Sabtu, 25 Desember 2010
Kritikus
Hei Kata!! Sudah dua minggu ini aku tinggalkan pergulatan denganmu. Sedih rasanya kehilangan sosok inventif dalam diri. Bertarung akal saja aku mati, apalagi menyajikanmu ke dalam bahasa. Ya, aku seolah tak punya kekuatan melawan kelumpuhan ini, menentang kemandulan untuk menulis.
Sekarang aku akan coba memulai. Wujud antagonisme pada kemandulan. Permulaan tanpa kerangka, pendahuluan tanpa tujuan. Aku bikin bebas, leluasa tiada ikatan. Biarlah dinilai berantakan oleh siapa saja. Kritikus punya hak buat berkomentar, toh itu memang kerjanya.
Minggu, 05 Desember 2010
Si Kecil dan Serdadu Kebasahan
Di kelebatan hujan, dari arah utara Jalan Mataram muncul sebuah truk tertuliskan Yonif 407/PK. Segerombolan serdadu berseragam hijau lumut terlihat kebasahan di atas bak truk tanpa terpal itu. Lampu lalu lintas di perempatan Hotel Melia Purosani menyala merah, saat mereka saling berdempetan satu sama lain dan tertawa terbahak-bahak. Suaranya teramat kencang sampai menarik perhatian orang yang melintas maupun sedang berteduh di pinggir jalan. Tapi hanya satu orang saja yang tidak menoleh.
Si kecil bertelanjang dada dengan riangnya bermain air di ujung gang sempit tepi jalan besar. Hujan masih sangat deras, rambut cepak anak itu berair, bagian depannya menempel dikening, mengalir membasahi muka, sampai bersimbah di badannya. Cukup mengenakan celana pendek berwarna biru tanpa busana untuk tetap membuatnya terus larut dalam becek. Seakan tak bergeming dengan suasana sekitar, yang mungkin saja terus memperhatikan polahnya.
Label:
Cerita,
Deskripsi,
Kisah,
Pengalaman,
Perjalanan,
Sastrawi
Rabu, 01 Desember 2010
Tangisan Binto
Syahdan, pada siang cerah setelah solat jumat. Anak kecil itu mengenakan kaos garis-garis hitam putih, bercelana kolor merah jingga. Binto, begitu dia biasa disapa, umurnya sekitar lima tahun. Wajahnya bulat, rambutnya tipis dan berkulit hitam. Sambil jongkok menyandar tembok sisi samping rolling dor, membelakangi sebuah pot ditanami kaktus milik Pak Haji, Binto menangis sejadinya.
Terisak-isak Binto bercerita, kalau baru saja ia tersinggung dengan ucapan salah seorang teman, yang jua merupakan buliknya. Si Bulik berkata tidak mau bercengkerama dengan Binto. "Bulik Asih nakal, Bulik tidak mau main lagi sama aku," ucap Binto polos, suaranya putus-putus, derai air mata bercucuran.
Sabtu, 13 November 2010
Kulminasi Kejenuhan
Tiba juga pada titik kulminasi bernama kejenuhan. Sebegitu hebatnya dia, sampai-sampai dapat mematikan mimpi dikala lemah, "dan tertidurlah lama!" Tapi kali ini bukan mimpiku yang kalah, aku masih yakin mimpi tidak semudah itu patah. Sekarang hanya berkehendak untuk istirahat sejenak meregangkan penat.
Aku berusaha tidak diam, aku dinamis mencari pemicu guna meledakkan lagi semangatku selepas jeda. Namun tanpa janji kapan ditemukan. Ya, sementara ini aku kehilangan jiwa yang telah terbangun bertahun lamanya. Hilang bukan berarti mati, lantaran yang mati tidak kembali, meski berlaku subtitusi. Hilang masih tetap ada, melainkan sedang berada di tempat berbeda yang aku sendiri tiada tahu dimana.
Memaklumi untuk beberapa waktu ini, bukan belas kasihan, itu yang aku mohon pada para pemimpi bila diperkenankan. Sebenarnya malu juga menuntut, telah terlalu sering aku ditoleran, terus-terusan menyusahkan. Kesadaranku tidak sanggup berkata tidak, kejenuhan ini jelas jadi penghambat. Aku tidak berharap mereduksi satu angan, pun jika senantiasa menyendat, segala konsekuensi aku jalani juga, meski harus berhenti pada titik lumer, "Mau tak mau, aku harus rela mengesampingkanmu mimpi!" Aku sangat mendamba permisifitas.
Aku berusaha tidak diam, aku dinamis mencari pemicu guna meledakkan lagi semangatku selepas jeda. Namun tanpa janji kapan ditemukan. Ya, sementara ini aku kehilangan jiwa yang telah terbangun bertahun lamanya. Hilang bukan berarti mati, lantaran yang mati tidak kembali, meski berlaku subtitusi. Hilang masih tetap ada, melainkan sedang berada di tempat berbeda yang aku sendiri tiada tahu dimana.
Memaklumi untuk beberapa waktu ini, bukan belas kasihan, itu yang aku mohon pada para pemimpi bila diperkenankan. Sebenarnya malu juga menuntut, telah terlalu sering aku ditoleran, terus-terusan menyusahkan. Kesadaranku tidak sanggup berkata tidak, kejenuhan ini jelas jadi penghambat. Aku tidak berharap mereduksi satu angan, pun jika senantiasa menyendat, segala konsekuensi aku jalani juga, meski harus berhenti pada titik lumer, "Mau tak mau, aku harus rela mengesampingkanmu mimpi!" Aku sangat mendamba permisifitas.
Minggu, 31 Oktober 2010
Gadis Muda Pembenci Bali
Perempuan itu berparas molek. Meski ia sendiri tak mengakui dirinya cantik. Entah, sebab apa, tak seperti kebanyakan wanita yang selalu ingin dipuji. Rambutnya? tak mengerti aku, ia berjilbab. Terlihat anggun kala serasi mengenakan kerudung dan baju ungu. Bulu matanya lentik bak embun, berpancar tatapan kasih. Alis tak terlampau tebal, mukanya tanpa sececah pun noda, lembut putih sedikit kuning langsat. Bibir merah muda, bila tersenyum pipinya mengembung, memberi kesan tersendiri. Tubuhnya? ia bilang gemuk. Tapi digambarnya, tak nampak sedikit pun lemak berlebih.
Aku mengenal dekat lewat tulisan, bukan suara apalagi persuaan. Menerka watak hanya dari barisan kata-kata, tersusun kalimat, membentuk paragraf. Bisa aku nilai sekarang meski masih dengan segala kedangkalanku, ia punya sikap. Animonya pada Islam menganggumkan, konon lantaran keluarganya agamis, tapi aku kira berpadu pula dengan pengalaman lalu meracik prinsip itu jadi falsafah hidupnya, dan semoga tetap konsisten.
Satu hal membuat aku penasaran, bahkan pada Bali saja ia benci setengah mati. Ya, dia si gadis muda pembenci Bali. Penggeram hingar bingar Pulau Dewata. Sejengkal pun kakinya tak akan menginjak tanah Bali. "Ahh, lagi-lagi aku akan bicara soal klise. Kau tak seumum perempuan kebanyakan, semoga aku tak salah membacamu. Dan biarkan senyaman ini. Nantilah bila dikehendaki, ada masanya kita bertemu."
Aku mengenal dekat lewat tulisan, bukan suara apalagi persuaan. Menerka watak hanya dari barisan kata-kata, tersusun kalimat, membentuk paragraf. Bisa aku nilai sekarang meski masih dengan segala kedangkalanku, ia punya sikap. Animonya pada Islam menganggumkan, konon lantaran keluarganya agamis, tapi aku kira berpadu pula dengan pengalaman lalu meracik prinsip itu jadi falsafah hidupnya, dan semoga tetap konsisten.
Satu hal membuat aku penasaran, bahkan pada Bali saja ia benci setengah mati. Ya, dia si gadis muda pembenci Bali. Penggeram hingar bingar Pulau Dewata. Sejengkal pun kakinya tak akan menginjak tanah Bali. "Ahh, lagi-lagi aku akan bicara soal klise. Kau tak seumum perempuan kebanyakan, semoga aku tak salah membacamu. Dan biarkan senyaman ini. Nantilah bila dikehendaki, ada masanya kita bertemu."
Senin, 25 Oktober 2010
Tukijo, Antagonisme Petani Yang Dizalimi
“Setiap 17 agustus Indonesia memperingati, katanya kemerdekaan Republik Indonesia. Tapi sementara masyarakat masih dalam penindasan,” kata Tukijo, petani pesisir Kulonprogo. Ia dikriminalisasi, lahan pencahariannya terancam digusur proyek pasir besi. Ketenangan hidupnya terusik.
Kaos hitam bergambar kepalan tangan bertuliskan “tolak tambang besi, selamatkan Kulonprogo” dan celana pendek cokelat dikenakan Tukijo ketika menemui saya di rumahnya, tiga hari lalu. Suguhan bermacam cemilan dan kopi Lampung menambah hangatnya perbincangan kami. Tukijo, petani cabe pesisir Kulonprogo, lahir pada 10 Juni 1966. Wajahnya oval, hidung pipih, berkumis tebal. Badannya tidak terlampau besar, tapi terlihat kekar.
Kediaman Tukijo terletak di Desa Karangsewu Dusun Gupit, Kulonprogo. Tiga tokoh pewayangan, Kresna, Puntodewo dan Werkudoro yang terbungkus plastik bening menghias dinding bata rumahnya. “Saya itu senang wayang, tapi tidak paham dengan urut-urutannya,” ujar Tukijo polos. Di bagian lain terdapat foto-foto perkawinan anak pertamanya, Eko Fitriyanto, menikah pada 2009. Meski rumahnya berbatu merah, ia tetap bersyukur, “walaupun masih seperti ini belum dilepo, ini jerih payah saya dari bertani,” ucapnya bangga
Kaos hitam bergambar kepalan tangan bertuliskan “tolak tambang besi, selamatkan Kulonprogo” dan celana pendek cokelat dikenakan Tukijo ketika menemui saya di rumahnya, tiga hari lalu. Suguhan bermacam cemilan dan kopi Lampung menambah hangatnya perbincangan kami. Tukijo, petani cabe pesisir Kulonprogo, lahir pada 10 Juni 1966. Wajahnya oval, hidung pipih, berkumis tebal. Badannya tidak terlampau besar, tapi terlihat kekar.
Kediaman Tukijo terletak di Desa Karangsewu Dusun Gupit, Kulonprogo. Tiga tokoh pewayangan, Kresna, Puntodewo dan Werkudoro yang terbungkus plastik bening menghias dinding bata rumahnya. “Saya itu senang wayang, tapi tidak paham dengan urut-urutannya,” ujar Tukijo polos. Di bagian lain terdapat foto-foto perkawinan anak pertamanya, Eko Fitriyanto, menikah pada 2009. Meski rumahnya berbatu merah, ia tetap bersyukur, “walaupun masih seperti ini belum dilepo, ini jerih payah saya dari bertani,” ucapnya bangga
Label:
Hukum,
Keadilan,
Kisah,
Kriminalisasi,
Kulonprogo,
Petani,
Sosial,
Tokoh
Jumat, 15 Oktober 2010
Janji Si Kuncung
Perkenalkan, aku Wimar. Lengkapnya Wimar Burhanudin. Tapi orang-orang memanggil aku kuncung. Aku sama sekali tak marah disapa dengan sebutan itu. Mungkin ini sebab model rambutku waktu kecil dulu, seiprit rambut tersisakan di bagian depan kepalaku, sementara sisi tengah kebelakang tampak tipis. Entah, aku begitu suka dengan potongan macam itu. Ada peruntungan mungkin, hanya tak pernah terpikirkan. Rambut kuncung bertahan sampai aku masuk sekolah menengah pertama.
Kampung tempat tinggalku ada di tengah kota G. Dari lahir aku menetap disana. Walau termasuk kota, kawasan sekitar cukup rindang. Beberapa rumah warga ditumbuhi pepohon walau pendek-pendek dan dihiasi dengan tanaman rambat. Suasananya juga sangat religius. Pemuda kampung gemar mengadakan kajian rutin, biasanya tiap dua kali seminggu di surau. Bagi anak kecil, disediakan sarana TPA dan tiap malam jumat ada pengajian untuk orang dewasa, laki-laki maupun perempuan. Bapak kerap jadi penceramah pengganti bila ustad tamu berhalangan hadir.
Minggu, 03 Oktober 2010
Mimpi
“Hei mimpi, apa kabar? Lama kita tak bersua. Maaf aku melalaikanmu. Peristiwa lalu telah mengembalikan ingatan serta kesadaran, bila aku masih dan akan terus memilikimu. Konon kau terwujud dari pergulatan ide dan naluri. Aku sering meletakkannya pada hierarki falsafah. Mimpi lebih dari apapun, ia pembebas, juru selamat dalam keboyakan diri.
Pernah suatu kali aku bertualang untuk sebuah ambisi. Ya, upaya awal sangat mulus. Hingga tanpa duga sangka, secuil batu berhasil menjatuhkan diriku. Aku terjerembab, luka lecet mengembang di kaki. Darah mengucur, perih. Tak ada bekal kubawa, apalagi obat-obatan. Saat itu untuk kali pertama mimpi datang, menyerahkan penawar paling mujarab berlabel “pemicu” dan berkat obat itu, kaki dapat aku ayunkan lagi. Ini pangkal mula aku berkarib dengan mimpi.
Sabtu, 02 Oktober 2010
Sesaat
"Aku waktu kapan itu mimpi tentang kamu yog," begitu ujar salah seorang teman perempuan. Ia cerita, kami duduk berdua dalam suatu ruangan tanpa cahaya, gelap tak terlampau pekat. Saya mengenakan baju coklat cerah, sedangkan dia, dia lupa berpakaian warna apa. Kami saling mengahadap dengan sedikit jarak, kedua tangan berpegangan serta mata bertatapan. Ahh, romantis nian. Sayang hanya sesaat, dan ia terbangun.
Senin, 27 September 2010
Gadis Hidung Mancung
Gadis itu berjilbab ungu. Tidak sepenuhnya tertutup, rambutnya tampak masih sedikit menyembul keluar. Ia berkemeja putih garis-garis dan celana jeans ketat. Aku sedikit kurang padu dengan penampilannya. Tapi tak apalah, ini soal selera. Mungkin dia sedang berhasrat dengan sandang macam itu. Aku tidak akan bahas masalah selera, toh nanti bisa berubah.
Saat ini kau jadi pemenang, juara satu gadis muda jelita di kampungku. Aku kira orang lain akan sekata dengan pendapat ini. Secara lahiriah sepatutnya mereka, atau paling tidak sejumlah orang punya kesan sama denganku dalam menilaimu.
Sabtu, 25 September 2010
Bencana di Siang Hari
Angin bertiup sangat kencang tadi siang. Kencang sekali, tak umum. Ranting pohon berkibas meliuk-liuk, daun berguguran, buahnya berjatuhan meski belum matang. Berlangsung cukup lama, barangkali sekitar 45 menit. Usai itu cuaca terlampau terang. Matahari tak pelit membagi sinarnya. Tapi sporadis air hujan turun sedikit demi sedikit, perlahan-lahan seperti butiran debu, padahal surya belum menghentikan pancarannya.
Dan sekarang langit mendung, hitam pekat. Hujan sudah tak malu-malu lagi membasahi jagat, masih pula diiringi sisa-sisa angin. Seorang kerabat mengabarkan tetangganya meninggal tertimpa pohon yang dirobohkan puting beliung. Selang beberapa saat, aku peroleh desas-desus sebuah pohon besar di suatu tempat tumbang menimpa tiang listrik, membuat aliran padam. Papan baliho ambruk. Terdengar sirine meraung dari jalan raya. Tak tahu aku berasal dari mobil apa, ambulance, polisi, atau pemadam kebakaran. Aku pikir telah terjadi bencana di kotaku.
Sementara awan gelap tetap menyelimuti. Sampai saat ini aku masih merasakan suasana mencekam, meski malapetaka telah reda. Semoga tak terjadi apa-apa di bumi manusia.
15.16
Dan sekarang langit mendung, hitam pekat. Hujan sudah tak malu-malu lagi membasahi jagat, masih pula diiringi sisa-sisa angin. Seorang kerabat mengabarkan tetangganya meninggal tertimpa pohon yang dirobohkan puting beliung. Selang beberapa saat, aku peroleh desas-desus sebuah pohon besar di suatu tempat tumbang menimpa tiang listrik, membuat aliran padam. Papan baliho ambruk. Terdengar sirine meraung dari jalan raya. Tak tahu aku berasal dari mobil apa, ambulance, polisi, atau pemadam kebakaran. Aku pikir telah terjadi bencana di kotaku.
Sementara awan gelap tetap menyelimuti. Sampai saat ini aku masih merasakan suasana mencekam, meski malapetaka telah reda. Semoga tak terjadi apa-apa di bumi manusia.
15.16
Sabtu, 18 September 2010
Tabik Untuk Nama
Nama, aku ingin bilang, kalau potongan huruf yang akan mengeja namamu telah aku susun dan menjadi satuan kata utuh, tertulislah namamu. Aku titipkan pada seorang teman kemarin, melalui pesan pendek berisi tabik dariku. Seluruhnya tercatat singkat seperti ini, ”sampaikan salam untuk Nama, bila ia datang nanti.” Maaf bila lancang tanpa konsesi. Awalnya sungguh kulakukan sekedar gurau belaka.
Namun kian lama, aku terpikirkan juga, teringat persuaan cepat dulu kala. Canggung tanganku mewakili mulutku berbahasa, tapi mesti aku beri tahu juga. Aku berpretensi kau menjawab, meski dengan syarat tentunya, tabik sampai padamu. Entah sudah kau dengar sendiri atau tidak dari temanku itu.
”Bila sudah, aku menunggu balasmu Nama. Jika tidak, biarlah aku menanti dan kau tak perlu tahu, atau kau mau tak peduli, tak apalah, itu hakmu.” Sebatas premis saja, beribu lelaki menganggumimu. Bahkan barangkali bagi mereka, dapat memiliki adalah suatu kemuliaan, begitu pun aku. Memang namamu terlalu indah untuk disendirikan. Bahwasannya telah kau tetapkan pilihan, semoga manusia baik yang akan mendampingimu. ”Beruntunglah lelaki itu kelak, andai dapat menyanding namamu, Nama.”
Namun kian lama, aku terpikirkan juga, teringat persuaan cepat dulu kala. Canggung tanganku mewakili mulutku berbahasa, tapi mesti aku beri tahu juga. Aku berpretensi kau menjawab, meski dengan syarat tentunya, tabik sampai padamu. Entah sudah kau dengar sendiri atau tidak dari temanku itu.
”Bila sudah, aku menunggu balasmu Nama. Jika tidak, biarlah aku menanti dan kau tak perlu tahu, atau kau mau tak peduli, tak apalah, itu hakmu.” Sebatas premis saja, beribu lelaki menganggumimu. Bahkan barangkali bagi mereka, dapat memiliki adalah suatu kemuliaan, begitu pun aku. Memang namamu terlalu indah untuk disendirikan. Bahwasannya telah kau tetapkan pilihan, semoga manusia baik yang akan mendampingimu. ”Beruntunglah lelaki itu kelak, andai dapat menyanding namamu, Nama.”
Jumat, 10 September 2010
Bocah Pemungut Koran
Ini sudah Idul Fitri ketiga aku datang ke kota J. Tak perlu aku bilang namanya. Tiap hari raya tiba, biasanya aku turun gunung mencari nafkah disana. Sendirian dengan mengendarai bus. Simbah aku tinggalkan sejenak di kediamannya. Aku jadi pemungut koran. Peruntunganku bergantung pada jumlah jamaah solat Ied yang membawa surat kabar sebagai alas sajadahnya. Makin banyak, kemungkinan mengeruk rupiah kian besar. Meski aku juga harus berebut dengan pengumpul koran lain.
Namaku Slamet Legiman. Sepintas terdengar seperti nama orang Jawa kuno. Cerita simbahku, aku lahir tidak menangis. Orang sekelilingku belingsatan kala itu, telah mati pula diriku yang masih orok bau darah ini. Baru beberapa menit kemudian isakanku untuk pertama pecah. Karena lolos dari maut, ibu menyematkan nama Slamet. Legiman pemberian simbah, diambil hari pasaran Jawa waktu kemunculanku, Kamis Legi, sepuluh tahun lalu, pada 1998 tepatnya.
Namaku Slamet Legiman. Sepintas terdengar seperti nama orang Jawa kuno. Cerita simbahku, aku lahir tidak menangis. Orang sekelilingku belingsatan kala itu, telah mati pula diriku yang masih orok bau darah ini. Baru beberapa menit kemudian isakanku untuk pertama pecah. Karena lolos dari maut, ibu menyematkan nama Slamet. Legiman pemberian simbah, diambil hari pasaran Jawa waktu kemunculanku, Kamis Legi, sepuluh tahun lalu, pada 1998 tepatnya.
Kamis, 09 September 2010
Rambut Adolf Hitler dan Soe Hok Gie
Sejumlah teman memberi penilaian terkait potongan baru rambut saya. Kawan pertama,lelaki, beberapa menit setelah selesai cukur mengatakan, "malah koyo Adolf Hitler Yog." Teman kedua, perempuan, setengah teriak "kayak Soe Hok Gie Yog!" Ketiga, masih perempuan, disampaikan, "Yog, cobo dingadekke (spike), ketok cowok banget mesti kowe." Dan keempat, lagi-lagi wanita, "Aku lebih suka rambutmu yang kemarin Yog!" dengan nada kecewa. Tak berbeda dari biasa, tiap kali berpangkas selalu begini jadinya. Hanya memang masih nampak menawan dengan model macam ini.hehehee..
Mengaji
Adzan berkumandang di Masjid di suatu kampung tengah kota Yogyakarta. Telah masuk waktu Isya di malam ke 13 Puasa. Kondisi lingkungan Masjid cukup unik. Mayoritas warga beragama Islam, namun ada tetangga sekitar Masjid kaum non Muslim. Toleransi jelas harus dibina dan dijaga. Tadarusan jadi rutinitas bertahun-tahun tiap habis tarawih. Beberapa anak perempuan dan lelaki berkala hadir, juga orang-orang dewasa perantauan, hanya sedikit pribumi. Apalagi anak muda, tipis antusiasme melafazkan Quran untuk memakmurkan Masjd di bulan Ramadhan. Mungkin minder atau belum masyhur ditelinga mereka jika satu huruf Al-Quran yang dibacanya berbalas sepuluh kebaikan. Alif Lam Mim tidak satu huruf, tapi terpisah. Alif, satu huruf dan Lam satu huruf serta Mim satu huruf.
Pengeras suara berputar, dari satu orang ke orang lain. Bila telah habis ruku, pembaca berganti. Mendayu-dayu ayat Allah dilagukan, terasa sejuk. Ada keinginan menirunya, hanya suara terdengar sumbang. Sadar kemampuan rendah, cukuplah saya dengan nada datar saja. Sebagian bocah tampak tak lancar mengeja huruf arab keriting berderet. Terkadang lucu juga, mendengar suara anak kecil dengan polosnya melafazkan Quran, sering tidak fokus pada bacaan dan banyak polah. Tapi pikir saya patut dihargai, setidaknya mereka tak malu dan mau belajar walau harus gopah-gopoh berucap. Seperti dikatakan H.R Bukhari Muslim, orang yang masih terbata-bata membaca Al-Quran tetap diberi kenikmatan berupa pahala dua kali lipat. Seraya mengaji, makan dan minuman ta’jil dibagi.
Pengeras suara berputar, dari satu orang ke orang lain. Bila telah habis ruku, pembaca berganti. Mendayu-dayu ayat Allah dilagukan, terasa sejuk. Ada keinginan menirunya, hanya suara terdengar sumbang. Sadar kemampuan rendah, cukuplah saya dengan nada datar saja. Sebagian bocah tampak tak lancar mengeja huruf arab keriting berderet. Terkadang lucu juga, mendengar suara anak kecil dengan polosnya melafazkan Quran, sering tidak fokus pada bacaan dan banyak polah. Tapi pikir saya patut dihargai, setidaknya mereka tak malu dan mau belajar walau harus gopah-gopoh berucap. Seperti dikatakan H.R Bukhari Muslim, orang yang masih terbata-bata membaca Al-Quran tetap diberi kenikmatan berupa pahala dua kali lipat. Seraya mengaji, makan dan minuman ta’jil dibagi.
Wanita Perantauan
Seorang perempuan dari tempat jauh, terpisah pulau, mengirim pesan pendek tadi sekitar pukul tujuh malam lebih sedikit. Sepulang tarawih baru saya baca. Singkat ia menyatakan rasa rindu sangat mendalam pada saya, lelaki yang sudah dikenalnya sejak masih bocah. Telah lama tak berjumpa, sekarang ia ada di daerah rantau. Sesaat suasana berubah pilu, mendengar kabarnya dalam pengelanaan. Di ceritakan ia sedang dalam kondisi tak sehat, diare serta mulut terus mengeluarkan makanan yang belum sepenuhnya tercerna dalam perut, muntah-muntah hingga dehidrasi tingkat tinggi. Satu hari sempat menginap dirumah sakit, baru sore tadi keluar. Memang tak sanggup lama-lama, karena tak banyak uang di saku untuk biaya berobat. Takut timbul khawatir, sakit itu ia sembunyikan. Orang rumah tak dapat berita.
Sementara ini harus sendirian dulu ia di tempat tinggal, tanpa teman melawan sakit yang belum sembuh benar. Kawan satu atapnya sedang keluar, walau nanti kembali, ia tetap mengeluh kesepian. Mungkin watak perempuan, perasaannya mudah labil. Hanya sungguh miris mendengar kondisinya. Lemari apalagi televisi tak ada. Kamar kostnya berluas sekitar 5x4 meter, diisi dua orang. Satu ranjang skala sedang dipakai tidur berdua. Untuk menyimpan cadangan makanan digunakan tupperware berdimensi lumayan besar. Terdapat karpet biru, dua koper dan beberapa kardus untuk wadah pakaian. Sebagian barang-barang diamankan dalam kardus.
Sementara ini harus sendirian dulu ia di tempat tinggal, tanpa teman melawan sakit yang belum sembuh benar. Kawan satu atapnya sedang keluar, walau nanti kembali, ia tetap mengeluh kesepian. Mungkin watak perempuan, perasaannya mudah labil. Hanya sungguh miris mendengar kondisinya. Lemari apalagi televisi tak ada. Kamar kostnya berluas sekitar 5x4 meter, diisi dua orang. Satu ranjang skala sedang dipakai tidur berdua. Untuk menyimpan cadangan makanan digunakan tupperware berdimensi lumayan besar. Terdapat karpet biru, dua koper dan beberapa kardus untuk wadah pakaian. Sebagian barang-barang diamankan dalam kardus.
Jumat, 30 Juli 2010
Kesalahan Besar
Seiring waktu yang membawa diriku. Menjalani kisah ini dengannya. Dalam benakku selalu memikirkanmu. Meski diri ini masih bersamanya. Andai kau tahu aku tak pernah mengerti. Begitu mudah untuk menyentuh hatimu. Bodohnya aku berpaling pada dirinya. Maafkanlah aku, melukai dirimu. Dan aku telah membuat, satu kesalahan yang besar. Dimana saat itu aku meninggalkan dirimu. Sungguh aku sangat menyesal, telah memiliki dirinya. Saat aku sadar dia hanya luka bagi diriku. Berakhir sudah anganku bersamamu. Telah kau temukan penerang jalan hidupmu. Lelah hatiku untuk tetap bertahan. Aku kehilanganmu, juga kehilangannya.
*Lagu ini saya buat untuk Second Symphony. Saya lupa pastinya kapan tembang ini jadi. Kalau tidak salah ingat sekitar 2-3 tahun lalu, antara 2007-2008. Ini salah satu ciptaan favorit dari sedikit karya saya. Meski lirik sederhana dengan tema lagu yang klise, tapi ada filosofi dalam dibalik pembuataannya. Dua orang perempuan menginspirasi jalan cerita. Tak perlu saya sebut siapa mereka. Sayang, lagu ini tidak sempat direkam, hanya saya dan mungkin teman-teman di Second Symphony masih mengingat atau menyimpannya di kotak impresi.
*Lagu ini saya buat untuk Second Symphony. Saya lupa pastinya kapan tembang ini jadi. Kalau tidak salah ingat sekitar 2-3 tahun lalu, antara 2007-2008. Ini salah satu ciptaan favorit dari sedikit karya saya. Meski lirik sederhana dengan tema lagu yang klise, tapi ada filosofi dalam dibalik pembuataannya. Dua orang perempuan menginspirasi jalan cerita. Tak perlu saya sebut siapa mereka. Sayang, lagu ini tidak sempat direkam, hanya saya dan mungkin teman-teman di Second Symphony masih mengingat atau menyimpannya di kotak impresi.
Kamis, 29 Juli 2010
Avontur Badui: Penggalan Pertama Laporan Perjalanan
Butuh sekitar 20 menit dari Terminal Ciboleger, Serang, Banten untuk naik wilayah Badui luar menuju desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar kampung pertama yang mesti dilalui. Selain juga ada 3 desa tempat suku Badui luar bermukim. Kampung Balingbing, Babakan Marengo dan Kampung Gajeboh. Harus berjalan kaki untuk menuju kesana. Jalan setapak berbatu, menanjak, sisi kanan dan kiri masih hutan, sungai kecil pun mesti diseberangi. Sehabis hujan, tanah akan basah, licin. Harus berhati-hati dengan kondisi itu, bila tak ingin terpeleset.
18.15 ditemani Udil dan Kang Saldi yang sudah menunggu kedatangan kami di terminal Ciboleger, saya beserta 5 teman, Tommy Apriando, Adnan Fauzi Siregar, Fauzi Nasrul Maulana, M. Andi Anwar dan Martin Yudha Sanjaya alias Pongge, rombongan tamu dari LPM Keadilan mendatangi Kampung Kanekes. Medan sangat gelap, cuma bercahayakan lampu senter. Memang tak ada listrik, listrik menjadi salah satu pantangan di Badui. Rencana akan menginap di saung Udil selama berada di pedalaman. Udil, lelaki kurus asli Badui. Wajahnya oval, rambut pendek. Hidung pipih, mukanya bersih, nyaris tak ada noda. Hanya ditumbuhi jenggot cukup lebat. Usianya baru 20, tapi anaknya sudah dua, masih kecil-kecil, perempuan semua. Namanya Marsya, dan Cesie adik tirinya.
Perjalanan cukup menguras tenaga. Udil mempersilakan tamunya masuk, untuk melepas lelah di rumah panggung miliknya. Rumah panggung menjadi rumah adat Suku Badui. Akan selalu ada bunyi berdecit tiap kali kita melangkah dilantai bambu rumah itu. Dindingnya terbuat dari kulit bambu yang dianyam. Genteng berasal dari alang-alang kering, lima tahun sekali diganti. Beberapa batang kayu berfungsi menyangga rumah, diganjal dengan batu besar. Ada dua pintu masuk, terasnya membentuk persegi panjang. Tiap akan membangun rumah, tanah selalu diratakan dulu.
Sejenak ditinggalnya kami di ruang gelap, minim cahaya. Penerangan hanya menggunakan satu buah lampu tempel (teplok). Beberapa menit Udil kembali, bersama Kang Saldi, kakak kandung Udil membawa ceret berisi air putih serta gelas dan sepiring kecil aren. “Ini bentuknya seperti gula jawa ya?” tanya saya. Warna coklat, rasa manis. Di Jawa, aren lebih dikenal dengan nama gula Jawa. Segelas air putih, melepas dahaga yang sudah begitu meradang. “Itu air gunung, bagaimana rasanya?” Kang Saldi coba memancing kepekaan rasa kami. “Segar sekali,” gumamku.
Istri Udil menyusul dibelakang. Sayang, saya tidak sempat menanyakan namanya. Wajahnya samar tertutup siluet dari pancaran cahaya lampu teplok. Sepintas dia cantik. Baru esok harinya saya ketahui dia memang cantik. Satu persatu disalaminya pendatang dari Yogya ini, tampak rikuh. Rambutnya panjang, mata sedikit sipit, kulit putih. Umurnya kalau tidak salah tafsir sekitar 18. Ia tidak ikut bergabung dengan kami, “malu istri saya,” kata Udil. Karakter gadis Badui walau terlihat rupawan, ia minder kalau ketemu orang kota.
Percakapan malam itu berlangsung lama. Beberapa hal jadi topik pembahasan. Khususnya kami, orang asing baru datang di kampung orang. Tentu banyak hal tidak diketahui. Udil dan Kang Saldi telaten menjawab beragam pertanyaan dari kami. Beruntung, mereka orangnya ramah. Meski diawal masih canggung, lama-lama cair juga. Dikenalkan pula kami pada ayah dan ibu Udil. Ayahnya terlihat renta, mimik wajahnya menunjukan ia sudah letih. Usia mungkin sekitar 60. Hanya wajah ibu kelihatan lebih segar, meski rambut panjangnya sudah beruban. Suami istri ini tak bisa bahasa Indonesia, bahasa Sunda saja mereka kuasai. Sang ayah jadi salah satu sesepuh yang disegani di kampungnya.
Ayah Udil membuka bungkusan berisi tembakau dan lembaran kertas minyak. Tembakau dibungkus dengan kertas, dilinting, disulut api, lalu dihisap. Asap rokok mulai tercecer dalam ruangan. Empat orang merokok, Andi, Yudha, Adnan, dan Kang Saldi. Ibu Udil menyempatkan diri menawarkan barang dagangannya. Kain Lomar, warnanya cukup mencolok dikeremangan malam, perpaduan biru tua dan muda, bermotif batik. bersambung..
*2 Juli 2010
18.15 ditemani Udil dan Kang Saldi yang sudah menunggu kedatangan kami di terminal Ciboleger, saya beserta 5 teman, Tommy Apriando, Adnan Fauzi Siregar, Fauzi Nasrul Maulana, M. Andi Anwar dan Martin Yudha Sanjaya alias Pongge, rombongan tamu dari LPM Keadilan mendatangi Kampung Kanekes. Medan sangat gelap, cuma bercahayakan lampu senter. Memang tak ada listrik, listrik menjadi salah satu pantangan di Badui. Rencana akan menginap di saung Udil selama berada di pedalaman. Udil, lelaki kurus asli Badui. Wajahnya oval, rambut pendek. Hidung pipih, mukanya bersih, nyaris tak ada noda. Hanya ditumbuhi jenggot cukup lebat. Usianya baru 20, tapi anaknya sudah dua, masih kecil-kecil, perempuan semua. Namanya Marsya, dan Cesie adik tirinya.
Perjalanan cukup menguras tenaga. Udil mempersilakan tamunya masuk, untuk melepas lelah di rumah panggung miliknya. Rumah panggung menjadi rumah adat Suku Badui. Akan selalu ada bunyi berdecit tiap kali kita melangkah dilantai bambu rumah itu. Dindingnya terbuat dari kulit bambu yang dianyam. Genteng berasal dari alang-alang kering, lima tahun sekali diganti. Beberapa batang kayu berfungsi menyangga rumah, diganjal dengan batu besar. Ada dua pintu masuk, terasnya membentuk persegi panjang. Tiap akan membangun rumah, tanah selalu diratakan dulu.
Sejenak ditinggalnya kami di ruang gelap, minim cahaya. Penerangan hanya menggunakan satu buah lampu tempel (teplok). Beberapa menit Udil kembali, bersama Kang Saldi, kakak kandung Udil membawa ceret berisi air putih serta gelas dan sepiring kecil aren. “Ini bentuknya seperti gula jawa ya?” tanya saya. Warna coklat, rasa manis. Di Jawa, aren lebih dikenal dengan nama gula Jawa. Segelas air putih, melepas dahaga yang sudah begitu meradang. “Itu air gunung, bagaimana rasanya?” Kang Saldi coba memancing kepekaan rasa kami. “Segar sekali,” gumamku.
Istri Udil menyusul dibelakang. Sayang, saya tidak sempat menanyakan namanya. Wajahnya samar tertutup siluet dari pancaran cahaya lampu teplok. Sepintas dia cantik. Baru esok harinya saya ketahui dia memang cantik. Satu persatu disalaminya pendatang dari Yogya ini, tampak rikuh. Rambutnya panjang, mata sedikit sipit, kulit putih. Umurnya kalau tidak salah tafsir sekitar 18. Ia tidak ikut bergabung dengan kami, “malu istri saya,” kata Udil. Karakter gadis Badui walau terlihat rupawan, ia minder kalau ketemu orang kota.
Percakapan malam itu berlangsung lama. Beberapa hal jadi topik pembahasan. Khususnya kami, orang asing baru datang di kampung orang. Tentu banyak hal tidak diketahui. Udil dan Kang Saldi telaten menjawab beragam pertanyaan dari kami. Beruntung, mereka orangnya ramah. Meski diawal masih canggung, lama-lama cair juga. Dikenalkan pula kami pada ayah dan ibu Udil. Ayahnya terlihat renta, mimik wajahnya menunjukan ia sudah letih. Usia mungkin sekitar 60. Hanya wajah ibu kelihatan lebih segar, meski rambut panjangnya sudah beruban. Suami istri ini tak bisa bahasa Indonesia, bahasa Sunda saja mereka kuasai. Sang ayah jadi salah satu sesepuh yang disegani di kampungnya.
Ayah Udil membuka bungkusan berisi tembakau dan lembaran kertas minyak. Tembakau dibungkus dengan kertas, dilinting, disulut api, lalu dihisap. Asap rokok mulai tercecer dalam ruangan. Empat orang merokok, Andi, Yudha, Adnan, dan Kang Saldi. Ibu Udil menyempatkan diri menawarkan barang dagangannya. Kain Lomar, warnanya cukup mencolok dikeremangan malam, perpaduan biru tua dan muda, bermotif batik. bersambung..
*2 Juli 2010
Sabtu, 24 Juli 2010
Dimas, Esa dan Kuda Debog
Dimas anak kelas satu SD Negeri Keji, memakai baju warna merah ketika saya temui, badannya lebih besar ketimbang Esa yang memakai baju warna orange. Esa sudah kelas tiga, sekolah di tempat yang sama. SD mereka pernah hampir ditutup pemerintah, karena kekurangan murid. Berdua sedang sibuk membuat Kuda debog untuk pagelaran esok Minggu pagi. Akan ada sepuluh tamu dari Belanda datang ke desa mereka.
Dimas dengan jari-jari kecilnya tampak lebih lincah menganyam pelepah pisang menjadi kuda mainan dari pada Esa. Butuh dua pelepah untuk menghasilkan Kuda Debog. Pertama, ia mengelupas daunnya hingga habis, seperempatnya dibengkokkan, bagian atas dicacah menjadi dua, kemudian melubanginya sebagai tempat untuk memasukkan kepalanya. Pelepah pisang kedua dijadikan sebagai kepala dan badan kuda. Daunnya tidak dibabat habis, tapi dibentuk bunjai, semacam bulunya. Pelepah pertama dan kedua disatukan dengan tali rafia.
Dua hari berkenalan dan bergaul dengan Dimas dan Esa, juga Anggun, David, Udin, Sabar, Purwanto dan Rudi. Delapan bocah asli kaki Gunung Ungaran, Desa Keji, Dusun Suruhan, Jawa Tengah. Nuansa alam dan seni budaya masih kental di sana. Mainan tradisional egrang, dakon, teklek, lompat tali, gasing, lesung, kuda debog (kuda lumping) peninggalan nenek moyang masih bisa dinikmati. Beruntungnya mereka tidak tergerus arus modernisasi.
*5 Juni 2010
Dimas dengan jari-jari kecilnya tampak lebih lincah menganyam pelepah pisang menjadi kuda mainan dari pada Esa. Butuh dua pelepah untuk menghasilkan Kuda Debog. Pertama, ia mengelupas daunnya hingga habis, seperempatnya dibengkokkan, bagian atas dicacah menjadi dua, kemudian melubanginya sebagai tempat untuk memasukkan kepalanya. Pelepah pisang kedua dijadikan sebagai kepala dan badan kuda. Daunnya tidak dibabat habis, tapi dibentuk bunjai, semacam bulunya. Pelepah pertama dan kedua disatukan dengan tali rafia.
Dua hari berkenalan dan bergaul dengan Dimas dan Esa, juga Anggun, David, Udin, Sabar, Purwanto dan Rudi. Delapan bocah asli kaki Gunung Ungaran, Desa Keji, Dusun Suruhan, Jawa Tengah. Nuansa alam dan seni budaya masih kental di sana. Mainan tradisional egrang, dakon, teklek, lompat tali, gasing, lesung, kuda debog (kuda lumping) peninggalan nenek moyang masih bisa dinikmati. Beruntungnya mereka tidak tergerus arus modernisasi.
*5 Juni 2010
Jumat, 16 Juli 2010
Kamis Minggu Ini
24 jam ini waktu sangat meletihkan. Awal, terjaga kesiangan. Maksud bangun lebih pagi, tapi tak juga bisa. Tiap menyibak mata, jam dinding selalu diangka 9. Sejenak mengembalikan kesadaran bersandar di atas dipan, setelah 7 jam tidur. Baru jam 2 pagi saya terpejam.
Sesudah itu, melangkah menuju kamar mandi. Membasahi tubuh. Air kran menyala mengisi bak, suaranya terdengar deras. Sabun dibasuhkan, hilang bau kecut di badan. Odol dan sikat membantu memutihkan gigi, nafas juga wangi. Selesai, dan berdandan. Solat subuh, walau sudah siang tetap dijalani, daripada tidak. Bunyi kres..kres, sumber ada di dapur. Sebungkus Indomie diremuk. Ibu sedang menyiapkan sarapan. Mie rebus menu pagi ini.
Bersiap. dan tepat pukul 10, saya berangkat ke Kantor. LBH Yogyakarta. jam 11 ada janji dengan beberapa siswa SMAN 1 Gamping, Sleman untuk menyerahkan kartu pelajar dan foto copy raport serta tanda tangan surat kuasa. Sehari sebelumnya 14 Juli sudah datang ke kantor, mengadukan kasus yang menimpa mereka. Wartawan penuh sesak kala itu. Berburu berita. Terdapat 5 remaja SMA dan beberapa perwakilan orang tua murid serta komunitas peduli pendidikan. Ada dua kasus, pertama, masalah tidak dinaikkannya siswa-siswa tersebut ke kelas 3. Alasan tidak naik karena kelimanya mengadakan demonstrasi, menuntut transparansi sekolah. Sesungguhnya ada 13 anak yang tinggal kelas, tapi hanya 5 orang yang bisa hadir. Kedua, kasus dugaan adanya pungutan liar uang seragam penerimaan murid baru di sekolah-sekolah negeri.
10.20 Saya tiba di kantor. Halaman sudah penuh kendaraan. Ternyata hari ini ada pers confrence lagi. Kali ini terkait kasus pemukulan oknum polisi terhadap tersangka. Kantor kebanjiran juru warta lagi. Saya terlambat, pertemuan sudah berlangsung. Sebentar saya mengikuti, menyaksikan sang ibu tersangka menangis. Disamping duduk kerabat anaknya. Sang anak jadi korban. Ia ditahan atas kesalahan yang tidak dilakukannya. Mukanya harus lebam pula, dipukul si bapak berseragam coklat. Sekitar 15 menit berlalu, persuaan dengan juru warta usai. Saya kembali ke aktifitas semula yang sempat tertunda. Mengerjakan desain banner untuk stand LPM Keadilan. Hari sabtu akan ada festival pers mahasiswa di Beteng Vredeburg. Diselenggarakan oleh LPM Himmah, dalam rangka Milad. Hanya pekerjaan ini urung saya lakukan. Corel di laptop tak bisa dibuka.
Tak lama, lalu seluruh staf diminta kumpul pimpinan. Briefing kasus yang masuk. Koordinator dan kerja dibagi. Saya dapat tugas, mengampu kasus murid tidak lulus. Tapi bukan sebagai penanggungjawab. Sedangkan yang lain, menyelesaikan kasus kekerasan polisi dan pungutan liar.
Sudah pukul 11, mereka tak juga tampak. Rapat masih berlanjut, namun hanya divisi ekosob. Pungutan liar dan perkara murid SMA jadi topik bahasan.
kisah satu hari ini masih panjang, tapi jam dinding sudah berdentang. Jarum pendek menunjuk angka 3 dan jarum panjang di angka 9. 14.45. Mata semakin berat saja. Saya berhenti sejenak bercerita, menulis hal tak penting ini. Sambung esok lagi.
*15 Juli 2010
Sesudah itu, melangkah menuju kamar mandi. Membasahi tubuh. Air kran menyala mengisi bak, suaranya terdengar deras. Sabun dibasuhkan, hilang bau kecut di badan. Odol dan sikat membantu memutihkan gigi, nafas juga wangi. Selesai, dan berdandan. Solat subuh, walau sudah siang tetap dijalani, daripada tidak. Bunyi kres..kres, sumber ada di dapur. Sebungkus Indomie diremuk. Ibu sedang menyiapkan sarapan. Mie rebus menu pagi ini.
Bersiap. dan tepat pukul 10, saya berangkat ke Kantor. LBH Yogyakarta. jam 11 ada janji dengan beberapa siswa SMAN 1 Gamping, Sleman untuk menyerahkan kartu pelajar dan foto copy raport serta tanda tangan surat kuasa. Sehari sebelumnya 14 Juli sudah datang ke kantor, mengadukan kasus yang menimpa mereka. Wartawan penuh sesak kala itu. Berburu berita. Terdapat 5 remaja SMA dan beberapa perwakilan orang tua murid serta komunitas peduli pendidikan. Ada dua kasus, pertama, masalah tidak dinaikkannya siswa-siswa tersebut ke kelas 3. Alasan tidak naik karena kelimanya mengadakan demonstrasi, menuntut transparansi sekolah. Sesungguhnya ada 13 anak yang tinggal kelas, tapi hanya 5 orang yang bisa hadir. Kedua, kasus dugaan adanya pungutan liar uang seragam penerimaan murid baru di sekolah-sekolah negeri.
10.20 Saya tiba di kantor. Halaman sudah penuh kendaraan. Ternyata hari ini ada pers confrence lagi. Kali ini terkait kasus pemukulan oknum polisi terhadap tersangka. Kantor kebanjiran juru warta lagi. Saya terlambat, pertemuan sudah berlangsung. Sebentar saya mengikuti, menyaksikan sang ibu tersangka menangis. Disamping duduk kerabat anaknya. Sang anak jadi korban. Ia ditahan atas kesalahan yang tidak dilakukannya. Mukanya harus lebam pula, dipukul si bapak berseragam coklat. Sekitar 15 menit berlalu, persuaan dengan juru warta usai. Saya kembali ke aktifitas semula yang sempat tertunda. Mengerjakan desain banner untuk stand LPM Keadilan. Hari sabtu akan ada festival pers mahasiswa di Beteng Vredeburg. Diselenggarakan oleh LPM Himmah, dalam rangka Milad. Hanya pekerjaan ini urung saya lakukan. Corel di laptop tak bisa dibuka.
Tak lama, lalu seluruh staf diminta kumpul pimpinan. Briefing kasus yang masuk. Koordinator dan kerja dibagi. Saya dapat tugas, mengampu kasus murid tidak lulus. Tapi bukan sebagai penanggungjawab. Sedangkan yang lain, menyelesaikan kasus kekerasan polisi dan pungutan liar.
Sudah pukul 11, mereka tak juga tampak. Rapat masih berlanjut, namun hanya divisi ekosob. Pungutan liar dan perkara murid SMA jadi topik bahasan.
kisah satu hari ini masih panjang, tapi jam dinding sudah berdentang. Jarum pendek menunjuk angka 3 dan jarum panjang di angka 9. 14.45. Mata semakin berat saja. Saya berhenti sejenak bercerita, menulis hal tak penting ini. Sambung esok lagi.
*15 Juli 2010
Rabu, 07 Juli 2010
35 Menit
Separuh intensi saya mulai membuahkan hasil. Melewatkan Sabtu malam di warung mie Jawa, sebelah kampus tua, di kota yang hampir mati karena manusia mulai terlelap. Ada dua meja panjang, warna taplak putih dilapisi plastik, terlihat lusuh tapi bersih. Sementara si penjual, seorang bapak setengah baya sibuk memasak pesanan digerobaknya yang penuh cantelan daging ayam dan beberapa sayuran. Dengan tungku, dan arang sebagai bahan bakar, kipas angin dibiarkan berputar agar api tetap merah. Kalau tidak salah ingat, saat itu tak ada pembeli selain saya dan sang perempuan. Duduk berdua berhadapan, masih kaku. Sebelumnya memang jarang berpautan sedekat itu.
Dua piring nasi goreng, satu gelas es teh dan segelas teh hangat, serta sebungkus kerupuk, melanjutkan pembicaraan yang sudah dimulai. Diiringi alunan cerita kehidupan masa lalu, sekarang dan depan. Berlayar menaiki perahu kertas, menguntit radar Neptunus. Buaian prosa Filosofi Kopi hingga tawaran bibliografi novel homo. Dari perspektif saya, waktu berlalu begitu utuh, menyisihkan bosan, menyenangkan, kerasan, berkesan, tak berharap ada ujung.
35 menit berselang. Persuaan usai. Perempuan harus kembali ke sangkar. Sekitar 35 menit saja. Sesudah itu, tiada yang tahu jawabannya, akan mengorbit kemana. 35 menit menyisakan tanda tanya dan utopia. Namun 35 menit, tetap meninggalkan makna. Saya lebih peduli pada wacana. Meski saya dianggap seorang utopis, tapi setidaknya saya punya mimpi. Tugas selanjutnya adalah mengejawantahkan mimpi itu.
*27 Februari 2010
Dua piring nasi goreng, satu gelas es teh dan segelas teh hangat, serta sebungkus kerupuk, melanjutkan pembicaraan yang sudah dimulai. Diiringi alunan cerita kehidupan masa lalu, sekarang dan depan. Berlayar menaiki perahu kertas, menguntit radar Neptunus. Buaian prosa Filosofi Kopi hingga tawaran bibliografi novel homo. Dari perspektif saya, waktu berlalu begitu utuh, menyisihkan bosan, menyenangkan, kerasan, berkesan, tak berharap ada ujung.
35 menit berselang. Persuaan usai. Perempuan harus kembali ke sangkar. Sekitar 35 menit saja. Sesudah itu, tiada yang tahu jawabannya, akan mengorbit kemana. 35 menit menyisakan tanda tanya dan utopia. Namun 35 menit, tetap meninggalkan makna. Saya lebih peduli pada wacana. Meski saya dianggap seorang utopis, tapi setidaknya saya punya mimpi. Tugas selanjutnya adalah mengejawantahkan mimpi itu.
*27 Februari 2010
Kamis, 01 Juli 2010
Obituari Untuk Artha
Mendadak terhenyak, mendengar kabar kecelakaan tentang dirimu. Mencari tahu, semoga tetap dalam kondisi baik. Namun tak kunjung saya dapat kabar itu. Selang 60 menit, satu pesan singkat tanpa nama masuk ke ponsel saya. "Artha meninggal ya Yog," tertulis pendek.
Dia, Artha Kurnianto, 22 tahun, Orang Klaten. Wajahnnya kotak, rambut cepak, meski dulu sempat direbonding. Rahang kukuh, tubuh gemuk, dada tegap, membusung. Logat medok kentara ditiap tutur katanya. Pertama mengenal, ketika kami satu kelas, disemester pertama kuliah. Awalnya tak begitu dekat, tapi masa menyuruh untuk berteman karib. Bukan keterpaksaan.
Polah, celetuk dan ejekanmu urung dilupakan. Saya sempat jadi mangsa. "Kowe ra jipok skripsi semester wingi jare meh magang. Weelaa, jebul kowe rasido magang tho. Lha ngopo ra jipok wingi wae nek ngono," candanya ketus, sambil tertawa tanpa maksud menghina. Segelintir, ya itu hanya segilintir saja impresi tentang kamu. Ada banyak dan biarlah terekam di memori saya.
Setelah itu, cukup lama kita tak berjumpa. Terakhir bersua, kamu sudah sarjana. Mengeluh, melamar kemana-mana tak jua dapat kerja. Hingga saya dapat berita, kamu telah tiada. Kecelakaan meregang nyawa. Kamu mati muda, usiamu pendek. Sependek pesan singkat yang mengabarkan kematianmu.
Sekarang, sudah kamu dapatkan pencaharianmu, kekal, bekerja untuk dan di surga. Hampir 4.5 tahun mengenalmu, sosok yang menyenangkan. Selamat tinggal kawan, doa saya, dan kami semua menyertai. Semoga lapang jalanmu ke alam baka.
Dia, Artha Kurnianto, 22 tahun, Orang Klaten. Wajahnnya kotak, rambut cepak, meski dulu sempat direbonding. Rahang kukuh, tubuh gemuk, dada tegap, membusung. Logat medok kentara ditiap tutur katanya. Pertama mengenal, ketika kami satu kelas, disemester pertama kuliah. Awalnya tak begitu dekat, tapi masa menyuruh untuk berteman karib. Bukan keterpaksaan.
Polah, celetuk dan ejekanmu urung dilupakan. Saya sempat jadi mangsa. "Kowe ra jipok skripsi semester wingi jare meh magang. Weelaa, jebul kowe rasido magang tho. Lha ngopo ra jipok wingi wae nek ngono," candanya ketus, sambil tertawa tanpa maksud menghina. Segelintir, ya itu hanya segilintir saja impresi tentang kamu. Ada banyak dan biarlah terekam di memori saya.
Setelah itu, cukup lama kita tak berjumpa. Terakhir bersua, kamu sudah sarjana. Mengeluh, melamar kemana-mana tak jua dapat kerja. Hingga saya dapat berita, kamu telah tiada. Kecelakaan meregang nyawa. Kamu mati muda, usiamu pendek. Sependek pesan singkat yang mengabarkan kematianmu.
Sekarang, sudah kamu dapatkan pencaharianmu, kekal, bekerja untuk dan di surga. Hampir 4.5 tahun mengenalmu, sosok yang menyenangkan. Selamat tinggal kawan, doa saya, dan kami semua menyertai. Semoga lapang jalanmu ke alam baka.
Senin, 28 Juni 2010
Nasionalisme Pedalaman
Perempuan renta, tinggal di desa Banjarsari, Kulonprogo. Rambutnya beruban, kulitnya berkeriput, terbungkus jarik dan kaos warna putih lusuh, sepertinya sisa peninggalan jaman perang. Ia istri pak dukuh. Usianya tak lagi muda, sekitar 55-an tahun. Seingat saya ia punya dua orang anak, sudah berkeluarga semua. Memiliki empat orang cucu. Saya takjub ketika ia berbicara tak seperti kebanyakan orang desa seusianya.
Bukan saya tapi dia mengawali obrolan.
Tadi siang, kami berdialog tentang demokrasi Negeri ini. Bagaimana atensi dia pada Amien Rais, orang yang dianggapnya punya jasa besar membangun Indonesia, keberanian dia menggulingkan rezim otokrasi Soeharto. Meski bagi saya Amien tidak lebih sebagai orang plin-plan. Tapi ia bangga menceritakan sosok idolanya.
Juga berbicara tentang keprihatinannya pada figur pemimpin yang tak lagi dapat dipercaya, ketika janji kampanye harus ditagih dulu, dan bukan karena dia sadar pernah berjanji. Ditagih pun tidak menjamin akan dilaksanakan. Ia sempat memuji Bupati Kulonprogo, karena perhatian dengan penduduk desanya, meski mengabaikan penduduk pesisir.
Pembicaraan berakhir dengan kutipan manis dari mulutnya, berbagai kebusukan di Negeri ini tak mengurangi hormatnya pada tanah kelahiran "Right or wrong, this is My Country," ucapnya bangga. Walau tua dan orang desa tampaknya ia lebih nasionalis.
*13 Mei 2010
Bukan saya tapi dia mengawali obrolan.
Tadi siang, kami berdialog tentang demokrasi Negeri ini. Bagaimana atensi dia pada Amien Rais, orang yang dianggapnya punya jasa besar membangun Indonesia, keberanian dia menggulingkan rezim otokrasi Soeharto. Meski bagi saya Amien tidak lebih sebagai orang plin-plan. Tapi ia bangga menceritakan sosok idolanya.
Juga berbicara tentang keprihatinannya pada figur pemimpin yang tak lagi dapat dipercaya, ketika janji kampanye harus ditagih dulu, dan bukan karena dia sadar pernah berjanji. Ditagih pun tidak menjamin akan dilaksanakan. Ia sempat memuji Bupati Kulonprogo, karena perhatian dengan penduduk desanya, meski mengabaikan penduduk pesisir.
Pembicaraan berakhir dengan kutipan manis dari mulutnya, berbagai kebusukan di Negeri ini tak mengurangi hormatnya pada tanah kelahiran "Right or wrong, this is My Country," ucapnya bangga. Walau tua dan orang desa tampaknya ia lebih nasionalis.
*13 Mei 2010
Cerita Perempuan
Menemukan kutipan, pada sebuah lektur. "Seperti sebuah buku, masa lalu adalah halaman terdepan dari masa kini dan rencana untuk masa depan." Ada benarnya. Saya telah membuka halaman terdepan itu, mencoba berkontemplasi, mencari dan menghapus coretan salah dimasa lalu. Masa lalu tak pernah benar-benar berlalu, ia bisa hadir kapan saja memainkan perannya sebagai guru atau menggoreskan kesalahan lagi dimasa kini.
Malaikat, afinitas itu sering saya umbar, ketika saya terjaga dalam lamunan.
Hiperbolik memang, tapi itu jujur dan setelah ini kita akan melalui jalan kata dramatis. Bagi seorang pecundang, ia perempuan telampau sempurna. Pecundang karena kesalahan besar, tak terampuni dan sekarang coba memperbaiki.
Otak ini bekerja lebih keras dari biasanya, begitu tertera di novel 5 cm. Berpikir arah tepat yang harus ditempuh. Empat penjuru mata angin berkecamuk, menyombongkan jalan paling benar. Melawan takut melilit kaki, melangkah maju, hingga saya berhasil menemukan haluan yang mesti saya tuju.
Kisah lalu berulang lagi. Berawal ketika langit mempertemukan dua manusia, saya dan sang perempuan. Telah lama dipisahkan waktu, meski tak pernah ada ikrar menyatukan sebelumnya. Berproses tanpa diatur, tiada yang mengatur, saya percaya hanya Tuhan. Pintu terburai, ruang hati memuai. Selama ini jauh dari pikiran ruang itu berpenghuni, tiba-tiba khayalan saya, ia akan kekal disana.
Perlahan mulai membangun tekstur perasaan yang dulu pernah memancang. Lewat sebuah buku dan alat pengirim pesan, sebagai pondasi awal. Menciptakan berbagai resolusi, memimpikan tentang intensi dimasa depan.
*27 Februari 2010
Malaikat, afinitas itu sering saya umbar, ketika saya terjaga dalam lamunan.
Hiperbolik memang, tapi itu jujur dan setelah ini kita akan melalui jalan kata dramatis. Bagi seorang pecundang, ia perempuan telampau sempurna. Pecundang karena kesalahan besar, tak terampuni dan sekarang coba memperbaiki.
Otak ini bekerja lebih keras dari biasanya, begitu tertera di novel 5 cm. Berpikir arah tepat yang harus ditempuh. Empat penjuru mata angin berkecamuk, menyombongkan jalan paling benar. Melawan takut melilit kaki, melangkah maju, hingga saya berhasil menemukan haluan yang mesti saya tuju.
Kisah lalu berulang lagi. Berawal ketika langit mempertemukan dua manusia, saya dan sang perempuan. Telah lama dipisahkan waktu, meski tak pernah ada ikrar menyatukan sebelumnya. Berproses tanpa diatur, tiada yang mengatur, saya percaya hanya Tuhan. Pintu terburai, ruang hati memuai. Selama ini jauh dari pikiran ruang itu berpenghuni, tiba-tiba khayalan saya, ia akan kekal disana.
Perlahan mulai membangun tekstur perasaan yang dulu pernah memancang. Lewat sebuah buku dan alat pengirim pesan, sebagai pondasi awal. Menciptakan berbagai resolusi, memimpikan tentang intensi dimasa depan.
*27 Februari 2010
Minggu, 20 Juni 2010
Minggu Pagi di Victoria Park
*RESENSI FILM
Mayang (Lola Amaria), matanya belo, bibir sedikit tebal, rambut pendek. Kulit hitam dan tubuh ramping. Meski terlihat manis, tapi itu tidak membuat Mayang percaya diri. Dia kalah pamor bila dibandingkan adiknya, Sekar (Titi Sjuman). Sekar memang jauh lebih menarik ketimbang Mayang. Wajahnya cekung, hidung pipih, kulit putih dan tubuh ramping. Sekar selalu lebih unggul dan berprestasi. Perbedaan itu membuat ayah mereka, Sukardi memberikan perlakuan berbeda pula pada keduanya. Diskriminasi tersebut telah banyak menimbulkan konflik antara Mayang dengan adik kandungnya sendiri. Namun ibu mereka, Lastri hadir sebagai penengah dan berusaha untuk bersikap adil.
Dua tahun sudah Sekar meninggalkan tanah airnya. Ia menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Hong Kong. Keberadaan Sekar di Hong Kong membuat Mayang semakin terpojok. Di kampung halaman, bermil-mil dari tempat Sekar berdiam, Mayang menjadi bulan-bulanan ayahnya. Dalam berbagai kesempatan Sukardi terus menyindir gadis hitam ini. Memang keluarganya sering mendapat kiriman barang-barang mewah dari Sekar. Kehidupan di Hong Kong telah merubah nasib Sekar. Ia intens memberi nafkah bagi keluarganya di Indonesia. Hal itu bertolak belakang dengan Mayang, yang hanya bekerja di ladang tebu. Menurut Sukardi, pekerjaan bekebun itu tidak pernah memberi hasil memuaskan. Hati Mayang bergolak, merasa terus diremehkan.
Setelah dua tahun berlalu tak pernah ada kabar lagi dari Sekar. Sukardi dan Lastri khawatir, kemudian menyuruh Mayang menyusul adiknya. Mayang harus menjadi TKW. Sesunguhnya ia memiliki cita-cita tinggi dan tidak mau menjadi babu, karena ia sering mendengar pengalaman pahit dialami TKW. Desakan orangtua membuat ia harus tetap berangkat ke Negeri orang, dengan segala keawaman dan ketidaktahuannya.
Mayang bekerja menjadi pembantu rumah tangga sekaligus pengasuh anak. Beruntung majikannya orang baik. Sambil bekerja perlahan ia mulai beradaptasi dan berkenalan dengan teman-teman sesama pembantu di Negeri Asia Timur tersebut, juga mencari adiknya. Warung budhe, tempat ini biasa digunakan para pekerja wanita melepas lapar dan dahaga atau sekedar bercakap-cakap. Dari situ Mayang mengenal Gandi (Donny Damara) melalui Sari (Imelda Soraya) yang berwatak genit dan suka dirayu, teman buruh yang baru dikenalnya. Gandi, pegawai Konsul Jenderal RI Hong Kong, wajahnya kotak, mata tajam. Kulit hitam dan tubuh ideal antara tinggi dengan berat badannya. Tidak terlalu gemuk tapi tidak terlalu kurus. Gandi sering disebut bapaknya anak-anak. Ia peduli dengan berbagai masalah dan selalu siap menampung keluh kesah yang menimpa pembantu.
Dari Warung Budhe, perjalanan Mayang berlanjut ke Victoria Park. Victoria Park menjadi sentra favorit bertemunya buruh Indonesia. Pada hari Minggu, setiap pagi, banyak orang Indonesia tumpah ruah di tempat ini. Terletak di pusat kota, ditumbuhi pohon rindang, serta gemercik air mancur membuat tempat ini terasa sejuk meski ada di tengah kota. Disitu Mayang berbaur dengan teman-teman buruh lain.
Nasib Sekar
Jalan tidak selalu mulus. Adagium ini berlaku bagi Sekar. Kehidupan di Hong Kong perlahan mulai menemui hambatan. Ia tidak tahu jika kakaknya sudah di Hong Kong. Sebelum kakaknya datang, masalah sudah lebih dulu hadir. Beban untuk terus menafkahi keluarga menyebabkan Sekar harus mencari pinjaman uang karena penghasilannya mulai surut.
Orang pertama yang didatangi Sekar untuk dimintai pertolongan adalah Gandi. Namun Gandi tidak bisa memenuhi permintaan Sekar. Peristiwa itu memicu konflik antara Gandi dengan Vincent (Donny Alamsyah). Vincent adalah sahabat karib Gandi, mata sipit, kulit putih. Pengusaha Indonesia keturunan Cina. Ia juga peduli dengan nasib buruh. Konflik dengan Gandi menyebabkan persahabatan mereka sedikit renggang. Vincent, beranggapan Gandi setengah hati melayani buruh dengan tidak mau memberi pinjaman pada Sekar.
Berawal dari peristiwa tersebut, Sekar menghilang. Gandi, Vincent dan teman-teman buruh tidak tahu keberadaannya. Pencarian Mayang terus berlangsung. Dengan dibantu Gandi dan Vincent serta teman-teman sesama TKW yang juga sedang mencari keberadaan Sekar, mereka berusaha menemukan adik Mayang.
Itu adalah cerita singkat dari Film Minggu Pagi di Victoria Park. Film ini disutradarai oleh Lola Amaria, sekaligus sebagai pemeran utama. Dibintangi pula oleh Titi Sjuman, Donny Damara, Donny Alamsyah dan Imelda Soraya. Serta didukung oleh Fitri Sugab, Bob Singh, Aline Jusria, dan Permatasari Harahap. Mengambil lokasi di Hong Kong, dengan latar kehidupan Tenaga Kerja Wanita.
Bermula dari persaingan antara Mayang dengan Sekar, kita akan dibawa menuju konflik lebih kalut lagi. Sekar harus merelakan tubuhnya dijual, ia melacur di Wan cai kawasan yang terkenal dengan kehidupan malamnya. Perjuangan untuk setidaknya dapat bertahan hidup di Hong Kong dan melunasi hutangnya dengan melacur membuat ia frustasi setengah mati. Jalan pintas bunuh diri coba ia tempuh. Tapi terlambat, Mayang, Gandi, dan Vincent bergegas memergokinya. Terjadi cek cok antara Mayang dengan Sekar. Kulminasi perang batin kakak adik sampai pada titik akhir. Perseteruan selama bertahun-tahun mereka idap, seolah menjadi bom waktu dan harus meledak menghancurkan ego masing-masing. Lola Amaria dan Titi Sjuman membawakannya dengan baik dan penuh penghayatan. Adegan ini mampu memicu emosi penonton untuk ikut merasakan konflik didalamnya.
Seperti kebanyakan film drama, terasa hambar jika tanpa afeksi. Titien Wattimena, penulis skenario, juga mengkomposisikan dengan bumbu cinta sesama manusia. Kasih Sayang keluarga, antara Mayang dengan adiknya maupun dengan anak majikannya, filantropi Gandi dengan para TKW, empati yang begitu besar sesama rekan TKW, hingga kisah cinta Vincent yang diam-diam menyimpan perasaan pada Mayang, serta cerita cinta antara Sari dengan Amar (Bob Singh) yang playboy asal pakistan berwajah arab dan matre. Selain itu juga dihiasi kisah tragis, Menuk (Permatasari Harahap) dengan Agus (Fitri Sugab). Mereka adalah pasangan transgender, lesbi.
Dipilihnya Hong Kong sebagai lokasi, menghadirkan suasana lain. Beberapa scene coba menampilkan partikularitas negara itu. Pelabuhan Causeway Bay, panorama indah akan tampak dengan kelap-kelip lampu gedung pencakar langit HSBC (The Hong Kong Shanghai Bank Corporatiaon) dan Gedung Bursa Efek Hong Kong menjadi suguhan cantik pada malam hari. Victoria Park, semacam Indonesia kecil di Hong Kong juga memiliki keistimewaan tersendiri. Para TKW memanfaatkannya untuk berkumpul. Biasanya setiap pagi, di hari Minggu. Karakter manusia Hong Kong yang sering lalu lalang di trotoar dengan langkah kaki cepat sehingga terlihat berlari menjadikan alur cerita tambah menarik. Pelibatan aktor-aktor dari Hong Kong, membuat film ini semakin berwarna.
Secara garis besar, film produksi Pick-Lock production ini berkisah tentang kehidupan pembantu di luar negeri dengan segala permasalahannya yang rumit. Film ini akan membuka mata penonton, betapa hidup di luar negeri sebagai babu tidaklah mudah. Ada hal yang selama ini tidak diketahui, segala perjuangan ditempuh untuk menghidupi diri dan keluarga di Indonesia, meski menggunakan cara yang salah. Pemerintah dan kita diminta untuk tidak menutup sebelah mata dengan keadaan buruh di Negeri orang.
Meski bersifat campaign, namun film yang juga melibatkan Noey Letto sebagai produser ini tidak secara komprehensif menampilkan kekerasan dialami TKW oleh majikannya, yang ada majikan baik hati. Walaupun hal itu tidak merusak rule film, alangkah lebih baik jika ada penyeimbang didalamnya sehingga pesan yang diusung tersampaikan. Sutradara juga cukup jeli melihat seluk beluk kehidupan buruh, dengan menghadirkan Kangen Band di penghujung film. Kangen Band adalah band kontroversial asal Indonesia yang lagu-lagunya banyak digemari para TKW. Minggu Pagi di Victoria Park menjadi tontonan alternatif di tengah maraknya film Indonesia berbau seks dan horor. Sayang untuk dilewatkan.
Selasa, 08 Juni 2010
Ini Sebuah Kehormatan
New York Herald Tribune, November 1963
Jimmy Breslin
CLIFTON POLLARD yakin hari Minggu itu ia akan bekerja. Jam 9 pagi ia sudah bangun. Di apartemennya, berisi tiga kamar, di Corcoran Street, ia telah siap mengenakan pakaian terusan warna khaki lalu menuju dapur untuk sarapan. Istrinya, Hettie, sudah menyiapkan daging panggang dan telur. Pollard sedang makan ketika ada panggilan telepon berdering, yang memang sudah ia tunggu itu. Itu telepon dari Mazo Kawalchik, mandor para penggali kubur di Arlington National Cemetery, tempat Pollard bekerja mencari nafkah. ”Polly, tolong jam sebelas nanti sudah ada disini, bisa ya?” kata Kawalchik, menyuruh. ”Saya kira kau tahu kenapa,” katanya melanjutkan. Ya, Pollard memang sudah tahu. Ia meletakkan gagang telepon, menyudahi sarapan lalu meninggalkan apartemennya. Hari Minggu itu ia lewatkan dengan menggali liang lahat untuk John Fitzgerald Kennedy.
Sewaktu Pollard tiba lalu berjalan ke gudang kayu bercat kuning, tempat perkakas pemakaman disimpan, Kawalchik dan John Metzler sudah menunggunya. ”Maaf, kau jadi harus kerja hari Minggu,” ujar Metzler. ”Ah, tidak usah ngomong begitu,” kata Pollard. ”Bagi saya, berada di sini adalah kehormatan.” Pollard lalu menuju ke sebuah mesin pembajak berlawanan arah. Di pemakaman itu, lubang kubur tidak digali pakai sekop. Mesin bajak terbalik yang dipakai berwarna hijau, sementara mangkuk besar yang menggali tanah itu bergerak ke arah orang yang mengendalikan mesin, tidak menjauh seperti kren. Di bawah bukit di depan ”Makam Serdadu tak Dikenal”, Pollard mulai menggali. (Catatan Editor: Serdadu itu bernama Custis-Lee Mansion).
Dedaunan menutupi rumput. Ketika gigi-gigi bajak menggaruk tanah, dedaunan itu mengeluarkan suara rumput tertebas, berbunyi ”kres-kres-kres,” yang terdengar dari atas motor penggerak mesin bajak. Ketika mangkuk pertama menyembul dengan seonggok tanah, Metzler, pengawas pemakaman itu, mendekat dan menatapnya. ”Tanahnya bagus,” kata Metzler. Pollard menyambut, ”Saya mau menyimpannya sedikit.” ”Mesin ini meninggalkan jejak di rumput, nanti saya isi tanah dan menanaminya dengan rumput subur yang tumbuh di sekitar sini, saya mau semuanya di sini—kau tahu—indah.”
James Winners, penggali kubur lain, mengangguk. Katanya, ia juga akan mengangkut beberapa gerobak tanah yang sangat subur itu ke gudang untuk ditanami rumput. ”Ia orang yang baik,” ujar Pollard. ”Ya, memang,” kata Metzler, menyahut. ”Sekarang ia akan datang ke sini dan berbaring di liang lahat yang saya gali,” sambung Pollard. ”Kau tahu, ini benar-benar sebuah kehormatan buat saya, mengerjakan semua ini.”
Pollard, 42 tahun. Ia orang yang ramping dan berkumis, lahir di Pittsburgh dan pernah ikut sebagai sukarelawan pada Batalyon Engineers ke-352 yang bertugas di Burma ketika Perang Dunia II berkecamuk. Saat ini ia bekerja sebagai operator peralatan. Gajinya tingkat 10, artinya per jam ia menerima bayaran US$3.01. Nah, orang terakhir yang melayani John Fitzgerald Kennedy, Presiden ke-35 negaranya sendiri, adalah seorang pekerja yang mendapat gaji US$3.01 per jam dan ia masih bisa berkata menggali kubur bagi sang mendiang presiden adalah sebuah kehormatan.
Pagi kemarin, pukul 11.15, Jacqualine Kennedy berjalan menuju makam itu. Ia keluar di bawah naungan portiko Gedung Putih, perlahan mengiringi jenazah suaminya yang diusung di dalam keranda berkudung bendera. Keranda itu juga dibebat dengan dua sabuk kulit hitam, yang diikat ketat pada kereta berporos kuningan mengkilap.
Jacqualine melangkah lurus dan wajahnya menengadah. Ia menuruni jalan berbatu biru dan berselimut hitam dan menembus bayangan cabang-cabang tujuh pohon oak yang kala itu seluruh daunnya luruh. Ia berjalan perlahan, melintasi prajurit angkatan laut yang memegang tegak bendera negara. Ia mengayun kaki melintasi orang-orang yang berdiri rapat sambil menutup mulut dan tegang melihat ke arahnya. Lalu saat iring-iringan itu terlihat, mereka menundukkan kepala dan mengayunkan tangan mengusap mata. Ia melangkah ke gerbang barat daya tepat di tengah Pennsylvania Avenue. Ia berjalan dengan langkah yang rapat dan wajahnya menengadah tegak. Di jalanan Washington, ia mengiringi jenazah suaminya yang terbunuh.
Semua orang menyaksikannya ketika ia melangkah. Ia kini ibu dari dua anak yatim. Dan ia melangkah ke dalam sejarah negeri Amerika karena ia telah menunjukkan kepada semua orang—yang merasa tua dan tak tertolong dan tanpa harapan—bahwa ia punya kekuatan yang juga sangat diperlukan oleh semua orang. Walaupun ada yang telah membunuh suaminya dan darahnya menetes pada pangkuannya ketika sang suami menjemput maut, ia masih mampu berjalan tegar ke pemakaman dan dengan begitu ia telah menolong kita semua.
Massa berkerumun lalu prosesi itu sampailah juga di Arlington. Ketika ia tiba di pemakaman itu, keranda sudah diletakkan, di antara rel kuningan dan siap diturunkan ke liang lahat. Ini pasti saat yang paling menyedihkan: seorang wanita menyaksikan keranda sang suami ditimbun di dalam tanah. Ia tahu, sang suami akan selamanya berada di sana. Sekarang, tak ada apa-apa lagi. Tak ada keranda untuk dicium atau bahkan dipegang. Tak ada tempat berpegangan. Tapi ia melangkah ke tempat penguburan itu dan berdiri di depan enam baris kursi bersarung hijau dan ia mulai duduk. Tapi serta merta ia berdiri lagi karena ia tahu tidak harus duduk sampai inspektur pemakaman memberi tahu di mana ia harus duduk.
Seremoni pemakaman itu pun dimulai. Pesawat jet meraung di langit, tepat di atas kepala, dan dedaunan jatuh dari langit. Di bukit ini, di sisi keranda, hadirin pun membahanakan doa. Ada juru kamera, penulis, prajurit, dan Agen Rahasia—mereka juga ikut berdoa tak kalah nyaringnya tapi seperti ada yang tersendat. Di depan makam itu Lyndon Johnson mengarahkan wajahnya ke kanan. Ia sekarang Presiden dan ia harus tetap tenang. Ia tak ingin melihat ke keranda dan liang lahat terlalu kerap untuk sang mendiang John Fitzgerald Kennedy. Lalu, pemakaman itu pun usai. Limusin hitam melaju di bawah pepohonan taman pemakaman itu dan keluar ke bulevar menuju ke Gedung Putih. ”Jam berapa sekarang?” pria yang berdiri di atas bukit itu bertanya. Ia melihat jam tangannya. ”Jam 3 lewat 30 menit,” ujarnya.
Clifton Pollard tidak hadir saat pemakaman itu. Ia berada jauh di balik bukit itu, menggali kubur lain dengan bayaran $3.01 per jam. Ia tidak tahu untuk siapa lagi liang lahat yang ia gali itu. Ia hanya menggali lalu menimbunnya lagi. ”Mereka pernah ada dan berguna,” katanya. ”Kita hanya tak tahu kapan. Tadi, aku mau melihat ke sana,” ujarnya. ”Tapi terlalu banyak orang, kata tentara tadi, saya tidak boleh mendekat. Jadi, ya saya tetap di sini dan menggali. Tapi nanti saya akan ke sana sebentar. Cuma melihat sebentar, ya kan? Seperti kata saya padamu tadi, ini sebuah kehormatan.” []
* Diterjemahkan dari “It’s an Honour” by Jimmy Breslin.
Blog Breslin in Newsday: http://www.newsday.com/news/columnists/ny-jimmybreslin,0,4860342.columnist
Sabtu, 29 Mei 2010
Kesibukan Dua Tempat
*oleh-oleh dari Kaliurang. Dalam rangka Pelatihan Feature LPM Keadilan FH UII, 27-30 Mei 2010 di Wisma Putra Jaya.
Matahari sudah sedikit berbagi kehangatan, namun udara pagi terlampau dingin untuk bisa merasakannya. Seorang ibu tua berkacamata, pakaian motif batik dipadu rok ungu sepanjang 5 cm di bawah lutut tampak berseliweran sibuk menyiapkan kebutuhan untuk dua penyewa wisma. Dia penjaga wisma disini, Wisma Putra Jaya Kaliurang. Ada dua rumah disatu areal wisma ini, satu rumah (saya menyebutnya bergaya setengah klasik), warna gading, sudah sejak dua hari lalu ditempati. Sedangkan satu rumah yang lain bercat merah, kuning kalem, dan ungu sepertinya baru tengah malam tadi berpenghuni. Anak-anak bermain ayunan dan jungkat jungkit di depan rumah itu, ceria.
Segelas teh hangat menemani saya menulis, di teras rumah klasik. Alunan lagu Laskar Pelangi membuat suasana bertambah nyaman pagi ini. Dari tempat saya duduk, dua perempuan, berjilbab hijau costa dan hitam sedang sibuk berbincang di tangga taman sebelah selatan, berlumut dan masih basah karna hujan semalam. Saya tak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi mereka tak sadar jika ada sepasang kupu-kupu mendengarkan pembicaraan mereka.
Di tempat lain, anak-anak masih bermain jungkat-jungkit, "cepet medon!!" teriak anak kecil disitu. Ia ingin mengakhiri permainannya. Sudah capek atau ketakutan mungkin. Temannya bermain agak ngawur. Seorang ibu menyuapi anaknya. Sementara keluarga yang lain ada di pendopo sederhana, dikelilingi pepohonan cukup rindang, beraksitektur khas jawa, dengan 16 pilar penyangganya "jamur yang ada disop itu lho," ujar salah satu dari mereka. Sedang bercakap-cakap tentang makanan nampaknya. Selang beberapa menit kemudian makanan datang.
Musik berganti dari Laskar Pelangi ke Two Step Behind-nya Deff Lepaard, setelah melalui beberapa track dulu tentunya. Kesibukan berbeda terjadi di ruang utama rumah klasik. Sebagian tekun membuat tugas deskripsi, termasuk saya, sisanya melahap makanan dan masih tidur. Soto adalah menu pagi ini. Perpaduan kuah, bawang goreng, toge, kobis, sawi, bihun dan daging ayam tak segera membuat orang-orang yang tidur dan menulis segera menyantapnya. Mungkin karena aromanya telah hilang. Sudah sejak tadi soto itu tersaji di atas meja makan. Semut hitam mulai tergiur dan mengganyang jatah manusia.
Asap rokok perlahan memenuhi tempat ini. Untungya pintu dan jendela terbuka lebar, korden warna orange, bertekstur imajiner juga telah disibakkan sedikit menyegarkan hawa pegunungan di sini, karpet warna hijau daun menambah kesejukan. Kesibukan masih sama, hanya tak ada yang makan kali ini. Beberapa orang telah selesai menulis deskripsi, ”Zi,buat folder deskripisi simpen disitu,” perintah Ikhwan, instruktur acara. Satu orang lagi, Andi terlihat pesimis, ”wes rasah dipikirin, mosok pimred kalah karo Kuncoro, kui barang redpel,” ujarnya ketus.
Sementara pendopo sepi. Meninggalkan sepasang wanita dan pria. Si wanita menyapu lantai yang berserakan sisa-sisa makanan, sang pria mengangkut gelas. Anak-anak berhenti bermain ayunan dan jungkat jungkit. Si anak yang disuapi Ibunya juga sudah kenyang, begitupun orang-orang di tempat itu tadi. Tak ada lagi keramaian di pendopo, sudah masuk ke dalam rumah atau ada juga yang keluar dengan aktifitasnya masing-masing. Kesibukan kini terpusat di Rumah bergaya klasik, di ruang utama. Menyelesaikan deskripsi sesegera mungkin menjadi tujuan hidup kami hari ini, ”maksimal pukul setengah dua belas harus sudah dikumpul,” intsruksi Ikhwan.
Senin, 10 Mei 2010
Retrospeksi Chocomelt
*Belajar menulis prosa
Secangkir teh dan sepiring popcorn menemani kami bercengkerama, di ruang pelit cahaya dan orang sekeliling sibuk dengan aktifitasnya masing-masing, didepan layar laptop, dengan jarinya bermain pada tuts keyboard dan kami pun seperti itu, sementara yang lain ada juga yang sedang memadu kasih. Namun satu hal yang membuat saya sedikit lega malam ini, tampaknya kawan saya sudah mampu melupakan masalahnya, harapannya begitu karna dua jam sebelum kami sampai disini, dia bercerita tentang kisah dramatisnya pada seorang wanita yang dianggap telah mampu memutarbalikan logika dan hatinya dengan berbagai kelebihan serta kekurangan.
Celoteh
Bagi dia hari ini tentu tak seindah dulu. Tepatnya dua bulan lalu, saya bersamamu merayakan ulangtahun perempuan penyuka chocomelt. Hal yang lazim bagi tiap lelaki untuk memperlakukannya lebih dari hari biasa, dihari jadinya. walau mungkin dia tidak pernah meminta apalagi mengharapkan. Namun Chocomelt tetap mengantarkan kepergianmu juga, dan tentu saya yang menemanimu ke suatu tempat, dimana saya atau kamu tak pernah tau dimana. Menyerah, kata itu seolah tak terbesit dalam gigihnya semangatmu, terus menyerang hingga 'musuh' tertangkap. Memang perjuanganmu akhirnya membawa hasil, kami menemukan dimana persembunyian 'musuh'. Saya dan Kamu bertemu dengannya, dan ternyata juga dengannya, kelak setelah kamu kemudian hari. Chocomelt itu sampai juga ke orang yang berhak menerima, dengan kondisi sudah cair, tidak jua mencairkan suasana kala itu. Terhenyak dan terlampau dingin untuk sembari berceloteh sekenanya. Pun begitu chocomelt itu telah ditangan perempuanmu kawan, misimu berhasil!! dan setelah perjalanan panjang ini, apa yang kamu inginkan, jika pada akhirnya chocomelt itu akan membentuk filosinya sendiri, sesuai jalan cerita yang kamu alami hari itu dan beberapa hari dengan kondisi menyesakkan.
Ekspektasi
Mencair dalam perjalanan memperjuangkan ekspektasimu, dan meski kini harus benar-benar mencair ku kira tak ada yang sia-sia. Seperti yang kamu ceritakan kala melintas di jalan tadi, ada nilai yang bisa kamu dapat. Pengalaman dan dewasa, pengalaman telah mendewasakanmu, mungkin begitu tepatnya, dan itu pelajaran. Bukan berarti kamu gagal, namun itu bekal. Sebuah pretensi yang tak pernah kamu harap ada tapi itu bermanfaat. Ada suatu adagium, masa lalu akan selalu ada dihalaman terdepan sebuah buku. Kamu tak akan pernah lupa dan akan selalu melihatnya setiap kamu akan membuka buku itu. Satu hal yang bisa kamu catat adalah, masa lalu itu juga sebuah rencana, rencana untuk masa depan. Jadi biarkan kisahmu itu menjadi sampul, biarkan saja chocomelt itu mencair, sementara kamu harus tetap melangkah, menggoreskan tinta dengan segala ekspektasi barumu dan bukan terus menangisi hal yang justru membuatmu semakin terperosok. Chocomelt tidak bisa mengalahkanmu, apalagi mengungkungmu. Chocomelt hanya artifisial belaka, dia mencair, itu menunjukan dia tidak bisa mempertahankan bentuk aslinya. Asumsikan sendiri apa itu..
Selasa, 04 Mei 2010
Problematika Buruh dan Momentum Hari Buruh Sedunia
Buruh merupakan bagian terpenting dari proses produksi yang ada dalam suatu perusahaan. Kekosongan kursi direksi perusahaan tidak akan menimbulkan banyak permasalahan dengan terhambatnya produksi, berbeda jika dibanding dengan ketiadaan perusahaan tanpa buruh, sedikit banyak akan sangat berpengaruh pada produksi yang jadi terbengkalai dan membuat perusahaan tidak memiliki income. Jika mengibaratkan dengan anatomi tubuh, maka buruh adalah jantung-nya perusahaan, begitu pentingnya keberadaan buruh, hingga perusahaan juga sangat bergantung pada kerja buruh. Jika buruh berhenti bernafas, berakhirlah kehidupan perusahaan tersebut.
Sebagai bagian paling vital dalam sebuah perusahaan, bukan berarti mereka mendapatkan protect lebih dari atasan ataupun Negara. Ironis memang, buruh bekerja banting tulang untuk menghidupi perusahaan (keluarga juga tentunya), menyumbangkan pemasukan bagi Negara lewat pajak, melawan lelah dan kerasnya aturan, dari semua dedikasi kerja yang mereka lakukan, tidak kemudian ada kepedulian dari pengusaha maupun Negara untuk menaikan taraf hidupnya, mensejahterakan dan memberikan perlindungan ekstra bagi mereka. Perlindungan terhadap pekerjaan dan perlindungan untuk memperoleh perlakuan adil.
Sistem Kerja Kontrak atau outsourching menjadi isu pokok yang kerap dilontarkan oleh kawan-kawan buruh dalam perjuangan untuk mendapat keadilan. Outsourching tidak membawa dampak baik bagi buruh, sistem ini akan banyak menguntungkan perusahaan dan merugikan pihak buruh. Perusahaan tempat buruh bekerja akan merasa save karena tidak bertanggungjawab langsung pada buruh, tapi menjadi tanggungjawab perusahaan penyedia jasa pekerja. Upah yang diberikan pun harus melalui perantara pengusaha penyedia jasa pekerja, yang berpotensi timbul penyelewengan, dimana upah dapat dipotong terlebih dahulu sebelum diberikan kepada buruh. Keadaan tidak adil ini, malah diakomodir oleh Negara, dalam UU No. 13/2003 dengan melegalkan sistem outsourcing.
Outsourching menjadi salah satu hal yang banyak dikritis eksistensinya dalam permasalahan hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha. Perjanjian kerja waktu tertentu, juga menjadi isu sektoral yang banyak diperjuangkan untuk dihapuskan. Sistem tersebut tidak memberikan jaminan pada kelangsungan hidup pekerja, dan pengusaha cenderung menggunakan sistem semacam itu dari pada merubah status buruh menjadi pekerja tetap.
Dua hal tersebut diatas merupakan permasalahan yang sering mengemuka ke permukaan, selain itu sesungguhnya masih banyak lagi problematika yang menyelimuti buruh. Dari rendahnya upah, tidak ada perlindungan keselamatan kerja hingga masalah Pemutusan Hubungan Kerja yang sewaktu-waktu bisa dialami oleh mereka. Dan momentum hari buruh tiga hari lalu, tepatnya 1 Mei 2010 menjadi ajang untuk memperjuangkan hak dan nasib para buruh, bahkan hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengadakan agenda makan siang bersama buruh. Kepedulian terhadap buruh seolah menjadi buah bibir dimana-mana pada momen tersebut, pertanyaannya kemudian apakah makan siang bersama akan merubah nasib buruh atau hanya pada moment hari buruh saja dengung perjuangan terhadap buruh terdengar diseantero Negeri lalu setelah itu keadaan buruh juga tidak semakin membaik, tentu bukan itu yang diinginkan.
Nasib buruh tidak ditentukan hanya pada moment tertentu, tapi dibutuhkan kepedulian setiap waktu dari semua kalangan, terutama pengusaha dan Negara. Pengusaha sebagai tempat untuk bergantung pada pekerjaan dan upah, sedangkan Negara sebagai pihak yang memberikan legalitas pada arah suatu perusahaan terhadap kebijakan hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja. Moment hari buruh bisa menjadi refleksi akan pentingnya hak-hak buruh untuk dipenuhi, bukan makan siang saja yang bisa dilakukan, tapi juga harus ada tindakan nyata dari pemerintah untuk memperhatikan nasib buruh. Undang-undang yang sama sekali tidak berpihak pada nasib buruh, segera mungkin dirubah atau dihapus jika perlu. Kepedulian terhadap buruh harus mulai dibangun mulai dari sekarang, sehingga tidak hanya pada saat ada moment saja kepedulian itu lahir. Semoga peringatan hari buruh kemarin bisa jadi titik tolak perubahan nasib buruh untuk jauh lebih baik lagi kedepan.
Minggu, 02 Mei 2010
Imajinasi Televisi
*Ini tulisan waktu awal saya belajar menulis.heheheeee
Berbicara televisi maka kita akan tertuju pada satu keajaiban. Mengapa saya bilang keajaiban, karena dengan “kotak ajaib” tersebut dapat membawa kita ke berbagai tempat, melihat bermacam peristiwa, mengenal budaya–budaya bangsa lain, kita dapat menyaksikan berbagai jenis film, dari film kartun, drama, biografi, aksi, edukasi, musik dan lain sebagainya. Dari semua yang kita dapatkan itu, tidak semuanya benilai positif. Malah bisa di bilang jauh dari nilai positif, bisa dibilang hal yang diperoleh dari televisi tidak banyak membawa manfaat, meskipun masih ada program yang tetap menjunjung tinggi moral.
Bagi segenap masyarakat yang telah dewasa tentu dapat memahami dan memilah mana acara yang patut ditonton, dan mana yang harus dihindari. Walau tidak semuanya tapi bila dibandingkan dengan anak–anak pengaruh televisi sangat terasa bagi psikologis anak. Efek yang ditinbulkan amatlah beragam, dari yang baik hingga buruk. Dan kebanyakan membawa pengaruh buruk bagi perkembangan si anak.
Efek buruk yang dialami anak terjadi karena ketidakmampuan anak membedakan kehidupan di televisi dengan kehidupan nyata. Bagi anak–anak apa yang terjadi di televisi diasumsikan terjadi juga di kehidupan nyata. Padahal kita semua tahu apa yang ada di televisi itu sebagian besar hanyalah fiktif belaka. Sebagai contoh anak, melihat sebuah film action yang disitu bintang utama ialah tokoh idola anak–anak, semisal batman, superman, ataupun spiderman yang biasanya dalam film–film tersebut mempertontonkan adegan kekerasan, adu fisik, berkelahi antara si lakon dengan musuhnya dengan jargon “membela kebenaran, memberantas kejahatan”. Dari tayangan itu seorang anak akan berimajinasi untuk meniru apa yang dilakukan pahlawan idolanya itu, mempraktekan apa yang dilihatnya itu ke kehidupan nyata. saat anak bermain dengan teman sebayanya, permainan yang dilakukan oleh anak tidak jauh dari alur cerita film–film itu. Bermain perang–perangan, dengan senjata atau tangan kosong ada yang jadi musuh dan ada yang menjadi pahlawannya lalu adu fisik. Awalnya hanya main–main hingga tidak jarang terjadi adu fisik sungguhan ada yang terluka, memar, hingga membahayakan jiwanya. Bahkan belum lama ini ada anak yang dianiaya oleh temannya, setelah ditanyai oleh beberapa pihak alasannya ia memukuli temannya karena ingin meniru para jagoannya di acara smackdown.
Tidak hanya film bergenre kekerasan saja yang menjadi imajinasi anak, bahkan anak jaman sekarang sudah tahu hal–hal yang bukan menjadi kepribadian anak pada umumnya. Parameternya begini anak di masa pertumbuhannya adalah masa dimana anak tertarik untuk mengenal sesuatu dan ingin mengaplikasikannya. Sebagai contoh, sinetron sekarang sudah bukan sekedar konsumsi orang dewasa saja tetapi juga anak kecil. Karena anak keseringan menonton sinetron, yang di dalam sinetron tersebut ada adegan sepasang kekasih sedang berciuman atau berpelukan, maka dampaknya ialah anak menjadi tahu kemudian tertarik ingin meniru adegan berciuman atau berpelukan itu. Ini satu kisah nyata, saat itu saya berada di suatu daerah, di daerah tersebut ada beberapa anak kecil sekitar usia 6–8 tahun yang sudah cukup akrab dengan saya, secara tiba–tiba salah satu dari beberapa anak tersebut dengan lugunya berkata kepada saya, “ mas si mawar minta dicium lho.” Sungguh sesuatu yang tidak saya duga karena jauh dari tipikal anak seumurannya, separah itu kah dampak yang ditimbukan dari televisi.
Apa yang disampaikan di atas hanya sebagian kecil realita buruk di lingkungan sosial kita, masih banyak realita yang terjadi seperti anak yang sudah bisa berdandan meniru gaya artis favorit yang dilihatnya di televisi, gaya bicaranya yang sok artis, suka tebar pesona dan lain sebagainya. Apalagi sekarang sedang “hot-nya” artis cilik seperti baim, yang bermain didalam beberapa judul sinetron dan menjadi idola di semua kalangan dari anak–anak hingga yang orangtua. Dengan hadirnya baim tersebut akan membawa imajinasi anak kepada artis yang masih seusianya itu. “Si baim aja boleh dicium, kenapa kami tidak”, “Baim saja bisa berdandan bak model, lalu kami juga ingin seperti dia”. Sesuatu yang sangat dilematis, demi kepentingan komersialisasi lalu memperjualkan anak dibawah umur, kemudian berdampak adanya pengaruh buruk bagi para pemirsanya khususnya anak–anak.
Efek lain yang ditimbulkan ialah anak menjadi pasif dan tidak kreatif, karena seluruh waktunya dihabiskan di depan televisi. Masa kanak–kanak ialah masa dimana mereka sedang senang untuk bermain dan berkreasi tetapi televisi telah menyita kreatifitasnya dan waktu bermainnya di luar. di siang hari selepas pulang sekolah kita tidak mendengar suara ribut anak–anak berlarian, berkejar–kejaran, di sore hari anak–anak yang semestinya bermain bola dilapangan, kini jarang tampak lagi, karena sebagian dari mereka sedang asik menyaksikan film di tv yang di mata mereka film itu sedang seru.
Pada masa pertumbuhan bagi anak, seharusnya mereka di arahkan ke hal–hal yang membawa manfaat. Dengan bermain kejar–kejaran bersama temannya anak dapat belajar bekerja keras untuk memperoleh sesuatu, bermain bola melatih anak untuk belajar bekerja sama, belajar dan bermain dengan alam atau anak–anak dapat mengikuti kegiatan positif lain semacam TPA. TPA yang biasanya diadakan sore hari selain memberikan pelajaran tentang agama, belajar ngaji disitu juga menjadi sarana mengembangkan kreatifitas anak. Sehingga daya pikir anak terasah, dan menjadi kreatif.
Pengaruh buruk yang sangat memprihatinkan lagi ialah anak jadi malas belajar dan meninggalkan ibadahnya. Sebagai generasi penerus bangsa sudah barang tentu mereka menjadi harapan bagi masa depan keluarga dan bangsanya, namun lagi–lagi televisi sudah memupuskan harapan itu. Di malam hari waktu dimana yang seorang anak seharusnya belajar namun waktunya tidak dimanfaatkan untuk belajar. Acara televisi lebih menarik bagi si anak ketimbang belajar yang membosankan. Saat sudah masuk waktu solat, anak–anak tetap saja dengan cueknya tidak berpindah dari depan televisi dan ketika diingatkan untuk solat oleh orang tuanya, jawaban si anak adalah “ bentar mah, lagi nanggung neh filmnya”.
Para produser acara tv sungguh sangat jeli menyusun strategi bisnisnya. Dengan meletakan acara yang dianggap sebagai acara unggulan stasiun tv tersebut dan hanya untuk mencari kepentingan komersial semata dijam–jam utama dimana seharusnya menjadi jam belajar masyarakat, antara jam 18.00–21.00. Pada waktu–waktu itulah acara televisi sedang bagus–bagusnya. Jam 6 sore saat masuk waktu solat maghrib, televisi malah menayangkan film kartun, anak mana yang tidak suka film kartun. Sungguh sangat ironis padahal disela–sela film itu ada adzan untuk mengajak solat tetapi kebanyakan anak tetap saja berada di depan tv seakan–akan tv itu telah menghipnotisnya untuk tidak berpaling dari televisi. Setelah dicekoki dengan film kartun anak–anak kembali dimanjakan dengan acara lain, semacam sinetron, reality show dan lain sebagainya. Lalu kapan waktu belajar bagi si anak?
Ada beberapa orang yang secara ekstrim sengaja tidak menyediakan televisi di rumahnya. Karena mereka berpendapat acara televisi banyak membawa mudhorat ketimbang manfaatnya. Dasar argumentasi mereka ialah, dengan melihat secara faktuil tayangan televisi semacam infotaiment, reality–reality show terkesan hanya menjual keglamouran, dan menumbuhkan budaya hedonisme. Sebagai contoh ada seorang artis dengan gaya rambutnya yang baru lalu membuat geger seantero nusantara dengan bahasa yang dilebih-lebihkan, seolah–olah itu menjadi sesuatu yang penting untuk diekspose, mengulik kehidupan pribadi si artis hingga borok - boroknya, seakan menjadi kebanggaan dan memberikan “pelajaran” gratis bagi kita bagaimana tekhnik menggunjing orang yang baik. Adegan–adegan kekerasan meski sudah banyak korban berjatuhan juga tetap tidak pernah surut. Mulai kontroversi acara smackdown, lalu tayangan–tayangan berbau mistik, horor yang merusak keimanan seseorang tetap saja ramai ditayangkan. Untuk mengejar rating tinggi, lalu mengabaikan nilai kepatutan dimasyarakat.
Sudah saatnya peran orang tua menjadi amatlah penting bagi perkembangan psikologis si anak. Tidak harus dengan melarang secara frontal untuk tidak melarang nonton televisi tetapi cukup dengan pengawasan secara berkesinambungan. Tidak semua acara televisi itu buruk, meskipun hanya 10 % saja yang membawa manfaat setidaknya itu lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Misal Film kartun Spongebob, sesunguhnya dalam film itu terdapat pelajaran berharga tentang akhlak yang baik, yaitu mengajarkan kita untuk selalu berprasangka baik terhadap tetangga kita atau pun pada siapa saja. Jika kita cermati pada film itu, spongebob begitu dibenci oleh squirtwerd tetangga sebelah rumah nanasnya. Berbagai cara digunakan oleh squirtwerd untuk menghindar dari spongebob, meski begitu si spongebob dengan kekonyolannya tetap saja berlaku baik kepada squirtwerd tanpa sedikit pun menyimpan rasa dendam. Tetapi sayangnya acara tersebut ditayangkan pada jam–jam yang kurang tepat. Namun begitu masih ada beberapa program lain yang cukup bermanfaat seperti acara berita, penyegaran rohani, film edukasi, dan lain sebagainya adalah acara yang masih memiliki nilai positif untuk ditonton.
Peranan orangtua menjadi suatu kebutuhan pokok untuk dapat mendampingi putra putrinya saat menonton acara ditelevisi dan lebih baik melarang jika acara tertentu tidak sesuai dengan usianya. Agar anak dapat memahami dan tidak menerima mentah apa yang dilihat. Karena namanya anak kecil tentu akan selalu tertarik pada hal–hal yang menyenangkan baginya., berimajinasi kemudian mengimplementasikannya. Untuk pihak pengelola stasiun televisi sudah sepatutnya melihat dan mendengar apa yang telah terjadi di masyrakat kita. Jangan lalu menjadi apatis, tidak mau tahu yang penting acaranya laku, uang terus mengalir tapi berpikirlah secara rasional bahwa apa yang ditawarkannya itu akan menghancurkan masa depan anak sebagai generasi penerus bangsa.
Sabtu, 01 Mei 2010
Koran Pagi Ini : Hukum Ajaib
Membaca Koran pagi ini, membuka salah satu rubrik, terdapat judul berita yang cukup menohok dimata, judul yang menarik, Penegakan Hukum Ajaib. Asumsi awal saya, akan ada berita baik yang akan disampaikan, tidak melulu cerita tragis tentang ketidakadilan yang dialami sebagian anak manusia yang tidak sanggup membayar hukum atau berita tentang pejabat yang memberi uang belanja kepada aparat supaya dapat lolos dari jeratan hukum. Sayang, tebakan itu meleset, asumsi saya salah. Lagi-lagi berita tentang ketidakadilan yang saya dapat, berita tentang busuknya hukum di Negeri ini.
Orang itu bernama Lengan Warsiam (50), seorang tukang pijat tuna netra dan suaminya, Muhammad Nuh (45) yang juga seorang tunanetra. Profesi tukang pijat dan ganja telah membawa mereka mendekam dipenjara. Mereka masing dihukum 15 dan 18 tahun penjara. Cerita berawal ketika pelanggan pijatnya datang ke rumah tempat mereka praktek di Kabut Sidorukun, Kecamatan Bilahilir, Kabupaten Labuhan Batu Sumatera Utara dan menitipkan dos mie diruang tamu, tanpa diketahui tiba-tiba polisi datang menggrebek rumah mereka dan menemukan 10 bungkus ganja. Warsiam dan Nuh dituntut dan dihukum, hakim meminta mereka berdua untuk mengakui jika ganja tersebut miliknya.
Mengaitkan permasalahan tersebut dengan Konsep hukum non tekstual akan ada tali yang menghubungkan keduannya. Penulis melihat hukum yang diterapkan secara sistematik akan berdampak pada kemungkinan munculnya hegemoni kekuasaan dikalangan aparat penegak hukum kita. Mungkin sudah banyak tulisan yang membahas mengenai hal tersebut, tetapi memang permasalahan klise tersebut tidak pernah selesai. Analisa penulis pada kasus diatas, aparat yang punya kuasa untuk menjerat seseorang dengan pasal-pasal tertentu telah menggunakan kekuasaannya dengan kemudian meletakan secara paksa aturan tersebut bukan pada tempat semestinya. Perspektif yang dilihat bukan lagi aspek sosiologis, namun terjebak dalam tulisan dan ejaan dalam undang-undang. Seperti sebuah kendaraan, ada orang, ada motor dan ada bahan bakarnya, dengan begitu orang bisa menggerakan motor sesuka hati akan dibawa kemana. Sama halnya dengan hukum, selama sudah ada pelaku (walau itu belum tentu benar), dan sudah aturannya, maka hukum dapat digerakan sekehendak hati orang yang punya kewenagan untuk menggerakannya. Jika boleh ditarik lebih jauh lagi, penulis akan mengambil kesimpulan, kasus tersebut telah ditunggangi pihak-pihak tertentu, dalam artian pelaku sebenarnya telah menumbalkan kedua tukang pijat tersebut sebagai korbannya. Atau mungkin malah ada kongkalikong, antara pelaku dengan aparat, apabila melihat kondisi sekarang ini dimana moral sudah menjadi barang yang sangat langka, sehingga sulit dicari apalagi dimiliki tentu boleh saja kita berasumsi seperti itu.
Dari cerita diatas, yang hanya segelintir kisah potret buram bobroknya penegakan hukum di Indonesia, aparat telah bertindak begitu represif, dengan kemudian melupakan aspek kepatutan yang seharusnya bisa menjadi pertimbangan. Point penting yang bisa diangkat disini ialah, dari kacamata orang awam (pada kasus tersebut), aparat baik kepolisian maupun hakim tidak menggunakan logika berpikir mereka dalam mengambil keputusan. Untuk kali ini saya sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, dimana ia meminta aparat menggunakan logikanya dalam melihat kasus ini. Bagaimana mungkin seorang buta, bisa melihat siapa-siapa yang masuk kemudian menggunakan jasanya, bagaimana dapat tahu jika ternyata barang tersebut berisi ganja. Koran pagi ini telah membuka kembali, busuknya hukum di Negeri ini. Selanjutnya kita tunggu saja kemana kasus tersebut akan mengalir.
Rabu, 07 April 2010
Kehidupan Tanpa Hukum
Pernahkah Anda membayangkan jika kehidupan ini berjalan tanpa hukum. Sejak dalam pikirannya, bagi sebagian orang itu sesuatu yang mustahil. Kacau balau, chaos, semrawut, berantakan, dan kata-kata lain yang bisa mewakili hal paling buruk yang mungkin akan terjadi jika hukum hilang. Pendapat itu tidak salah, tapi pernahkah anda membayangkan jika ternyata dengan hukum kehidupan tidak juga berubah menjadi lebih baik, hukum dibuat manusia dan oleh manusia itu sendiri hukum dilawan.
Sejak munculnya hukum modern pada abad ke 18, setelah melalui transformasi sosial, politik, ekonomi dan kultural, tatanan kehidupan berubah drastis. Hukum hampir membabat habis komunitas yang telah terlebih dulu hadir. Kehadiran hukum modern mampu meminggirkan komunitas-komunitas asli sebelumnya, namun sesungguhnya komunitas itu tidak serta merta tersingkir, melainkan tetap ada dan bekerja secara diam-diam (latent).
Dalam tubuh komunitas tersebut juga terkandung kaidah-kaidah sosial sebagai aturan yang menjadi pedoman berkehidupan hingga sampai pada tempat tujuan, yaitu jagad ketertiban. Hanya saja berbeda dengan konsep hukum modern yang lahir lebih muda dan artifisial, kaidah-kaidah sosial lahir secara alamiah dengan sudah mengenal kondisi sosial dalam komunitas tersebut. Dari sisi normatif hukum memang memiliki legitimasi yang lebih kuat, tetapi betapa banyak segmen sosial itu tidak dibentuk oleh hukum tapi oleh komunitas itu sendiri. Sehebat apapun hukum, kekuatan komunitas asli dapat melengkapi aturan yang dibuat oleh hukum atau bahkan merubah secara menyeluruh sesuai keinginan.
Kehadiran hukum modern seolah ingin menghegemoni kehidupan asli dengan peraturan-peraturan yang dibuatnya. Hukum akan selalu berurusan dengan ketertiban, hukum menempatkan diri sebagai penjaga, pengatur dan produsen ketertiban. Maka dari itu, hukum membuat peraturan, ajakan, dan larangan yang pada akhirnya menjadikan hukum sebagai institusi normatif semata. Dengan keadaan tersebut hukum tidak dapat membanggakan dirinya sebagai individualis, yang mampu mengerjakan segalanya sendiri, tetapi hukum akan berinteraksi dan butuh bersosialisasi dengan kaidah-kaidah sosial atau hukum adat dalam suatu masyarakat.
Di Bali misalnya dapat kita jumpai interaksi antara hukum modern dengan hukum adat setempat. Kondisi masyarakat yang masih mempertahankan kultur balinese-nya membuat hukum adat disitu tidak terkontaminasi dengan kehadiran hukum modern, tetapi membuat hukum modern harus berafiliasi dengan struktur sosial yang berlaku disana. Kita ambil contoh institusi pecalang (polisi adat) yang dalam tugasnya sering mendampingi kepolisian Negara (Polri) dan bahkan mengisi kekurangan yang tidak dimiliki Polri, misalnya dengan menjadi penjaga ekosistem laut. Ini menunjukan suatu interaksi yang dinamis antara keduanya. Komunitas yang kuat, dengan budaya lokalnya, mampu berkompromi dengan Negara. Sedangkan komunitas yang tidak kokoh dan tidak berintegritas akan menjadi tawanan Negara dan hukum Negara. Sebut saja Jawa, di Jawa sesungguhnya juga memiliki konsep keamanan adat seperti halnya pecalang di Bali. Dalam masyarakat tradisional jawa dulu dikenal adanya jagabaya. Jagabaya tidak berbeda jauh dengan tugas pecalang di Bali,yaitu sebagai institusi keamanan. Hanya saja lemahnya integritas masyarakat Jawa terhadap kultur aslinya membuat jagabaya hilang ditelan bumi.
Hukum modern yang bersifat artifisial dan cenderung kaku dengan aturan-aturan normatif didalamnya tidak bisa kemudian masuk begitu saja ke dalam komunitas lokal yang telah memiliki bargaining power yang kuat. Kontruksi sosial yang telah berdiri kokoh, tidak bisa lalu didikte oleh kehadiran hukum modern. Jika boleh mengibaratkan, hukum bisa dianalogikan sebagai mesin. Mesin hanya bisa menciptakan bentuk-bentuk yang standar tanpa kemudian ada gebrakan variasi untuk membuat sesuatu diluar standar yang telah ditetapkan. Seperti telah dikatakan diatas, pada akhirnya hukum akan menjadi produk yang kaku dan tidak variatif.
Pola kerja hukum yang semacam itu, menurut Elickson, membuat hukum bukan menjadi penentu ketentuan-ketentuan peraturan hukum itu sendiri, melainkan rakyat sebagai adresat hukum. Hukum hanya sebagai titik tolak, dan rakyatlah yang akan menentukan harga peraturan tersebut sesuai keuntungan mereka. Cerita dari Stewart Macaulay ini mungkin bisa menjadi gambaran, betapa hukum menjadi tak berdaya eksistensinya ketika berhadapan dengan komunitas pebisnis. Kontrak bagi kalangan pebisnis ialah alat pertukaran, sedangkan bagi hukum, kontrak selalu harus saklek pada undang-undang sebagai pedomannya dan itu berlaku mutlak. Sedangkan bagi kalangan pebisnis kontrak tidak berlaku mutlak, tetapi tergantung apakah kontrak itu bermanfaat bagi komunitas itu atau tidak, jika tidak maka tidak akan dijalankan.
Dari cerita itu lagi-lagi hukum menjadi tidak kehilangan power-nya jika berhadapan dengan suatu hukum asli yang telah menjadi kebiasaan selama bertahun-tahun. Hukum hanya permainan kata-kata yang dituangkan kedalam bentuk undang-undang, kemudian harus dipatuhi. Hukum juga tidak mencari keadilan sejati, tetapi keadilan prosedural karena berpihak pada aturan tertulis. Bisa kita saksikan dalam suatu persidangan, dimana persidangan hanya menjadi arena pertarungan para gladiator hukum. Pengacara melawan penunutut umum, kemudian hakim sebagai penentu, yang terjadi kemudian bukan pertarungan keadilan tapi pertarungan undang-undang. Mengkuti apa yang dikatakan oleh Hans Kelsen, tokoh mazhab positivis, hukum itu tidak lain adalah bangunan perundang-undangan logis-rasional. Jika itu yang terjadi, berarti selama ini yang dicari bukan keadilan tapi kemenangan, karena patokannya terpaku pada aturan perundang-undangan. Ini menunjukan cara berhukum yang terjebak ke dalam kotak legalisme-formal, yaitu memberikan pembacaan dari apa yang tertulis. Terjebak disini adalah, dengan membiarkan diri kita secara total diikat oleh undang-undang dan prosedur.
Hukum hadir bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk masyarakat. Maka dari itu dalam menjalankan hukum tidak bisa secara matematis atau hanya menerapkan undang-undangnya saja. Tapi perlu adanya gebrakan untuk keluar dari aturan baku, yang ternyata menyuguhkan berbagai penolakan. Hukum adalah bagian dari usaha untuk menata ketertiban dalam masyarakat, tetapi ia tidak sama persis dengan ketertiban. Ketertiban mencakup hukum, tetapi hukum bukan satu-satunya cara untuk menciptakan ketertiban.
Kita tidak bisa menjamin hukum dengan ratusan bahkan ribuan redaksional kalimatnya akan mampu menciptakan ketertiban. Contoh mengenai pebisnis yang punya caranya sendiri dalam melakukan pekerjaannya, bisa menjadi bukti jika hukum menjadi mati ketika berhadapan dengan kaidah sosial yang telah ada terlebih dulu. Hukum adat di Bali, dengan insititusi pecalang-nya mampu mengisi kekurangan yang tidak dimiliki oleh hukum modern.
Menjawab pertanyaan diawal tulisan ini, kehidupan tanpa hukum sangat dimungkinkan. Mengingat jauh sebelum hukum modern itu hadir kehidupan tetap berjalan baik, malah cenderung dinamis tidak statis. Kehadiran hukum modern mempunyai ekspektasi mampu menata ketertiban dalam masyarakat, tapi tidak bisa serta merta merubah hirarki ketertiban yang telah hadir terlebih dahulu dalam suatu komunitas tertentu. Kehidupan bisa tetap berjalan dengan ketertiban karena ketertiban bisa melihat realitas dalam masyarakat dan tidak perlu pembuktian yuridis untuk itu. Kenyataan dan proses nyata, diterima dan dijalankan masyarakat sudah cukup menjadi bukti betapa ketertiban bisa lebih dekat dengan lingkungan sosialnya. Sedangkan hukum merupakan produk negara, terpusat dan jauh dari kehidupan masyarakat. Dan hukum tidak mengenal kondisi sekeliling masyrakatnya.
Minggu, 07 Februari 2010
Kontroversi Pidana Rajam
Keberadaan pidana rajam ini terus menghadirkan kontroversi, apakah rajam adalah pelanggaran HAM atau bukan. Secara yuridis filosofis pidana rajam mengalami berbagai perbedaan pendapat, di satu pihak ada yang mengatakan bahwa pidana rajam tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar, berbagai legislasi nasional maupun konvensi internasional yang berkaitan dengan HAM, dan di pihak lain ada yang mengatakan bahwa pidana rajam bertentangan. Dasarnya adalah adanya legislasi maupun konvensi internasional berarti merupakan bentuk dari pengahargaan terhadap HAM. Pidana rajam itu dianggap sebagai bentuk pelanggaran atau penyiksaan secara fisik dan mental bagi mereka yang menentang pidana rajam dan berkiblat pada legislasi tentang HAM, sedangkan mereka yang tidak menentang sudah barang tentu memiliki dasar yang kuat juga yaitu dari segi hukum Islam yang melegalkan pidana rajam.
Kontroversi adakah unsur pelanggaran HAM dalam pidana rajam akan sangat menarik untuk kita kulik lebih dalam lagi. Dilihat dari paradigma Islam yang merupakan induk dari pidana rajam itu sendiri dan pertentangan masalah pelanggaran HAM. Karena jika rajam memang benar bentuk dari diabaikannya HAM, apakah berarti Islam mengajarkan untuk dilanggarnya HAM? Padahal hukum rajam itu adalah ketetapan dari Allah. Apakah Allah menurunkan hukum hanya untuk menyiksa atau menyakiti hambaNya tanpa tujuan yang benar?
Kontroversi eksistensi pidana rajam apakah melanggar HAM memang sesuatu yang sangat pelik. Karena satu sisi menyandarkan pada embel–embel HAM, sedangkan sisi lain menyatakan rajam adalah ketentuan Islam yang merupakan ketetapan dari Allah. Banyak pihak yang menentang keras penerapan hukuman rajam tersebut. Karena menilai penerapan hukuman rajam merupakan langkah mundur dari penegakan HAM.
Hukuman rajam merupakan hukuman yang masuk kategori tindakan yang kejam, tidak manusiawi, dan perbuatan yang merendahkan martabat manusia yang selama ini dilarang dan diatur dalam berbagai legislasi nasional maupun konvensi internasional yang berkaitan dengan HAM.
Pertama, tidak sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28 G ayat (2) yang secara tegas menyatakan ''Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia''. Kedua, Undang-undang No 39/1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia, yakni Pasal 33 ayat (1) yang menyatakan ''Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.'' Ketiga, hal itu tidak sesuai dengan Undang-undang No 5/1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan yakni di Pasal 16.
Masalah ini perlu dikaji secara mendalam dari sudut pandang filosofis, legalitas, dan sosilologis. Pertama, dari sisi filosofis, hukum itu ditujukan untuk apa dan siapa? Hukum itu ditujukan kepada manusia, untuk menciptakan ketenteraman, ketertiban, dan kedamaian dalam masyarakat. Artinya, hukum itu bukan untuk hukum itu sendiri, tapi untuk tujuan yang mulia, kemanusiaan, keadilan sosial dan kemaslahatan individual publik
Dalam Islam Pelaksanaan hukuman rajam pun telah memenuhi unsur filosfis, legalitas, dan sosiologis. Suatu tindakan bisa dianggap melanggar HAM apabila hukuman itu dilaksanakan terhadap orang yang tidak bersalah. Hakikat dan fungsi pidana rajam sesungguhnya adalah sebagai satu upaya untuk mengangkat kembali derajat pelaku sebagai manusia agar berada pada posisinya sebagai manusia (Illatul Uquqah).
Eksekusi pidana rajam sendiri tidak dimaksudkan untuk membuat si pelaku tersakiti. Filosofis tujuan pidana rajam ialah agar secara psikologis timbul perasaan malu pada diri pelaku dan merasa jera hingga tidak melakukan perbuatan yang sama. Efek yang ditimbulkan pun juga sangat kuat bagi mereka yang menyaksikan eksekusi pidana cambuk akan ada rasa takut untuk melakukan perbuatan yang dengan si pelaku karena nanti akan diperlakukan seperti dengan pelaku.
Secara sosiologis tentu dalam Sistem pemidanaan Islam terkait dengan pidana rajam sudah mempertimbangkannya dari berbagai aspek, Islam bukan agama yang kaku dengan tidak melihat keadaan masyarakatnya. Artinya, masyarakat memang telah siap dan sepakat dengan suatu peraturan/qanun. Dan penerapan hukuman cambuk pun tentu mempertimbangkan aspek-aspek lainnya, aspek psikologis, aspek ekonomis, politis dan lainnya.
Pada aspek legalitas/yuridis, suatu hukuman punya dasar pijakan berupa peraturan perundang-undangan yang telah disahkan oleh yang berwenang.. Dalam perspektif Islam, hukum diterapkan untuk mencapai sasaran kesucian diri dan lingkungan, keadilan, dan kemaslahatan.
Pidana rajam tidak dimaksudkan untuk menyiksa atau menyakiti pelaku, tetapi lebih pada memberi pembelajaran pada pelaku agar dia menyadari perbuatannya dan tidak mengulanginya lagi.
Bagi orang lain dapat menimbulkan tekanan psikologis yang kuat dengan adanya eksekusi rajam membuat orang tidak mau melakukan perbuatan yang sama dengan si pelaku.
Tidak ada unsur pelanggaran HAM dalam hukuman rajam. Islam tentu sudah matang dalam menentukan hukum. Karena bersumber dari Allah langsung tentu kita tidak boleh meragukan kekuasaan Allah. Sudah ada aturan – aturan yang harus dipatuhi untuk pelaksanaan hukuman rajam. Seperti jika pelaku dalam keadaan sakit maka dilarang untuk dieksekusi. Pelaku merasa tertekan dan malu dieksekusi dihadapan banyak sehingga timbul rasa jera, bertobat untuk tidak mengulanginya lagi.
Sabtu, 23 Januari 2010
Filosofi Tulisan Itu Tak Pernah Terungkap..
"Seandainya malaikat itu ada di sini
aku ingin Dia menjadi bunga di langitku
dan aku menjadi akar di bumimu,
kemudian kita tumbuh bersama didepan matahari.."
setelah sekian tahun berlalu filosofi tulisan itu tak pernah terungkap, ya..itu hanya sebuah analogi semata karna wanita itu hanya menjadi wanita perumpamaan saja, di dunia khayalku. meski intuisiku tidak pernah menghendaki analogi itu. aku ingin menjadi nyata ya nyata dan hidup.hha,,tapi aku hanya bisa menertawakan diriku sendiri, kesalahan besar seperti lagu yang ku cipta untuk menggambarkan penyesalan ini..ahh..semoga masih belum terlambat.
aku ingin Dia menjadi bunga di langitku
dan aku menjadi akar di bumimu,
kemudian kita tumbuh bersama didepan matahari.."
setelah sekian tahun berlalu filosofi tulisan itu tak pernah terungkap, ya..itu hanya sebuah analogi semata karna wanita itu hanya menjadi wanita perumpamaan saja, di dunia khayalku. meski intuisiku tidak pernah menghendaki analogi itu. aku ingin menjadi nyata ya nyata dan hidup.hha,,tapi aku hanya bisa menertawakan diriku sendiri, kesalahan besar seperti lagu yang ku cipta untuk menggambarkan penyesalan ini..ahh..semoga masih belum terlambat.
Langganan:
Postingan (Atom)