayid Qurtub dalam ma'alim fit thariqnya, ia mengatakan ada tiga faktor para sahabat mendapat predikat Khairul Qurun. Pertama, menjadikan Al-Quran satu-satunya sumber dan asas, guna menjadi pegangan hidup mereka sekaligus dalam waktu bersamaan membuang jauh berbagai sumber dan falsafah hidup lain. Kedua, ketika membacanya mereka tidak memiliki tujuan-tujuan untuk tsaqafah, pengetahuan, menikmati keindahan ataupun tujuan-tujuan lainnya. Orientasiya hanya untuk mengimplementasikan keinginan Allah dalam kehidupan. Dan ketiga membuang jauh hal-hal yang berhubungan dengan masa lalunya ketika Jahiliyah. Mereka memandang Islam sebagai titik tolak perubahan yang sama sekali terpisah dengan masa lalu, baik yang bersifat pemikiran ataupun kebudayaan. Sepintas terdengar sedikit konservatif, tapi paling tidak dapat dijadikan acuan bila Allah tidak akan menurunkan derajat hambanya yang membaca Al-Quran, justru Allah menjanjikan mengangkat derajat manusia.

Belajar dari Filantropi anak dan ayah, dengan mengajarkan Al-Quran pada anak, harapannya si anak jadi sosok religius yang selalu mengingat dan menyembah Allah di setiap helai nafasnya. Kelak dewasa ia tidak melupakan kitab yang jadi petunjuk hidup manusia, kitab tanpa keraguan didalamnya. Seyogianya tulisan ini dijadikan kontemplasi, menyadari dan membenahi diri. Diriwayatkan Al-Bukhari, sebaik-baik manusia ialah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya, seruan Nabi pada umatnya empat abad lalu yang kini mulai ditinggalkan. Menjelang peringatan Nuzulul Quran, mari berlomba menjadi Ahlul Quran dengan keberanian, komitmen dan keikhlasan untuk mengejar surga Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar