Pages

Kamis, 09 September 2010

Wanita Perantauan

Seorang perempuan dari tempat jauh, terpisah pulau, mengirim pesan pendek tadi sekitar pukul tujuh malam lebih sedikit. Sepulang tarawih baru saya baca. Singkat ia menyatakan rasa rindu sangat mendalam pada saya, lelaki yang sudah dikenalnya sejak masih bocah. Telah lama tak berjumpa, sekarang ia ada di daerah rantau. Sesaat suasana berubah pilu, mendengar kabarnya dalam pengelanaan. Di ceritakan ia sedang dalam kondisi tak sehat, diare serta mulut terus mengeluarkan makanan yang belum sepenuhnya tercerna dalam perut, muntah-muntah hingga dehidrasi tingkat tinggi. Satu hari sempat menginap dirumah sakit, baru sore tadi keluar. Memang tak sanggup lama-lama, karena tak banyak uang di saku untuk biaya berobat. Takut timbul khawatir, sakit itu ia sembunyikan. Orang rumah tak dapat berita.

Sementara ini harus sendirian dulu ia di tempat tinggal, tanpa teman melawan sakit yang belum sembuh benar. Kawan satu atapnya sedang keluar, walau nanti kembali, ia tetap mengeluh kesepian. Mungkin watak perempuan, perasaannya mudah labil. Hanya sungguh miris mendengar kondisinya. Lemari apalagi televisi tak ada. Kamar kostnya berluas sekitar 5x4 meter, diisi dua orang. Satu ranjang skala sedang dipakai tidur berdua. Untuk menyimpan cadangan makanan digunakan tupperware berdimensi lumayan besar. Terdapat karpet biru, dua koper dan beberapa kardus untuk wadah pakaian. Sebagian barang-barang diamankan dalam kardus.

 Bepergian kadang ia jalan kaki atau bila jarak jauh akan naik angkot. Adat di daerah asal ia berkendara sendiri, jarang naik angkot apalagi jalan kaki. Keadaan membuat ia mengaduh, disusahkan hidup perantauan. “sakit ya nyepakke maem dewe, ra ono sing ngladeni, ra ono sing ngancani, sedih,” keluhnya. Situasi tidak menjadikannya kuat, justru melemah.

Curahan hati wanita yang selama 22 tahun hidup bersama ibu bapak, kini sekonyong-konyong mesti hidup sebatang kara. Jauh dari orang tua, berlawanan dari semua hal yang biasa dijalani di kota kelahiran, hampir penuh kemudahan tanpa hambatan. Saya pikir ia masih belum terbiasa dengan kesendirian.

Sejenak latar cerita berpindah.. Saat tarawih tadi kawan saya jadi penceramah. Ia berkhotbah tentang keadaan anak rantau penuh cobaan. Dalam penjabarannya ia sampaikan, setiap rintangan jangan dijadikan masalah, tapi ejawantahkan sebagai tantangan. "Menurut survey, 70% orang rantau yang mengadu nasib di Jogja akan berhasil."

Pertautan spontan tanpa duga sangka. Seyogyanya hal itu juga akan menimpa dirinya, sahabat yang telah banyak saya kenal luar dalam, begitu pun sebaliknya. Retrospeksi masa kecil, terkadang ingin mengulangnya. Dimana kita tak peduli itu buruk atau salah, semua dibenarkan, dimaafkan karena kita polos. Saat ini dia mulai bergaul dengan kerasnya hidup. Berkancah untuk karier, menyelami dunia kerja. Bertarung dilain pulau, tanpa sosok terdekat yang selama ini selalu mendampingi. Keluarga, sahabat dan kekasih.

Ahh.. saya mulai sayu, air mata ingin keluar tapi tertahan berderai, sekujur tubuh bergidik. Seluruh ceritamu malam ini meski tak bertatap muka, ucapan kangenmu walau terbentang jarak, benar telah menuntun saya pada titik manusiawi. Kali ini saya pun merasakan emosi serupa, rindu. Mungkin berlebih, tapi, hapus keluh, jalani hidupmu sekarang, dan kau akan jadi wanita hebat kelak.
*4 September 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar